Oleh Masbahur Roziqi

Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan siswa secara optimal. Perkembangan itu  tidak dapat hanya mengandalkan pada kemampuan akademis siswa, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek-aspek pribadi siswa. Aspek tersebut meliputi kepribadian siswa, hubungan sosial siswa baik dengan lingkungan sekolah, terlebih lingkungan rumah. Faktor ekonomi pun tidak akan pernah terlepas dari kehidupan siswa yang memang tidak semuanya memiliki strata ekonomi yang sama, melainkan berjenjang berdasarkan penghasilan orang tua.
Tentunya pasti ada fenomena miris yang sering mengoyak insan pendidikan Indonesia, diantaranya ketidakmampuan ekonomi siswa yang sering berujung pada diskriminasi siswa dalam proses pendidikan di sekolah.

Hal ini sangat membahayakan bagi kaderisasi anak-anak bangsa bagi kemajuan negara ini. Meskipun pengalokasian anggaran 20% pendidikan sudah ditetapkan mahkamah konstitusi. Namun implementasinya juga masih bias, karena sebagian besar anggaran tersebut terserap untuk memenuhi gaji guru yang jelas-jelas dalam UU guru dan dosen mewajibkan pemisahan anggaran gaji guru dari anggaran 20% pendidikan tersebut. Hal inilah yang menimbulkan celah untuk melakukan justifikasi argumen bila ternyata pemenuhan perbaikan dan penambahan fasilitas sekolah serta pengalokasian dana bagi siswa miskin masih belum memenuhi target.
Realitas tersebut memang sangat krusial bagi perkembangan pendidikan siswa, terutama siswa yang mengalami marginalisasi karena status miskinnya. Marginalisasi ini tentunya tidak hanya datang dari faktor pribadinya, namun juga datang dari struktural birokrat sekolah. Pelarangan siswa  ikut belajar mengajar, mengikuti ujian sekolah, dan memanfaatkan fasilitas sekolah tidak ayal lagi sering mengakibatkan siswa tersebut mengalami degradasi semangat. Patahnya semangat ini menjadi faktor destruktif yang sangat tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pendidik, terutama konselor (guru BK) sebagai pembela utama terhadap ketidakadilan yang diterima siswa. Pandangan sempit yang menyatakan bahwa konselor harus netral dan tidak memihak harus dihapus secara sempurna, karena memang ketidakberpihakan konselor hanya akan menambah daftar panjang konselor yang sering distigmatisasi sebagai polisi sekolah. Slogan lebih baik dihujat karena membela siswa yang tertindas daripada dipuji karena membela ketidakadilan yang berkedok “kebijakan sekolah” dirasakan sangat patut untuk dipraktikkan dengan tindakan nyata di lapangan. Dasar inilah yang hendaknya menjadi acuan bagi konselor untuk membela siswa miskin agar tegaknya pendidikan bagi seluruh siswa menjadi sebuah realitas yang tidak sekadar mengendap di wilayah angan-angan.
Advokasi yang dilakukan pun bisa bermacam-macam, baik itu melalu jalur negosiasi dengan pihak birokrat/struktural sekolah atau pun melalui pemanfaatan OSIS sebagai organisasi representasi siswa dalam sekolah. Strategi yang dilakukan pun bisa tidak terbatas dan hanya terpaku pada layanan atau instrumen pendukung dalam kegiatan Bimbingan dan Konseling, meskipun hal itu bisa dimasukkan sebagai bahan propaganda kepada siswa lain untuk membangkitkan semangat dalam melawan ketidakadilan ekonomi tersebut.  Beberapa yang dapat dilakukan ialah sebagai berikut.

•    Politik bimbingan. Fungsi pemahaman dan pencegahan terhadap ketidakadilan sekolah terhadap siswa miskin dapat dilakukan pada program bimbingan. Konselor dapat memberikan handout tentang ketidakadilan yang dialami oleh siswa miskin di sekolah tersebut.
•    Mengoordinasikan tindakan advokasi tersebut pada OSIS. Tentunya konselor dapat melakukan penyamaan persepsi melalui pengurus OSIS yang akan kita refleksikan sebagai pelaksana teknis advokasi di tataran siswa.
•    Melakukan penyebaran angket tentang tanggapan siswa terhadap realitas ketertindasan siswa miskin oleh kebijakan sekolah. Analisis tentang angket ini diperlukan sebagai pemetaan minat para siswa untuk terlibat dalam advokasi terhadap siswa miskin. Hasil ini sangat memengaruhi efektivitas tekanan terhadap birokrat sekolah, karena jika perolehan suara kecil maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi apatisme sosial siswa sekolah tersebut.
•    Mengumpulkan bukti dan keterangan melalui berbagai sumber, baik itu bersumber dari keterangan guru maupun keterangan siswa. Tentu saja komunikasi yang dilakukan harus secara personal dan lebih cenderung pada pihak yang pro advokasi siswa miskin.

Beberapa cara tersebut merupakan skenario perencanaan dan pelaksanaan advokasi jika mayoritas siswa dan guru mendukung dan berempati, dan tidak menutup kemungkinan terjadi hal yang sebaliknya. Penanggulangan terhadap sedikitnya warga sekolah dapat dilakukan dengan berpusat pada efektivitas konselor dalam membentuk sebuah tim kecil yang berisi gabungan guru dan siswa untuk melakukan koordinasi dalam mengumpulkan bukti dan melakukan propaganda di sekolah dan Dinas Pendidikan setempat. Meskipun mayoritas tidak mendukung, tetapi setidaknya bisa mengacak pemikiran warga sekolah untuk tidak konsisten lagi terhadap kebijakan sekolah, karena memang faktor kekuasaan lebih mendominasi ketakutan warga sekolah untuk bergerak, terlebih di sekolah swasta. Sedangkan untuk perjuangan ke Dinas Pendidikan dapat dilakukan jika memang peluang lobi atau negosiasi tertutup. Jika memang tetap tidak dapat bergeming karena prosedur dinas yang rumit, maka kita dapat memanfaatkan media massa untuk melakukan investigasi terhadap fenomena penindasan siswa miskin di sekolah tersebut, sehingga opini publik juga bisa mengarah pada ketidakadilan dalam sekolah itu. Tentunya konselor dan tim kecil yang telah dibentuknya melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan redaksi serta pimpinan bagian investigasi media massa tersebut, agar terjadi penyamaan persepsi .
Beberapa cara tersebut tentunya akan mengancam eksistensi konselor sebagai tenaga pendidik di sekolah tersebut. Namun itulah harga yang harus dibayar untuk mewujudkan persamaan perlakuan bidang pendidikan terhadap semua siswa tanpa memandang status apapun. Rasa tanggung jawab dan semangat perlawanan serta pembelaan terhadap siswa yang tertindas secara ekonomi oleh struktural sekolah harus tetap tertanam dalam diri semua pendidik terlebih konselor sebagai pembela utama para siswa.

Penulis adalah mahasiswa bimbingan konseling Universitas Negeri Malang angkatan 2007