Judul Buku    : Fikih Jurnalistik
Penulis    : Faris Khoirul Anam
Penerbit    : Pustaka Al-Kautsar
Cetakan    : Pertama, Februari 2009
Tebal    : 179 halaman
Peresensi    : Rialita Fithra Asmara

Usaha yang cukup indah berhasil dilakukan oleh Faris Khoirul Anam melalui bukunya Fikih Jurnalistik. Sebuah buku yang mampu menginspirasi para jurnalis Indonesia untuk menjadi jurnalis yang beretika dan jujur. Berbekal dari pengalamannya sebagai jurnalis di berbagai media dan pemahamannya yang mendalam tentang syariah, menjadikan buku ini semakin bisa dipertanggungjawabkan.
Sesuai dengan judulnya, buku ini mencoba menggabungkan dua hal dari ranah berbeda tetapi sebenarnya saling menyatu dan melengkapi. Ranah jurnalistik dan ilmu agama Islam. Keduanya mampu diramu dengan apik sehingga mampu menjadi wacana baru dan pertama kali dalam dunia pers Indonesia.
Selama ini, kita hanya mengenal istilah Pers Islami, Jurnalistik Islami, jika pers dihubungkan dengan ajaran Islam. Buku Fikih Jurnalistik ini berbeda dengan muatan materi-materi yang terdapat di buku-buku tenyang pers Islami tersebut, yang umumnya membicarakan tentang ciri-ciri, visi, dan misi pers islami. Makna Fikih Jurnalistik yang dimaksud dalam buku ini adalah lebih menekankan pada hal-hal yang harus ditempuh, sesuai dengan hukum Islam (fikih), dalam berbagai kegiatan yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data grafik maupun dalam bentuk lain dengan menggunakan media yang tersedia (halaman 4—5).
Kita semua tahu bahwa sejak tumbangnya rezim Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia semakin tak terkendali. Ibarat orang yang lama sekali dipenjara kemudian dibebaskan. Meluap-luap. Apa pun ingin diungkap, apa pun ingin diekspos, tanpa peduli lagi apa pun yang penting berita. Memang, di sisi lain kebebasan pers tersebut merupakan angin segar bagi dunia jurnalistik di Indonesia, tetapi ada efek lain yang ditimbulkan yaitu jurnalis-jurnalis kita kadangkala kehilangan kendali dalam mencari dan menulis berita.
Bisa dikatakan kehadiran buku karya pentolan Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Malang ini turut memberikan sumbangsih dalam membentuk jurnalis yang jujur dan beretika serta mempunyai kendali. Pembaca diajak untuk merenung dan berselancar memahami dunia jurnalistik yang seharusnya dan sebenarnya.
Buku ini dibuka dengan bab yang membahas Kebebasan Pers dalam Islam. Di dalam bab ini, Anda akan diajak berselelancar memahami alasan tentang pentingnya kebebasan pers. Kemudian disusul dengan pembahasan kebebasan pers di dalam Islam bukan hanya hak tetapi wajib. Ketika kita berbicara tentang kebebasan pers dalam Islam, kita akan membicarakan tentang kebebasan berpikir, kebebasan mengeluarkan pendapat menurut perpekstif Islam.
Di dalam Islam, wartawan juga dituntut untuk ber-amar makruf nahi munkar. Bukan hanya ulama saja tetapi setiap person harus ber-amar makruf nahi munkar, termasuk wartawan atau jurnalis. Seorang wartawan juga dituntut berlaku sama, pemberitaan tentang suatu kejadian yang dinilainya sebagai bentuk kemungkaran, harus didasari niat dan misi ber-amar makruf nahi munkar. Dengan menggunakan metode dan proses tertentu (baca halaman 22).
Pada Bab II, Anda akan disuguhi tentang pembahasan yang cukup menarik yaitu tentang konsep dasar kerja pers. Diantaranya adalah membekali kerja dengan kejujuran, menyempurnakan kejujuran dengan akurasi, obyektif dalam menjelaskan kejadian, dan mematuhi aturan dan etika umum (kode etik). Istilah amplop wartawan juga bisa dijumpai di bab ini. Menurut Albert L. Hester, penulis Handbook for Third World Journalist (USA, 1987), fenomena ini merupakan ciri jurnalistik di negara berkembang. Hal ini disebabkan minimnya kondisi keuangan suatu lembaga pers, hingga gaji yang diberikan kepada wartawannya tidak mencukupi.
Jika dilihat dari sudut pandang fikih, amplop yang diberikan seseorang kepada wartawan dengan tujuan demi membenarkan yang salah atau sebaliknya, maka ini termasuk sogokan atau suap yang diharamkan oleh agama Islam. Jika tidak ada unsur pembenaran yang salah dan sebaliknya, maka bukan termasuk suap.
Berbagai penjelasan tentang larangan-larangan dalam pemberitaan, bisa Anda jumpai di Bab III buku ini. Larangan-larangan tersebut misalnya, merugikan nama baik seseorang dan menyebarluaskan kerusakan.
Buku ini ditutup dengan pembahasan yang cukup menarik tentang fikih Islam dan regulasi pers Indonesia. Bab ini juga dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada kaitannya dengan media massa. Selain itu, penulis juga mencoba membandingkannya dengan hukum Islam.
Setiap pembahasan yang ada di buku ini selalu dilandasi dengan ayat-ayat Alquran dan hadist, menjadikan kajian yang dipaparkan semakin akurat. Untuk Anda yang bergerak di bidang jurnalistik atau ingin mengenal lebih dalam dunia jurnalistik. Buku ini bisa menjadi Jawaban yang cukup mantap. Selamat membaca!

?Peresensi adalah alumni jurusan Sastra Indonesia UM, ketua divisi kaderisasi penulis FLP (Forum Lingkar Pena) cabang Malang, dan guru bahasa dan sastra Indonesia SMA Negeri 3 Malang.