Oleh: Anna Fatul Ulum

Aku terperangkap dalam suasana temaram. Pada malam ini aku gantungkan harapan indahku. Namun keajaiban itu sangat mustahil untuk aku raih. Aku sudah paham dengan raut wajah di depanku, wajah muram yang berarti “Tidak”.
Lama sekali kami duduk berhadapan tanpa ada sepatah kata pun. Bibir ini kaku, untuk membela diri. Aku tidak mampu, sungguh aku tidak mampu menatap wajah yang selama ini selalu beribawa. Namun tidak  dalam hal rencana pernikahanku.
“Bapak, Ani akan berusaha semampu Ani untuk membantu biaya sekolah adik-adik. Ani takut akan dosa, Ani takut mendekati zina, bukankah ini kewajiban Bapak untuk menikahkan Ani”, akhirnya pembelaan muncul juga dari bibirku.
“Teori memang gampang tetapi praktiknya?” wajah bapak memerah, berselip senyum sinis, yang menambah rasa takut di hatiku.
“Tidak ada pernikahan untuk saat ini, kalau hanya ingin menjadi penunggu dapur, tidak usahlah kuliah!”, suara  bapak gelegar memecahkan hati ini yang sudah dari tadi retak.
aku ingin cinta ini terarah
tertancap tajam dalam hati yang suci
namun busur cinta ini rapuh
tak mampu mewujudkan cinta halal nan hangat
Wajah kekasihku, menambah dilema dalam hidupku. Seharusnya aku tidak memulai perkenalan ini. Sehingga rasa cinta ini tidak  tumbuh dan mengakar kuat dalam dasar hatiku. Perlukah aku mengatakan kepada kekasihku untuk menungguku satu setengah tahun lagi? tidak, itu sama saja aku bermain api yang mengantarkan aku pada perzinahan. Namun aku sudah terlanjur menyukainya.
Aku harus membunuh cinta ini, karena hati bapak belum mampu aku taklukkan. Pernikahan yang aku inginkan bukan hubungan yang tidak pasti. “Aku yakin kita bisa membujuk bapakmu, aku yang akan langsung bicara dengan beliau!” ucapan kekasihku  pasti namun aku tidak mampu meyakinkan hatiku.
Hari ini aku telah membunuh rasa yang  bersemayam di hatiku, walau perih namun itulah pilihan. Kekasihku, maafkan aku bila aku mempermainkan  hatimu. Keluargaku lebih berarti, rido bapakku lebih berharga.

****
Hari ini, sudah kedua kalinya aku menyelenggarakan pernikahkan. Seharusnya aku bahagia. Namun di sudut sana,ada wajah yang telah memenjarakan kebahagiaan ini. Pertanyaan demi pertanyaan  terlontar untuk melangkapi kepedihanku, “O.. saya kira Ani yang menikah, ternyata putri bungsu Bapak. Pernikahan Ani kapan dilaksanakan?” Ucapan semisal  yang selalu mengiris hatiku selalu bertubi-tubi datang dari kolegaku.
Umurku hanya tinggal sebentar di dunia, tapi sampai saat ini putri sulungku belum juga menikah. Seperti inikah dia membalas dendam atas kejadian 8 tahun yang lalu. Namun  senyumnya selalu terpancar, aku selalu gagal mencari letak kebencian di sudut matanya. Tetapi mengapa, sampai saat ini  dia masih belum mau menikah?
“Putriku maafkan Bapak, apabila telah mengubur kebahagiaanmu,” ucapan ini ingin selalu kucurahkan padanya, namun aku terlalu egois.
Setiap hari dia membanting tulang untuk membiayai kehidupan kami, sekolah adik-adiknya, sampai biaya pernikahan adik-adiknya. Seandainya, aku menanyakan siapa laki-laki yang dulu ingin melamar putriku, pastilah akan aku datangi laki-laki itu, akan aku memohon padanya untuk menikahi putriku.
Tuhan, inikah hukuman untuk laki-laki yang egois ini? putriku bukan pencetak uang, dia bukan robot yang tidak punya naluri. Pasti dia sekarang menderita,pasti dia sekarang lagi sakit hati. Namun senyumnya dengan kuat menutupi kepedihan itu.
Putriku, Bapak ingin kau menikah. Namun siapa yang pantas untukmu. Para lelaki di sini merasa  tidak sederajat denganmu. Kamu terlalu sempurna.
Sudah berpuluh-puluh laki-laki yang datang ke rumah ini untuk melamarmu, tapi satupun tidak ada yang mampu membuat hatimu tergerak untuk menikah. Seakan kau sudah hatam dengan dunia laki-laki. Dan bapak adalah orang yang telah mengantarkanmu dalam kehataman itu.
“Ani, mengapa sampai saat ini kau belum menikah?” aku menguping pembicaraan istriku dengan putri sulungku itu.
“Belum ada yang cocok, Bu?”
“Sampai kapan?laki-laki itukah yang hanya cocok padamu?” suara istriku semakin serak. Namun seperti biasa putriku hanya menghindar.
“Apakah tidak ada lagi kesempatan untukku untuk menikahkanmu, putriku?” pertanyaan ini yang selalu menyiksa ulu hatiku.
Sering aku mendengar bisik-bisik tetangga tentang putri sulungku. Mereka mengatakan bahwa anakku si perawan tua, suka nolak laki-laki! Akupun sering mendengar kabar angin kalau putri sulungku dijadikan barang taruhan. Memang yang melamar putri sulungku sangat banyak, tetapi mereka hanya numpang duduk di kursi, setelah itu mereka pulang dengan wajah kalah.
Aku selalu membongkar lemarinya saat dia pergi bekerja, hanya satu tujuanku ‘mencari identitas laki-laki yang dulu menjadi belahan hati putri sulungku’. Laki-laki itu seperti kehilangan jejak, tidak ada tanda untuk menjelaskan di mana laki-laki itu berada. Tuhan, aku benar-benar menyesal.

