Oleh: Khotim Ubaidillah

Sebagai bagian integral dari dunia akademisi, memperbincangkan model pendidikan di Indonesia merupakan satu kewajaran yang muncul sebagai efek dari integritas pemikiran penulis selaku sepersekianribu “objek” dari kebijakan (pendidikan). Kewajaran itu kemudian bisa menjadi tidak wajar ketika pelaku perbincangan hanya segelintir orang saja, hanya beberapa kelompok saja—tidak terjadi secara simultan di dalam diskusi barisan akademisi dan unsur pendukungnya.
Kondisi tersebut penulis amati ketika melihat realitas sosial yang terjadi di kampus UM tercinta ini. Misalnya, ketika mencuatnya isu UU No. 09/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), ternyata hanya sedikit mahasiswa yang menjadikan isu tersebut sebagai tambahan “matakuliah” untuk didiskusikan bersama teman dan kerabat kampus lainnya. Di sisi lain, ribuan mahasiswa ternyata masih gandrung dengan “fetisisme akademis”; belajar-mengerjakan tugas–mengikuti ujian—dan tentunya lulus tepat waktu. Alasan pembenarannya bisa jadi karena adanya kebijakan kampus yang membatasi masa studi yang singkat, beban SKS yang terlalu berat serta biaya kuliah yang cukup mahal, sehingga rasanya cukup beralasan jika mereka harus bersikap lebih pragmatis. Pada dasarnya, ritus-ritus seperti itu tidak sepenuhnya salah tetapi akan menjadi lebih indah ketika sebagian energi yang kita miliki diperuntukkan untuk kemaslahatan diri dan masyarakat pada umumnya.
Fakta sosial itulah yang menjadi salah satu pemicu penulis untuk berusaha menyeimbangkan kekuatan soft skill dan hard skill secara proporsional, meskipun perlu banyak sekali pembenahan yang harus dilakukan. Disini penulis secara eksplisit tidak akan berteriak mengenai mahalnya  education cost, tetapi narasi ini lebih menekankan pada aspek elanvital yang hampir dicita-citakan oleh penggiat pendidikan dinegeri ini, yaitu bagaimana yang punya “kuasa” di negeri ini turut memberikan sebuah keberpihakan serius terhadap dunia pendidikan Indonesia, tentunya tidak hanya diwilayah konseptuil dan janji politik belaka, tetapi bagaimana pemimpin kita mampu mengawal dari ranah praksis sampai ke akar-akarnya.
Diskursus ini akan  bertambah menarik, mengingat republik ini  telah mengalami pergantian kepemimpinan—tepatnya pemilihan presiden secara langsung untuk yang kedua kalinya. Disisi lain, media massa juga tak kalah sibuknya. Setiap perkembangan peta politik selalu menjadi bidikan para pemburu berita. Tema-tema koalisi, perubahan, jargon politik, dsb selalu menghiasi lembar demi lembar halaman pers, juga stasiun televisi yang selalu menyajikan perkembangan politik sekarang ini. Nah, apa yang dirasakan masyarakat terkait dengan polarisasi informasi di media?, dimana tema politik  selalu menjadi “rangking 1”, baik di media cetak maupun elektronik. Pertanyaan yang elementer dan sesuai dengan tema besar  dalam narasi ini adalah: seberapa besar keberpihakan presiden terpilih terhadap dunia pendidikan Indonesia?, dimana notabenenya, tingkat elektabilitas presiden kita direpresentasikan oleh “angka-angka” (suara terbanyak), bukan integritas dan kompetensi yang dimiliki, baik secara pribadi maupun instrumen politiknya. Ironis.

Depolitisasi Kebijakan; Upaya Menyelamatkan Pendidikan Indonesia
Pendekatan kritis dalam menelaah model kebijakan di dunia pendidikan harus dilakukan secara lebih terarah, tidak hanya memainkan karakter kelompok outsider pembuat kebijakan yang acapkali melupakan etika berpendapat, destruktif dan menganggap kebijakan yang sudah ada tidak ada manfaatnya. Pun juga terhadap kelompok insider pembuat kebijakan, tidak serta merta membuat policy  tanpa melakukan studi kritis dilapangan dan jauh dari kesan mengusung komitmen nasional dalam memajukan aspek pendidikan. Perdebatan itu sebenarnya akan berakhir pada satu titik konklusi jika kita benar-benar memahami sejarah secara holistik, bagaimana bangsa kita mulai mengenal dunia pendidikan dengan berbagai urgensinya.
