Sajak Tria Wulandari

Kuharap pagi ini koran itu tidak lagi membawa tipuan yang mengatasnamakan demokrasi dan menjual tirani ke sana kemari.  Sedang Malaikat mencatat dalam sajaknya sampai  terakhir adalah dosa.

Alur pada babak pertama diberitakan:
Rakyat adalah karikatur-karikatur tanpa suara.  Mereka menghuni sebuah negeri,  populasi yang tidak tahu aturan, antara buruh dan penguasa kerjanya hanya mengeluh saja.
Berabad-abad dijarah coreng-moreng cerita tanpa bab kasih sayang. Harta, pangkat, kekuasaan mengakar pada jiwa-jiwa yang tak bermartabat, menjadikan kedua mata, telinga, mulut usang akan  bualan yang terpejam. Tinggal hiasan dinding yang bisanya membungkam ketidakadilan.

Terdengar suara-suara mengerang di belakang dinding, mereka meminta seonggok duri pada genggaman yang masih peduli. Bukan lagi sebiji jagung yang parau akan kemarau. Sekedar pengganjal lapar, biar ia tidak kerontang mengoreti rongsokan setiap hari.

Astaga, pada lembaran berikutnya raungan untuk sarapan pagi yang mengaduk perut hingga senja muncul menggantikannya mulai bertanya tentang hak menghuni sebuah negeri.
Sinar
Katakan pada pengurus negeri, masihkah mereka mendengar doamu sehabis mengaji?
“Berikan aku dan rekanku sangkar yang layak ditinggali. Dan adakah lowongan pekerjaan yang tidak menggangu sekolah kami? Tapi jangan paksa kami berdiam diri menunggu janji mati suri.”
Dan Marni
Katakan pada pangurus negeri, masihkah mereka mendengar tangisanmu saat kau menggaruk nasi?
“Berikan aku dan rekanku jajanan yang tidak basi. Dan adakah yang tidak hanya mengurusi harta sendiri? Tapi saat kau belikan jajanan, tolong jangan uang dari hasil menggorok leher kami.”

Masih mengganjal di benak pula, kisah perjuangan dengan selembar kain kumel yang bertuliskan, ”Kami angkatan pembela kaum teraniaya.”
Tanpa malu kehilangan muka, asal saja pulang tidak membawa luka adalah teriakan yang terlontar sampai mengepulkan asap.

Astaga
Apalagi yang  mesti didengar kedua telinga ini?
Tidakkah usang dengan drama kiriman Tuhan?
Ingatkah saat ajal menjemput secara serampangan tanpa berpamitan pada setiap penghujung akhir tahun.
Haruskah negeri ini diratakan air mata melihat kubangan tergenangi air bertekstur cat merah? Melihat sekumpulan orang dipabrikkan beramai-ramai.

Tuhan, segera kuselesaikan sajak pada  bagian penutup koran ini:
Semoga kesunyian luka yang menganga di telan gulungan ombak. Antara duka dan lara tidak menjadi tinta di atas kertas yang masih bersisa.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Matematika, nominator Lomba Menulis Puisi FLP UM, dan giat di UKM Penulis.