****
Wajah yang selalu diam itu, kini matanya selalu berair. Aku tidak tahu persis apa yang membuat dia bermuram muka. Mungkin dia sangat kecewa karena tidak ada satu pun laki-laki yang aku terima sebagai suamiku.
Semenjak pernikahan adik bungsuku, dia semakin murung. Aku sangat khawatir atas keadaannya. Tatapannya iba kepadaku. Aku takut dia mengetahui akan penyakitku yang kini sangat kronis. Cukuplah aku yang merasakan penyakit ini.
Kanker ini sudah empat tahun mengakar di otakku. Selama empat tahun juga, penyakitku semakin mencengkram tubuhku. Dari hal inilah mengapa sampai saat ini aku belum menikah.
Dokter sok tahu itu telah memvonis umurku hanya bisa bertahan ± empat tahun saja. Namun aneh, mengapa aku sangat percaya padanya. Terkadang aku benci, mengapa aku harus ke dokter!
Aku ingin seperti adik-adikku, membangun sebuah keluarga yang bahagia. Namun, itu tidak akan pernah terwujud bagiku. Malaikat maut sudah bersiap-siap mencabut nyawaku.

****
Aku sudah tidak mampu menopang tubuh rentaku ini. Dokter dihadapanku mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Bagiku itu kebohongan yang dibuat-buat olehnya. Sungguh tidak mungkin, dan bagaimana mungkin tubuh cantik ini dengan senyumnya yang selalu manis sudah pergi meninggalkan dunia.  Namun itulah kenyataannya, dia benar-benar tidak bernyawa. Suara tangisan istriku dan kedua putriku membahana diantara rimba dosa-dosaku.
Aku telah benar-benar membunuh putriku. Tuhan, mengapa kau tidak pertemukan aku dengan laki-laki yang dicintai putriku. Kematiannya karena aku, karena aku yang telah menghancurkan harapannya.  Putriku, seharusnya aku menikahkanmu dulu. Seharusnya aku yakin bahwa yang mengatur rezeki itu hanyalah Allah.
Putriku, kau pantas menghukumku, kau pantas mengadukan perkara ini ke pengadilan yang Maha adil. Aku  muak dengan sistem yang aku jadikan pedoman ini, aku selalu mengukur kebahagiaan dengan harga dunia.
Senyum matahari kini sudah berlari di tepi barat, aku tinggal sendiri menikmati penyesalan. Penyesalan yang tidak berujung dan malam telah menjadi suasana abadiku.

Penulis adalah mahasiswa jurusan Sastra Indonesia UM