Sejarah lahirnya sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukanlah hasil perencanaan komprehensif melainkan langkah demi langkah melalui berbagai bentuk eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di negeri Belanda maupun di Hindia-Belanda sendiri (Nasution, 1983). Selain itu, kejadian-kejadian di luar khususnya di  Asia, mendorong dipercepatnya pengembagnan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya setidaknya dalam teori; memberi kesempatan kepada setiap anak desa terpencil untuk memasuki pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Realitas membuktikan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan studi sekalipun hanya terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja.
Menurut Brugmans (1938) bahwa politisasi pendidikan bukan hanya suatu bagian dari politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis dan luas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda yang  terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Tak mungkin mempelajari masalah-masalah pendidikan di Indonesia pada zaman kolonial lepas dari masalah-masalah ekonomi (1983). Taruhlah mengenai motif pendirian sekolah pertama di Jakarta tahun 1603 yang khusus mendidik anak Belanda dan Jawa menjadi pekerja yang kompeten untuk VOC. Kalau tidak, berarti motif diseminasi teologi nasrani yang paling dominan seperti yang pernah dilakukan oleh Franciscus Xaverius dibawah “Ordo Jesuit”-nya berhasil mengkatolikkan sebagian besar Indonesia bagian timur melalui berbagai instrument pendidikan. Pada perkembangannya, pendidikan kolonial menjalar dalam berbagai bentuk seperti berdirinya Volksschool (Sekolah Desa), Europese Lagere School (ELS), Hollands Chinese School (HCS), Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) dan Algemene Middelbare School (AMS) yang notabene aspek kurikulumnya lebih tertata dari pada model pendidikan sebelumnya.
Sketsa sederhana di atas merupakan gambaran awal mengenai pendidikan Indonesia sebelum merdeka yang nilainya banyak dicederai oleh kepentingan politik kolonial. Menjelang maupun pasca kemerdekaan, model pendidikan kita sebenarnya tidak akan lepas dari tafsir kepentingan. Era 1920 timbullah cita-cita baru yang menghendaki perubahan radikal dalam wilayah pendidikan dan pengajaran yang merupakan gabungan kesadaran kultural dengan kebangkitan politik bangsa Indonesia, sehinga dua tahun berikutnya (1922) lahirlah Taman Siswa. Pun juga sebagai bentuk jalaran visinya, maka tepat tanggal 31 Oktober 1926 lahirlah sekolah swasta dengan nama Indonesische Nederlandsche School (INS) di Sumatera Barat. Semua lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya bermuara pada perubahan ide mendasar dan konstruksi pemikiran bahwa bangsa ini harus keluar dari lingkar-lingkar kolonialisme. Hemat saya itulah politisasi pendidikan—meskipun dalam kacamata Indonesiasentris, gerakan dan ide-ide tersebut banyak dan patut mendapat apresiasi yang tak ternilai harganya; mafhum bahwa bangsa ini terlalu banyak berhutang pada ide dan gerakan yang dilakukan para tokoh, penggiat dan penganjur pendidikan semacam Ki Hajar Dewantara,    Dr. Sutomo, Sutopo Adiseputro, dan lain-lain.
Nah, bagaimana kemerdekaan pendidikan pasca negeri ini merdeka, apakah berjalan secara linier sesuai dengan kemerdekaan de jure  17 Agustus 1945 atau meminjam istilah Ki Hajar Dewantara bahwa: “pendidikan itu melahirkan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan yang akan selalu mempengaruhi dengan kuat atas bertumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme) ”. Apakah paradigma terakhir itu yang tertanam dalam benak pemimpin bangsa dalam meng-create kebijakan di dunia pendidikan. Terangnya, kita perlu tahu kebijakan apa saja yang sudah dilakukan Soekarno (Orde Lama), Soeharto (Orde Baru), dan di Orde Reformasi (Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY). Apakah kebijakan para pemimpin tersebut sudah mencerminkan komitmen nasional untuk benar-benar memajukan pendidikan Indonesia sesuai dengan nilai filosofi agung yang tersurat dalam amanat UUD 1945 pokok pikiran ke-4 dari Staats fundamental norm Negara Republik Indonesia yaitu: “Negara yang mewajibkan para pemimpin Negara dan penyelenggara pemerintahan Negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan cita-cita kemanusiaan yang luhur kepada setiap warga Negara”, seperti laiknya setiap negara yang mempunyai pijakan filosofis pendidikan, termasuk Amerika yang dalam mainstream sering dilabeli Negara kapitalis, liberal  dsb ternyata sudah definitif memakai pandangan adiluhung “education was to be universal for rich and poor”, meskipun praktiknya patut kita pelajari bersama juga.
