Sajak Royyan Julian
perempuan itu telah berpijak di hadapan cinta yang tinggal menunggu detiknya pada puncak bukit tengkorak.

ia kembali mengenang ketika mata itu menahan raganya—bahkan hatinya—dari batu rajam yang dilontar oleh tangan-tangan suci para dewa.
“terlambatkah bila kini kuucapkan ikrar cintaku meski tubuhmu tergantung di atas tiang kayu?”
apakah kau tahu bila ia memendam rasa saat kau membawanya pada delta sungai yordania untuk menghapus dosa-dosanya dan membaptis hatinya?

“aku haus,” katamu dengan bibir terpatah-patah. lalu ia celupkan setangkai bunga karang yang dicucuk pada sebatang hisop ke dalam semangkuk anggur asam untuk menghapus dahagamu, tapi tak mampu menghapus dahaganya akan kasihmu. kasihmu sebagai lelaki, bukan sebagai sang nabi.

hingga lamat-lamat awan menampakkan kengerian yang teramat. jubah yang setiap hari kau kenakan menjadi bulan-bulanan hulubalang pontius pilatus. menjadi sekadar barang undian. namun, jangan cintamu, sayang.
lantaran kasihmu tak lagi menjadi miliknya, maka berikanlah satu-satunya cintamu kepadanya.

lihatlah, perempuan-perempuan yang berdiri di bawah salibmu merintih kesakitan, sebab darahmu adalah darah kami. tetapi, duhai kasihku, hati ini lebih sekarat ketimbang mereka yang menangis kerana kehilangan gembalanya. sebab hatimu adalah hatiku.

akankah kau meninggalkannya meski kau lelaki terakhir yang dihidangkan dalam nampan sucinya?
seolah tak mendengar rintihan isaknya, kau hanya berseru dengan suara nyaring,
“eli, eli, lama sabakhtani?”

lantas kau tinggalkan jejak cintamu di bawah kubur batumu.

Malang, 2010

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia  angkatan 2008