Oleh: Karkono Supadi Putra

Aku tidak tahu, mengapa mendadak aku ingin meratapi diriku ini. Aku tiba-tiba merasa seperti seonggok sampah yang tiada berguna. Tubuhku lelah, napasku terengah, aku jengah.
“Dia gila, kasihan dia.”
“Dia tidak gila, dia hanya sakit.”
“Biarkan saja dia terpuruk di situ! Peduli apa kita sama dia, kita tidak mengenalnya. ”
Banyak orang berlalu lalang melintasiku, tapi tak seorang pun yang memperdulikanku, pun sekadar menyapa. Mereka semua seolah membenciku, menghinaku, melecehakanku, jijik melihatku. Bahkan yang lebih kejam lagi, kelewat sering aku dengar mereka mengataiku gila.
Tidak! Aku tidak gila!!
Aku memelas pada semua mereka. Mereka anak-anakku, tapi mengapa mereka tak mau mendengar keluhku? Apakah telinga mereka sudah tuli? Apakah mata mereka sudah buta? Ataukah rasa dalam hati mereka telah membeku?
Mengapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Aku kian terpuruk, tersaruk, remuk.
Aku: Pertiwi…
Langit dan bumi adalah kedua orang tuaku. Keadaanku kini sungguh jauh berbeda dengan keadaanku berpuluh tahun lalu. Aku kini hanyalah sesosok renta yang begitu ringkih. Dahulu, aku hijau menyegarkan, menyebarkan pesona yang memikat banyak orang. Tidaklah heran, jika dulu tidak sedikit yang berebut ingin melamarku. Ingin memiliki diriku.
Membayangkan keadaanku dulu, aku hanya bisa menangis. Aku begitu rindu dengan masa-masa itu. Aku dulu hidup dalam kedamaian, dalam buaian kasih dan sayang kedua orang tuaku. Dalam payung kesejukan gemah ripah loh jinawi. Aku masih begitu ingat bagaimana leluhurku mengajariku akan pentingnya sebuah kerukunan, kedamaian. Masa itu terlewat dengan bahagia, meski sesekali ada goncangan, tetapi itu tiada seberapa.
Namun, sungguh tiada terduga.
Ketika sawah ladang leluhurku mulai berbuah, berjuta ikan, rempah-rempah, hamparan nyiur melambai, dan Dewi Sri siap untuk dipanen, tiba-tiba banyak orang serakah datang merampasnya. Kekayaan anugrah Tuhan yang tiada ternilai itu pun mereka renggut dengan paksa, tanpa belas kasih, penuh kekejian, bahkan kami hanya makan sisanya yang tiada seberapa, dan itu senantiasa terjadi selama berabad-abad lamanya.
Lalu keluarga pun menjadi kaum tertindas di negerinya sendiri.
Kejam! Biadab!

“Dia gila, kasihan dia.”
“Dia tidak gila, dia hanya sakit.”
“Biarkan saja dia terpuruk di situ! Peduli apa kita sama dia, kita tidak mengenalnya. ”
Mereka semua anak-anak dan cucu-cucuku. Mengapa mereka tak lagi peduli denganku, bahkan tak lagi mengenalku? Mungkinkah karena jiwa bapak mereka telah pergi dari mereka? Bapak mereka: suamiku, Budaya.
Budaya…
Namanya selalu mengisi ruang-ruang kosong khayalku. Yang kini telah pergi dan selalu kunanti kehadirannya kembali. Aku tidak akan pernah lupa saat-saat itu, saat dia pergi meninggalkanku, dan entah apakah dia akan kembali lagi, suatu saat nanti?
Budaya….
Aku tidak mungkin lupa semua tentangnya.
Aku masih begitu ingat, kala itu, tiap senja, Budaya tidak pernah lupa untuk mengajakku ke sebuah pantai berpasir putih. Ombak kecil menari menjilati kaki-kaki kami. Nyiur melambai dan burung-burung seolah menari mengiringi kebahagiaan kami. Aku begitu hanyut dalam kedamaian bersamanya. Tak cukup banyak kata yang bisa kuurai tuk melukiskan rasa yang saat itu kurasa. Kolaborasi serasi yang mencipta harmoni.
Namun, entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku merasa ada banyak tangan kekar yang menarikku kuat, mendorong suamiku hingga tersungkur. Kami terpisah. Terdengar suara-suara tawa menggelegar manusuk-nusuk telingaku, aku linglung.
“Kang Massss…!!!” teriakku sekuat tenaga kala itu.
Orang-orang berjas rapi dan berdasi menghajar suamiku, tanpa ampun. Aku hanya menjerit dalam tangis, tak ada yang lain, karena kedua tanganku terbelenggu tali-tali keserakahan, keangkuhan. Lantang salah satu dari mereka bersuara memekakkan telinga, mengumandangkan kata bahwa mereka adalah penguasa yang lebih berhak atas kami.
Suamiku dihajar, dipukuli, ditendang bertubi-tubi.
“Dinda…. Dindaaa…”
“Diammm……!!!”
“Tidak, lepaskan istriku…lepaskan!” suamiku mencoba berontak, tetapi semua sia-sia. Tangan-tangan kami serasa tak berdaya untuk melawan semua itu. Tenaga seperti terkuras habis. Orang-orang itu kian beringas menyiksa kami. Dan… tanpa aku duga, orang-orang itu menyerat suamiku pergi.
Semakin menjauh……
“Kang Mas…Kang Maass…!!!”
***
Kang Mas….Kang Mas….!!
Oh…aku terhanyut dalam lamunan.
Kejadian itu tak pernah hilang dari ingatanku, karena saat itulah kami berdua dipisahkan, hingga kini. Entah, kini dia masih hidup atau sudah tiada? Semenjak kami dipisahkan dulu, aku teramat merindukannya. Sejak saat itu, tak ada lagi yang mengasihiku seperti kasihnya. Pun seandainya kini Ia kembali, mungkin sudah tidak mengenaliku lagi. Kini, aku sudah tidak seperti dulu lagi, aku sudah dijamah ribuan tangan tak berhati.