Soekarno yang sangat kenyang sekali dengan trend pendidikan kolonial, kebijakannya lebih mengedepankan model pendidikan yang merata untuk memberantas buta huruf di seantero Nusantara. Hal itu dilakukan tentunya sebagai antitesa terhadap politik kebijakan pendidikan Belanda yang kental dengan anasir dikotomisnya terhadap masyarakat pribumi. Sense of education ala Soekarno kemudian dilanjutkan lebih inovatif lagi pada periodesasi kepemimpinan Soeharto dengan mencanangkan “wajib belajar 9 tahun”, termasuk juga yang tak kalah populer adalah dibukanya program SD Inpres untuk daerah-daerah terpencil dan terisolir diberbagai belahan daerah di Indonesia.
Pada masa reformasi yang lahir dengan berbagai fragmen  kebebasannya ternyata belum mampu memberikan perubahan secara signifikan untuk mengangkat rating pendidikan di Indonesia. Yang tersohor dan banyak menuai pujian justru kebijakan “Gaji 13” dan hal-hal yang berbau kesejahteraan tenaga pendidik yang seolah-olah menjadi problem terbesar “jalan ditempat” nya pendidikan di negari ini. Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tidak lagi menjadi frase monumental dan inheren dengan “dongengnya” Guru Oemar Bakri. Apakah benar dunia pendidikan kita sudah bermadzab ekonomi dunia dan selaras dengan denyut globalisasi yang sudah tidak terbendung lagi. Kalau begitu, akan menjadi wajar jika motif para orang tua dalam menyekolahkan anaknya hanya untuk mendapatkan kesejahteraan dan pekerjaan yang layak ketika nanti purnastudi. Pendidikan kita yang sebenarnya berorientasi mengasah ranah afektif-kognitif-psykomotorik mengalami ketimpangan ketika pola pikir masyarakat kita hanya berpretensi terhadap hal-hal yang sifatnya pragmatis dan matrealistis.
Idealnya memang pendidikan kita harus bebas nilai, merdeka dari kepentingan yang terlalu mengharapkan “pamrih” berlipat-lipat. Kebijakan pendidikan harus didepolitisasi sekaligus berfungsi melahirkan tatanan politik yang bermoral dan tidak menghalalkan berbagai cara untuk merengkuh kekuasaan. Termasuk komitmen itu yang harus lestari dalam benak masyarakat Indonesia seutuhnya.
SBY dengan tingkat konfidensi yang sangat tinggi berusaha tampil sesempurna mungkin dalam menjalani lakon politiknya sebagai presiden RI periode 2009-2014 . Tapi koreksi kita terhadap kebijakan pendidikan pemerintahan SBY-JK akan menjadi pertimbangan untuk para pemerhati pendidikan di negeri ini, meskipun hal itu bukan menjadi parameter tunggal. Beberapa model kebijakan SBY-JK dalam bidang pendidikan antara lain; anggaran 20 % untuk pendidikan, sekolah gratis, disahkannya dua model UU yaitu UU BHP dan UU Guru dan Dosen,  termasuk juga program BOS dan BKM (Bantuan Khusus Mahasiswa) untuk pendidikan tinggi dengan “modus operandi” yang hampir sama dengan program sosial BLT, dimana pada episode politik selanjutnya, program tersebut direbutkan hak klaimnya antara SBY dan JK. Analisis terhadap realisasi kebijakan tersebut salah satunya bisa dilihat dari aspek kemunculan berbagai program yang serentak hadir dimasa-masa injury time pemerintahan SBY-JK. Paling tidak “gayung bersambut” nya adalah momentum Pemilu Presiden 2009. Adakah ungkapan yang tepat kalau kondisi tersebut tidak mau dikatakan sebagai cara untuk menuai simpati publik.
Kedepan, kebijakan pendidikan kita sudah wajib hukumnya untuk direalisasikan secara murni dan konsekuen sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Tidak ada logika pembenar yang menghalalkan pemerintah dan pelaksana terkait untuk keluar dari garis-garis kebijakan dan rencana strategis yang sudah “mapan”. Paling tidak tahun pertama pasca terpilihnya presiden  akan menetapkan agenda pendidikan sebagai skala prioritas, mengingat diagnosa permasalahan di dunia pendidikan sudah menjadi konsumsi para pemerhati pendidikan di negeri ini. Tinggal bagaimana seluruh komponen bisa mensukseskan itu semua.
?    Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah UM angkatan 2005