Backpacker, Berpetualang dari Malang ke Bali
Oleh: Rima Anggraini
Orang yang tidak berani menghadapi risiko tidak akan melakukan apa-apa, tidak punya apa-apa, dan bukan siapa-siapa.
Tanggal 25 sampai 30 Juni 2009, kami empat orang mahasiswa Seni Rupa 2005, backpacking dari kota Malang ke Bali berkendara sepeda motor. Nyaris tanpa persiapan, kami berangkat pukul 05.45 WIB dan tiba di Ketapang menjelang sore.
Perjalanan terhambat, polisi mempermasalahkan KTP penulis dan salah satu tim yang sudah expired. Setelah membayar administrasi sebesar 14 ribu dan membayar ekstra 10 ribu karena KTP kadaluwarsa, kami dapat ijin menyeberang. Tips pertama, kartu identitas harus disiapkan, asli dan masih berlaku. Kapal very bergerak menuju Gilimanuk. Ditemani panas matahari sore, kesibukan pelabuhan, anak-anak muda yang melompat dari atas kapal ke laut berebut uang dan angin yang setia menampar-nampar wajah kami yang kelelahan. Tigapuluh lima menit kemudian tim telah menginjakkan kaki di pulau dewata.
Berbekal sebuah peta, kami meneruskan perjalanan. Karena terpaut satu jam, tanpa terasa malam menunjukkan pukul 23.45 wita atau 22.45 wib. Berbeda dengan Malang dan kota-kota di Jawa lainnya, jarang terdapat kamar mandi pada pom bensin di Bali. Kami tiba di Denpasar, ke sekretariat komunitas anak-anak ‘Pojok’. Komunitas ini bergerak di bidang seni, didirikan oleh mahasiswa dari berbagai universitas, sering mengadakan event-event seni dan memiliki basecamp sendiri sebagai tempat koordinasi. Berada di sekeliling mereka mengingatkan kompleks sekretariat UKM di Universitas Negeri Malang.
Tim istirahat di sana. Keesokan harinya, Jumat tanggal 26 Juni kami berkunjung ke ISI (Institut Seni Indonesia) yang bersebelahan dengan Art Center. Kami melihat-lihat studio keramik, patung, dan galery. Ditemani seorang mahasiswa ISI, tim diajak keliling Art Center. Sebuah tempat yang saat itu tengah digunakan untuk pertunjukan seni besar-besaran, semacam Malang Tempo Dulu, hanya saja dilaksanakan sebulan penuh. Di tempat ini terdapat kompleks gedung pertunjukan, panggung, amphiteater, bale bengong atau gazebo, tempat pameran dan expo, buka setiap hari sampai pukul 23.00 dan membuat jalanan sekitarnya macet total.
Pukul 17.20 wita kami bergerak ke lapangan Puputan dimana anak-anak Pojok men-display baliho untuk pameran. Berbeda dari biasanya, tempat pameran kali ini berada di sebuah lapangan dan yang dipamerkan bukan lukisan melainkan baliho ukuran raksasa. Karena perlengkapan dan persiapan dikerjakan sendiri oleh anak-anak komunitas, kami semua mensetting alat sampai pagi lalu tidur di jalanan dan bangun keesokan harinya hingga pukul setengah sembilan.
Tim ke pantai Sanur pukul 10.56 wita. Cuaca panas, berpasir, angin kencang, kapal-kapal nelayan warna-warni, bule-bule berkeliaran, toko-toko suvenir, kedai, hotel dan resto, pohon-pohon di pinggir jalan dan wisatawan lain. Banyak yang mengunjungi pantai Sanur pagi hari untuk melihat sunrise. Kami terkapar ketiduran di bawah pohon. Cuaca panas dan kurang istirahat sejak kemarin. Pukul 14.19, sebelum pulang mampir ke museum Sidik Jari I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Tim sempat interview singkat dengan pemilik sekaligus seniman pencipta lukisan sidik jari ini.
Sejak tahun 1971, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan sudah mulai melukis, hanya saja waktu itu beliau belum menemukan konsep lukisan menggunakan ujung-ujung jari. Lelaki yang kini memasuki usia senja tersebut menghabiskan masa SMA di Malang dan pernah selama 1 semester mengambil kuliah di IKIP jurusan Biologi. Museum Sidik Jari dibangun dari hasil penjualan lukisan sejak tahun 1971 hingga 1993. Beliau menemukan ide lukisan bergaya pointelis atau titik-titik dengan ujung jari setelah melihat gaya lukisan Affandi yang ekspresif. Beliau kemudian bereksperimen dengan jari dan konsisten setelah melihat efek yang bagus. Beliau berpesan, selagi masih muda kita harus memiliki jam terbang tinggi.