Kang Mas… dimanakah kini kau berada?
Kemana aku harus mencarimu?
Aku merindukan kehadiranmu, aku membutuhkanmu.

Aku kini kesepian. Terkurung dalam penderitaan. Anak-anakku tak pernah mau menggantikan apa yang telah dilakukan suamiku kepadaku. Sekarang, setelah mereka tumbuh besar dan pandai-pandai, justru mereka hanya bisa menderitakanku. Mereka saling berebut peninggalanku: lautanku, hutanku, gunung-gunungku, kekayaanku, dan semua isi rahimku. Sedangkan mereka yang mengolah sawah ladangku malah memberiku racun. Ada juga  yang tanpa malu menggunduli hutan-hutanku demi kepuasan perut mereka sendiri. Sebagian mereka ada juga yang senang berteriak-teriak demi kepentingannya sendiri, meski nyawa saudaranya dipertaruhkan. Mereka tega saling membunuh bila tengah berselisih. Mereka telah kehilangan rasa belas kasih dan rasa syukur pada Yang Menjadikan mereka ada. Mereka tampak seperti bukan manusia lagi.
“Dia gila, kasihan dia.”
“Dia tidak gila, dia hanya sakit.”
“Biarkan saja dia terpuruk di situ! Peduli apa kita sama dia, kita tidak mengenalnya. ”
Aku kini mulai merasakan, betapa cucu-cucu dan buyutku malu mengakuiku dan suamiku sebagai leluhurnya. Mereka lebih senang dan bangga dengan para tetanggaku yang hanya menawarkan kesenangan sesaat. Rasa malu pun seperti telah tercerabut dari diri mereka. Aku hampir tidak percaya kalau mereka adalah anak dan cucuku yang dulu santun.
Diri ini semakin rapuh dibuatnya. Rambut ini pun tidak hanya memutih, tapi mulai rontok satu satu. Luka-luka di tubuhku ini tidak kian mengering, tapi justru kian menganga lebar di sana-sana. Illahi….ampuni anak-anak dan cucu-cucu kami! Ampuni!!
Anak-anakku… jika air mata ini tumpah, bukan sebab aku meratapi diriku yang renta ini. Namun, sebab aku mencintai kalian semua. Aku tidak rela jika harus melihat kalian berkubang dalam celaka. Sadarilah bahwa aku teramat mencintai kalian.
Illahi… apakah ini pertanda hidup sudah di ambang batas kematiannya? Apakah Engkau sudah lelah menegur mereka dengan beragam bencana yang sebenarnya berasal dari ulah mereka sendiri?

Kulihat ibu pertiwi…
Sedang bersusah hati…
Air matanya berlinang….1)

Lamat kudengar syair mengalun lembut.
Itukah suara anak cucuku? Masih adakah di antara mereka yang menyayangiku? Ataukah mereka justru menertawakan penderitaanku?
Dan… air mata ini kian deras…..
***
?Penulis adalah dosen jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang