Oleh: Imam Nasrodin

”Aqimus sholah wa atauz zakah,
dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat”

Kalimat di atas seringkali mengalir ke telinga kita, baik saat khutbah Jum’at maupun momen-momen lainnya. Jika ditarik dengan benang merah, kalimat di atas menunjukkan bahwa antara ibadah dengan bekerja harus seimbang. Hal ini didasarkan pada analisa kata penghubung ’dan’. Kita semua pasti ingat tentang salah satu fungsi kata penghubung ini di SMA dulu. Kata hubung ’dan’ ini menunjukkan kesetaraan antara kalimat (kata) sesudah dan sebelumnya. Sehingga, sudah jelas bahwa kalimat di atas menunjukkan keseimbangan antara kalimat sesudah dan sebelumnya. Bahkan, jika kita membaca Alquran, pasti kedua hal di atas tak dapat di pisahkan. Artinya, jika ada kalimah dirikanlah sholat, maka sebagian besar diikuti tunaikanlah zakat.
Akan tetapi, sebagian besar dari kita masih memberatkan salah satunya saja, yaitu mementingkan bekerja (tunaikanlah zakat), bahkan hampir mencapai 75%. Buktinya, kita lebih mementingkan urusan kerja dibandingkan meluangkan waktu sejenak untuk mengingat kebesaran ’sang pemilik waktu’. Bahkan, saat kita menghadap kepada-Nya (sholat), seringkali urusan kerja yang diingat, bukan ingat kepada-Nya. Namun, jika kita bekerja malah sebaliknya, yakni tak ingat kepada-Nya sama sekali. Sehingga, seolah kita melakukan kewajiban kita (sholat) hanya sebatas menggugurkan kewajiban saja. Dengan demikian, pantaskah kita mengharap surganya? dan seberapa kuat organ tubuh kita di nerakanya? Saya yakin, kita pasti punya jawaban masing-masing tentang dua pertanyaan ini.
Para ’Ulama’ Salafi Sholeh menggolongkan manusia menjadi 4 golongan, yaitu:
– Dunia beruntung, akhiratnya celaka
– Dunia rugi, akhiratnya beruntung
– Dunia rugi, akhirat rugi
– Dunia beruntung, akhirat beruntung
Dari empat peta kehidupan manusia di atas, tentunya hati kita sudah menemukan golongan yang nomor berapa kita nantinya. Saya yakin bahwa yang lebih tahu jawabannya tentang hal ini adalah hati kita sendiri, karena hati nurani manusia itu tak dapat dibohongi (selalu jujur) walaupun terkadang mulut kita sering berkata bohong. Ini bisa dibuktikan ketika kita bohong kepada seseorang, pasti secara psikologis hati kita tak bisa tenang.
Sudah saatnya kita merenungkan untuk intropeksi diri atas apa yang selama ini kita lakukan. Mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaikinya, karena jika kita sudah didahului sang pemetik nyawa, maka kita sudah tak bisa apa-apa lagi, kecuali menerima konsekuensi atas apa yang kita perbuat di dunia. Dan, mudah-mudahan tulisan kecil ini bisa kita jadikan renungan, sehingga setiap langkah kita selalu mendapatkan petunjuk dan ridho-Nya. Amin.

?Penulis adalah Mahasiswa FE Universitas
Negeri Malang