Terdapat beberapa museum di Bali antara lain museum Rudana, museum/galery Neka di Ubud, museum Pendet, museum Perak di Sukawati, museum Nyoman Gunarsa di Klungkung dan masih banyak lagi. Sedangkan di Denpasar terdapat museum Lemayur di Sanur, museum Bali (etnologi), museum Art Center, museum ISI (tari dan gamelan), museum perjuangan rakyat Bali yang menyimpan 33 diorama dan museum Sidik Jari.
Kami menghadiri pembukaan pameran berkonsep Bali Yang Binal di lapangan Puputan Badung oleh komunitas Pojok. Bukan hanya pameran baliho, mereka juga mengadakan performance art, pemutaran film pendek, diskusi seni, sarasehan dan festival musik. Pulang dari Puputan, tim mengunjungi Art Center. Menyaksikan festival tari dan gamelan dari berbagai kabupaten di Bali. Malam harinya kami menginap ditempat kos teman dari ISI.
Minggu pagi tanggal 28 Juni, kami meluncur ke Bedugul. Melihat pura di danau. Jika diamati, tidak ada bangunan tinggi di Bali. Kepercayaan di sana tidak memperbolehkan ada gedung atau bangunan yang lebih tinggi dari pura Besakih. Di setiap rumah terdapat pelinggih, batu karang dan sanggah. Pelinggih adalah sebuah tempat sembahyang untuk meletakkan canang atau sesaji, biasanya terdapat di depan rumah dan titik pusatnya terhubung dengan pura Besakih, batu karang adalah tempat meletakkan canang untuk penunggu tempat tersebut, sedangkan sanggah yaitu tempat peribadatan yang berbentuk seperti pura kecil digunakan untuk sembahyang. Jika rumah berlantai dua, maka sanggah harus berada di lantai atas dan letak jemuran tidak boleh lebih tinggi dari sanggah.
Sorenya, tim bergeser ke pantai Kuta. Waktu menunjukkan pukul 17.00 dan kami harus berdesakan dengan wisatawan lain. Tips nomor dua, jika ingin melihat sunset di Kuta, kita harus datang lebih awal agar tidak terjebak bersama arus manusia yang padat.
Setelah mengalami perjuangan panjang berebut jalan dan tempat parkir, kami berhasil menjejak pasir. Lautan manusia berbagai warna, bikini, siluet para surfer, remang-remang langit, bola raksasa yang berpijar di laut barat dan celoteh teman-teman yang tak bisa berhenti. Kami berlarian, ramainya pantai paling terkenal di Bali ini tak menyurutkan ruang gerak. Perlahan-lahan matahari menyusut ke permukaan laut, pelan dan tenang hingga lenyap menyisakan warna jingga sepanjang horizon. Lampu-lampu menyala. Sepanjang jalanan di sekitar Kuta dan Legian dipenuhi kafe, toko, distro, butik, resto, hotel dan penginapan, semuanya terformat secara eksklusif dan berkelas. Tim mampir ke monumen korban bom Bali 1 di Legian, membawa memori pada peristiwa 12 Oktober 2002 lalu ketika pemboman terjadi.
Puas berlarian di Kuta, malam harinya kami ke Art Center lagi, survey oleh-oleh dan marchandise di expo, melihat drama tari Calon Arang dan pertunjukan ludruk Bali.
Senin tanggal 29 Juni adalah hari terakhir. Besok kami harus kembali ke Malang. Uang saku yang minim mulai menunjukkan tanda-tanda penghabisan. Kali ini tim mengunjungi museum Antonio Blanco di daerah Ubud. Harga tiket masuknya mahal sekali, 30 ribu tiap orang. Kami mengurungkan niat. Tips ketiga, jika ingin melihat banyak tempat, kita harus kaya.
Akhirnya tim memutuskan ke Neka galery, masih di Ubud. Seniman Bali justru mengikuti gaya yang tetap dekoratif meski berada di bawah gencatan seni kontemporer. Selesai mengapresiasi karya-karya dari Neka galery, kami bergerak ke T Art Space atau Tangkas Galery. Manajer di sana memberitahu tak jauh dari galery sedang diadakan upacara Ngaben.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, tim bergerak. Upacara Ngaben sangat meriah. Semua anggota keluarga yang meninggal memakai pakaian adat serba putih, kebaya dan kain untuk wanita, sarung dan penutup kepala untuk laki-laki. Seorang pedanda membacakan doa-doa. Gamelan mengiringi prosesi pembakaran jenazah. Karena yang meninggal seorang laki-laki, lembu atau patung sapi yang digunakan untuk meletakkan jenazah berwarna putih.
Jenazah dalam peti berlapis kain putih, diarak mengelilingi lembu empat kali. Kemudian dinaikkan dan dimasukkan ke dalam lembu yang terletak di tengah tanah lapang, lalu dibakar setelah anggota keluarga melakukan penghormatan terakhir. Perlahan lembu akan habis dan tersisa kerangka yang terbuat dari kayu. Jenazah di dalamnya akan rontok berjatuhan. Abu dan tulang-tulang ditampung di bawahnya. Debu dan sisa-sisa pembakaran beterbangan membawa aroma seperti daging bakar. Orang-orang mulai beranjak pulang.
Tim meluncur ke Sukawati. Di sini harga barang bisa berkali-kali lipat, kita harus pintar menawar. Berbagai benda kerajinan, kain, alat rumah tangga, tas, suvenir, pakaian dll. Selesai belanja, tim pulang karena sebentar lagi harus mengikuti sarasehan di Puputan. Sebelumnya kami ke Nusa Dua mengunjungi patung Garuda Wisnu Kencana. Di sana kami melewati universitas Udayana. Kampus yang sangat luas. Lagi-lagi tim harus menelan keinginan karena tiket masuk ke sana yang (hanya) sebesar 20.000 ribu tidak terbeli. Tips ke empat, jangan pernah menganggap diri sendiri lebih bebas dan berpikir menjadi miskin di tempat asing itu menyenangkan.
Selesai Sarasehan, kami ke Art Center yang terakhir kali untuk menyaksikan sendra tari. Seperti yang terdapat dalam banyak lukisan, cerita dan foto-foto, tari Bali luar biasa menakjubkan. Mereka menari dan memainkan alat musik tradisional seperti orang kesetanan, dengan kalap menghentak hadirin dengan irama yang rancak, dinamis, gemulai dan penuh penghayatan. Inilah yang selama ini menginspirasi banyak seniman, menarik perhatian para wisatawan, membuat para apresiator dan penikmat seni kalang kabut hingga menjadikannya sebagai referensi tujuan wisata utama.
Tigapuluh Juni 2009, sebelum pulang tim mampir sebentar di Sanur untuk melihat sunrise. Pukul 06.41, matahari terbit sempurna, percahan cahaya sebesar uang logam di ujung timur tepat di atas permukaan laut.
Kira-kira pukul sembilan saat tim tiba di Tanah Lot. Inilah salah satu objek wisata yang menjadi ikon pulau Bali, paling sering terdapat dalam karya-karya fotografi dan selalu menjadi objek lukisan. Uniknya, disana terdapat sumber air tawar yang mengucur deras dari celah-celah batu. Ini mengindikasikan adanya aliran air tanah yang biasa terdapat di daerah kawasan karst atau pantai.
Pukul 14.46 wita, kami tiba di Gilimanuk. Lagi-lagi terkena tilang karena speedometer yang tak terpasang. Tips ke lima, semua perlengkapan harus prepare dan diperiksa ketika melakukan perjalanan, jangan mencontoh kenekatan kami.
Tim kehabisan uang. Sepanjang jalan tidur dan nyaris menabrak jembatan. Perjalanan malam tak pernah savety dilakukan. Dingin malam musim kemarau menusuk-nusuk dan kami tiba di Malang pukul 02.00 pagi.
Apa saja yang kita dapatkan selain cerita dan derita? Sadar atau tidak, kami hanyalah kumpulan anak-anak manja yang sedang belajar. Jika nanti ada satu waktu yang tersisa, tentunya dunia tetap milik kalian, dan kami menciptakan dunia kami sendiri. Lakukan perjalanan pilihan kemanapun kepercayaan membawamu. Tips terakhir, jangan pernah takut keluar dari zona nyaman.
?Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Seni dan Desain 2005