Oleh: Rima Anggraini

Don’t  take anything but picture
Don’t leave anything but  footprints
Don’t kill anything but time
Jangan mengambil apapun selain gambar
Jangan meninggalkan apapun selain jejak
Jangan membunuh apapun selain waktu

(Kode etik penelusuran gua)

20 Maret 2009, Mahasiswa Pecinta Alam Jonggring Salaka mengadakan kegiatan pengenalan divisi caving. Caving adalah kegiatan penelusuran gua untuk salah satu divisi yang ada di Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam ini selain empat divisi lainnya yaitu mountaineering (gunung hutan), rafting (arung jeram), konservasi, dan  climbing (panjat).
Gua sering dijumpai di sekitar kawasan karst di daerah pantai. Dengan tanahnya yang kering dan banyak mengandung unsur kapur, di dalamnya menyimpan potensi sumber daya air tanah yang melimpah. Beberapa hal yang dapat dipelajari dalam kegiatan caving antara lain Single Rope Technique (SRT), vertical rescue dan mapping (pemetaan gua).
Ada dua jenis gua menurut medannya yaitu gua vertikal dan gua horizontal. Target kami adalah Gua Lowo dan Gua Barong yang terletak di desa Banjar Rejo kecamatan Donomulyo. Kedua gua ini memang tidak terlalu populer bagi orang awam, tetapi di kalangan pecinta alam, keduanya merupakan tempat yang biasa digunakan untuk latihan pengenalan ornamen maupun pembelajaran pemetaan gua.
Hari Jumat siang, tim yang terdiri dari sebelas peserta dan lima belas panitia berangkat ke daerah Malang Selatan. Perjalanan memakan waktu berjam-jam, dan menjelang malam kami tiba di lokasi. Aroma hutan jati dan derik serangga menyambut jejak langkah kaki menuju area camp.
Setelah briefing, tim mulai melakukan penelusuran ke gua Lowo yang merupakan gua horizontal. Malam hari adalah waktu yang paling efektif mengingat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kondisi di dalam gua baik siang maupun malam hari adalah sama, gelap total. Tanpa lampu, dalam keadaan membuka atau menutup mata, situasinya sama saja. Kedua, kelelawar keluar di malam hari, ini menguntungkan karena tidak ada pengganggu yang akan menabrak atau menggigit selagi kami berkegiatan. Dan ketiga, siang hari bisa kami manfaatkan untuk istirahat dan koordinasi kegiatan selanjutnya.
Di dalam mulut gua yang remang-remang, timbunan guano membentuk cendawan kabut gas pekat membuat pernapasan terganggu. Guano adalah kotoran kelelawar yang sekarang ini sedang diminati masyarakat sebagai pupuk tanaman. Kami harus menarik napas dalam-dalam untuk mencukupi oksigen dalam paru-paru. Beberapa pasang mata hewan pengerat yang bergelantungan di atas mengawasi kami dengan bengis, tidak senang rumahnya diganggu sekelompok anak yang gemar tantangan. Aliran sungai bawah tanah setinggi lutut dan lumpur yang ada di dasarnya membuat perjalanan terasa berat, ini baru permulaan karena sebentar lagi semuanya akan dibayar dengan sepadan.
Kira-kira selama empatpuluh menit tim melewati sungai lumpur. Setelah itu kami dipaksa melewati jalur yang menanjak, turun, menerobos sela-sela dinding, melalui batuan gua yang licin, basah dan curam. Tidak jarang tim harus mengendap-endap, merayap, terpeleset, terantuk batu, jatuh dan tergores. Salah satu dari tim bahkan sempat berkomentar bahwa dalam caving, tidak perlu terbentur untuk terluka, cukup dengan menoleh ke belakang saja. Di sinilah peran savety prosedur sangat penting. Dibutuhkan stamina yang fit dan kewaspadaan lebih.
Lorong yang sempit, gelap dan dingin, chamber atau ruangan gua seluas separuh lapangan basket, aliran sungai bawah tanah yang memanjang, kibasan sayap kelelawar dan tetesan air dari langit-langit goa menemani perjalanan ini, membuat suasana sedikit lebih dramatis.
Semakin ke dalam, oksigen cenderung bertambah karena terbawa aliran sungai yang semakin deras. Tidak ada lumpur di dasarnya berganti kilauan air bening yang bercahaya tertimpa sinar headlamp dan senter yang silang menyilang dalam ruangan. Air di dalam gua merupakan air perkolasi yang mengalir dari permukaan tanah melalui sistem celah dari batu gamping setelah terjadi proses penyaringan alami, sebagian membentuk ornamen gua sebagian dialirkan ke dasar lantai gua membentuk pola-pola jeram mirip terasering bernama raimstone.
Berbagai ornamen goa mulai menampakkan keindahannya, sebuah kanopi besar menjadi gapura selamat datang, seolah membawa kami menuju istana dunia lain. Sungguh karya seni luar biasa dari Sang Maha Pencipta. Belum selesai kami mengucap rasa kagum, di chamber berikutnya bermunculan jajaran gourdam, stalagmit yang runcing bergelantungan, stalagtit dengan kilauan kristal kalsit, microgourdam yang berliku-liku penuh kontur, drapery yang menyerupai lipatan kain, pilar yang terjadi karena bersatunya stalagtit dan stalagmit, column, bacon yang tembus sinar lampu, flowstone yang mengkilat dengan tetesan air dari langit-langit, sodastraw yang berbentuk mirip sedotan vertikal ke bawah, dan helictit yang berbentuk aneh tak beraturan dan tumbuh melawan gravitasi. Masing-masing berdecak kagum karena pemandangan semacam ini tidak pernah ada di dunia luar.
Sebuah kubah seputih pualam, flowstone, permukaannya mengalirkan endapan kalsium bersama air. Di langit-langit gua yang gelap, ribuan sodastraw dengan air yang menetes di ujungnya berkelip-kelip seperti kunang-kunang yang diam, tak bergerak seolah tertawan jaring laba-laba raksasa. Bacon yang tipis sehingga dapat ditembus sinar lampu senter dan menyebabkan bunyi nyaring ketika dipukul, buliran-buliran air membentuk kontur yang rumit tapi seimbang dalam dimensi yang tepat, suara gemericik, dan suasana yang menantang para penderita gaustrophobia, semuanya terformat dalam satu ekspedisi.
Keajaiban muncul dari sudut-sudut tak bercahaya di dalam perut gua kapur jauh di kawasan Malang Selatan. Ornamen terbentuk dari air yang menetes dari atap gua, membawa kalsit/calcite (CaCO3) yang terjadi karena pelarutan batu gamping. Melalui sistem celah dan rekahan, air mencapai lorong gua, bereaksi dan terurai menjadi gas karbon dioksida, kalsit dan air. Kalsit yang tersisa ini mengalami sedimentasi kemudian diendapkan menjadi berbagi ornamen gua.
Gua Lowo juga menjadi rumah bagi berbagai fauna seperti beberapa jenis isopoda, arthropoda, rhaphidophora sp, udang air tawar, laba-laba gua, jangkrik gua, kepiting gua, bahkan kami sempat menemukan seekor ikan lele tak jauh dari jeram di bawah kanopi. Adaptasi yang dilakukan binatang-binatang ini membuat kami mengerti bagaimana mereka bertahan hidup di ruang gelap. Mereka terisolasi, endemik, mengalami evolusi seperti pemanjangan antena dan kaki depan serta pengecilan mata. Beberapa masih menyerupai saudara satu spesiesnya di luar sana, tapi ciri khas makhluk-makhluk yang tak pernah bersentuhan dengan cahaya ini antara lain berwarna putih pucat atau albino, transparan, berantena panjang sebagai sensor untuk mendeteksi gerakan dan suara, serta mata yang nyaris menghilang.
Populasi yang rendah, kurangnya kemampuan menyebar dan daya reproduksi yang minim membuat mereka rentan kepunahan. Ancaman ini datang dari berbagai sumber, misalnya pencemaran, penebangan hutan, penggalian, industri, penambangan dan vandalisme. Semua kehidupan di gua sangat tergantung dengan keadaan di atasnya.
Satu hal yang paling membahayakan dalam kegiatan penelusuran gua adalah rasa ingin tahu. Setiap lorong di dalamnya selalu berbeda dan berliku-liku bahkan bercabang-cabang, karena itu sering memancing para caver atau penelusur gua untuk mengetahui ada apa saja di balik lorong dan chamber lainnya. Resiko tersesat, kekurangan oksigen dan hypothermia adalah harga yang harus dibayar. Hal ini pula yang membunuh kewaspadaan akan berbagai macam bahaya gua seperti longsor, banjir, gempa dan kesalahan teknis penelusuran, atau human error. Kami beruntung karena gua Lowo adalah gua horizontal yang tidak bercabang-cabang sehingga tim tidak perlu membawa berbagai peralatan ascender, descender, dan peralatan rescue. Cukup berjalan kaki sepanjang lorong dan kita akan menemukan berbagai bentuk pahatan alam yang demikian eksotis dan menggairahkan petualangan.
Tim beristirahat di bawah kanopi besar, sebagian melanjutkan sisa penelusuran sejauh 20 meter hingga tiba di jalur buntu berupa air terjun kecil dengan lubang yang tak mungkin dijangkau manusia. Gua Lowo rupanya terkikis dari batuan karang yang terdapat di sepanjang pantai jutaan tahun silam, ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil kerang dan siput laut yang mulai membatu di lantai gua.
Pukul 23.54 WIB, tim kembali ke basecamp. Lelah dan kantuk membuat kami segera terlelap karena besok, masih ada satu lagi gua vertikal yang harus kami telusuri.

?Penulis adalah mahasiswa jurusan Pend. Seni Rupa Fakultas Sastra angkatan 2005 dan salah satu tim cavers dan anggota mahasiswa pecinta alam Jonggring Salaka