Oleh Royyan Julian

Om swastiastu.
Kupersembahkan canangku pada taksumu
yang kini menimbun langit
dengan jelaga yang mulai
memburaikan semburat matari.
Ada garang di kuncup megah candi
yang mengembus kepul asap dupa
menyabung bumi seribu pura.

Akhirnya, sekitar pukul 03.00 WITA, bus kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk Kabupaten Jembrana, Bali. Pagi buta pulau dewata menggantungkan sebilah bulan sabit keemasan di pucuk gapura pelabuhan.
Pada pukul 15.00 WIB hari sebelumnya (28/01), kami, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sastra Indonesia hengkang dari almamater kami tercinta, Universitas Negeri Malang. Kami bukan Gayus Tambunan yang berpelesir ke Bali. Kami hanya sekumpulan mahasiswa yang ingin mengakhiri periode kepengurusan kami dengan senyum manis dan suasana kekeluargaan. Kami memilih Bali sebagai tujuan kami karena di sana, kami tidak hanya akan berwisata, tetapi juga mengunjungi saudara-saudara mahasiswa sesama Jurusan Sastra Indonesia.
Subuh, kami sudah sampai di tempat transit kami, rumah makan Ranggon yang berlokasi di Kecamatan Buleleng, Singaraja. Di sana kami sarapan sambil menikmati suasana pagi nan sejuk Pantai Lovina yang terhampar luas di depan mata.
Usai sarapan kuliner ala Bali dan bersih diri, kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanan, saya melihat pemandangan yang membuat saya takjub: di Bali akan selalu ada sanggah, pura keluarga di depan rumah, toko, atau bangunan lainnya. Paling tidak ada pelinggih, tempat meletakkan canang, sajen sebagai persembahan kepada arwah nenek moyang. Karena itulah Bali dikenal sebagai pulau seribu pura. Hal ini membuktikan bahwa seberapapun gencarnya budaya modern mengepung Bali, tapi kearifan lokal akan tetap mereka pertahankan. Spiritualitas lokal mereka pegang dan warisi kepada anak cucu mereka.
Kali ini, kami—sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya—hendak mengunjungi saudara-saudara kami, HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha yang juga berlokasi di Singaraja. Kami kenal mereka karena kami tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Bahasa Indonesia se-Indonesia (Imabsi). Di sana, kami tiba sekitar pukul 09.00 dan disambut dengan baik oleh mereka. Acara kami tidak hanya sekadar mengunjungi saja. Namun, di universitas yang dahulu merupakan IKIP Malang cabang Singaraja itu, kami bertukar pengalaman dan pikiran dalam suasana yang begitu akrab dan renyah. Dari sinilah kami saling belajar satu sama lainnya untuk membangun manajemen organisasi yang lebih profesional.
Melewati jalan berkelok-kelok hingga menyebabkan sebagian dari kami mual-mual, kami menuju Danau Bedugul. Ya, kami menikmati santap siang di bibir danau terbesar kedua di Bali itu yang telah di sulap menjadi semacam tempat makan berhiaskan aneka rupa seni patung dan mengalun musik tradisional gamelan Bali. Di area pinggiran Danau Bedugul itu pula dijual bermacam-macam kerajinan dan kudapan khas Bali.
Jadwal kami selanjutnya adalah Tanah Lot. Dalam perjalanan ke sana, kami dikenalkan dengan pemandu wisata kami yang akrab kami panggil Bli Ketut. Bli Ketut tidak hanya menjadi pintu gerbang kami untuk mengetahui seluk beluk tempat wisata yang akan kami kunjungi, tetapi juga pembuka cakrawala kami mengenai khazanah sosio-kultural Bali. Dalam salah satu tuturannya, Bli Ketut menyampaikan bahwa pemerintah dan masyarakat Bali sepakat menjadikan kekayaan jenius lokal sebagai potensi wisata Bali. Oleh karena itu, mata pencaharian utama masyarakat Bali adalah sektor wisata. Di Bali, kami juga tidak menjumpai gedung-gedung menjulang seperti di kota metropolitan Jakarta dan Surabaya. Kebijakan dari pemerintah Bali adalah tidak membangun gedung yang tingginya lebih dari lima belas meter karena tidak boleh lebih tinggi dari pohon. Masyarakat Bali sangat menjaga hubungan harmonis dengan alam (salah satu ajaran tri hita karana). Bli Ketut akan memandu kami hingga akhir perjalanan wisata kami.
Sebelum sampai di Tanah Lot, kami barang sebentar menyempatkan diri mengunjungi pusat perbelanjaan Joger (Joger adalah nama pengusahanya). Nama ini barangkali tidak asing bagi para pembaca. Sebab, produk Joger (sandal, tas, sepatu, kaos, dan lain-lain) sudah banyak dipakai di mana-mana meskipun produk ini hanya bisa di beli di Bali.
Sekitar pukul 16.00, saat langit menjelma jigga, kami menikmati deburan ombak. Di sana, sebuah pura berdiri megah di atas batu besar hingga di kenal dengan nama Pura Tanah Lot. Tanah Lot berarti tanah yang berada di tengah segara. Menurut sejarah, pura tersebut didirikan oleh seorang resi dari Jawa, Dang Hyang Nirartha yang menyebarkan ajaran Hindu di Bali. Masyarakat sangat menyucikan Pura Tanah Lot sehingga ada kepercayaan bahwa pura tersebut dijaga oleh empat ular belang hitam putih dan perempuan yang sedang datang bulan tidak dipekenankan memasuki pura karena jika hal ini dilanggar, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di Tanah Lot itu pula mengalir sumber mata air yang airnya dipercaya dapat membuat orang awet muda.
Rasa keterpukauan kami memuncak saat detik-detik tenggelamnya matahari di kaki langit. Matahari oranye secara perlahan jatuh ke ujung laut dan langit secara perlahan-lahan mulai gelap. Lalu pekat. Kami, para wisatawan (domestik maupun manca) meninggalkan pantai pada pukul 18.30. Di tempat lokasi wisata Pura Tanah Lot, lagi-lagi kami dihadapi oleh masyarakat yang menjual aneka suvenir Bali.
Kami tiba di Hotel Puspita Indah, Ubung, Denpasar sekitar pukul 20.00. Habis makan malam, kami tidak langsung tidur, tapi kami mengadakan forum HMJ. Forum tersebut adalah sebentuk pewarisan pengalaman manajemen organisasi pengurus angkatan 2008 ke pengurus angkatan 2009. Tepat tengah malam, kami berlayar ke alam mimpi.
Pagi menjelang, kami sarapan sebelum check-out dari hotel. Destinasi wisata kami selanjutnya adalah pusat perbelanjaan suvenir, Karang Kurnia yang hanya berjarak sekitar lima belas menit perjalanan dari hotel Puspita Indah. Kami sampai di sana sekitar pukul 09.00. Di situ, tanpa diduga, isi dompet kami terkuras karena asyiknya memilih barang-barang dan oleh-oleh untuk orang-orang terdekat.
Setelah puas berbelanja, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Tanjung Benua Nusa Indah. Kami manikmati makan siang di sana. Sebagian dari kami berlayar menuju Pulau Penyu. Sebagian lainnya hanya duduk-duduk di gazebo yang berdiri tegak di ujung dermaga sambil menikmati panorama lautan. Matahari yang cerah menambah indahnya pemandangan. Di atas cakrawala, seekor burung camar menyambar mematuk ikan-ikan kecil yang berenang ke sana kemari. Sementara itu, perahu-perahu berlalu lalang menghantar para wisatawan mengunjungi Pulau Penyu, diving, snorkeling, dan lain sebagainya.
Puas dengan suasana siang Pantai Tanjung Benua Nusa Dua, kami melanjutkan perjalanan menuju pusat perbelanjaan lagi, yaitu Krisna yang terletak di By Pas, Ngurah Rai. Sampai di sana kira-kira pukul 14.00. Bila di Karang Kurnia kami berbelanja aneka suvenir, maka di Krisna kami memborong panganan-panganan khas Bali. Dodol Bali, brem Bali, kacang disko, sale pisang, dan lain sebagainya.
Sore itu, (di depan Krisna) kami menunggu angkutan kota (angkot) yang akan membawa kami ke Pantai Kuta yang ditempuh sekitar lima belas menit dari Krisna. Peraturan pemerintah Bali adalah tidak diperkenankannya memasuki area wisata Kuta dengan kendaraan yang panjangnya lebih dari tujuh meter. Sedangkan bus yang kami tumpangi memiliki panjang lebih dari itu. Oleh karena itu, saat ini kami sedang menikmati jalanan Kuta dengan dua angkot. Di sepanjang jalanan Kuta dan Legian, berderet toko-toko suvenir, rumah makan, dan aneka macam jasa seperti salon, tato, gym, spa, bar, kafe, diskotek, hotel, bahkan gulat sumo. Di sana, Anda juga bisa menikmati kopi Starbucks dan Hard Rock. Sekadar saran untuk Anda: bila di kantong Anda hanya ada uang yang tak seberapa, janganlah membeli apa-apa di Kuta karena barang-barang di sana banyak dibeli oleh turis-turis asing sehingga harganya melangit.
Jalanan Kuta dan Legian didominasi oleh wisatan-wisatawan manca berseliweran ke sana kemari. Di Legian itu pula, saya melihat tugu untuk mengenang para korban tragedi Bom Bali I 12 Oktober 2002 yang sempat menggegerkan dunia internasional. Pada sekitar pukul 16.30, sampailah kami di Pantai Kuta.
Untuk memasuki area Pantai Kuta tidak dipungut uang karcis (bebas masuk). Di sana, teman-teman menceburkan diri ke laut yang ombaknya cukup besar. Kami tidak diperkenankan bermain-main di area yang bertanda bendera merah dan tengkorak karena itu berarti ombaknya sangat ganas. Kami hanya bermain-main di area yang aman-aman saja. Di Pantai Kuta, turis-turis manca tidak mau menyia-nyiakan kesempatan murah ini. Mereka yang sebagian besar berasal dari negeri miskin cahaya matahari, membaringkan tubuhnya untuk berjemur (sunbath). Tampak pula para surfer meluncur dengan anggun di atas gulungan buih gelombang lautan. Sedangkan sebagian dari kami hanya duduk-duduk di atas pasir kering sambil menikmati megahnya matahari senja.

Tuhan,
pada akhirnya
kutahu kelak kita menyatu
bagaikan pasir lautmu yang disapu ombak.
Seperti riang renyah para bocah kencur
yang bergurau di balik bayang hitamnya.

Tuhan,
dalam mihrabmu
kutuliskan jejak riwayatku
pada semilir angin yang berembus ke utara
menuju wajahmu dalam ujung hembus nafasku.

Pukul 18.30, kami kembali ke bus kami yang masih parkir di Krisna. Di Krisna pula, teman-teman bersih diri karena basah kuyup dan berlumuran pasir laut. Setelah itu kami bergegas pulang. Sekitar pukul 23.00, kami menyempatkan diri berhenti di rumah makan untuk makan malam. Terakhir, kami kembali sampai di Pelabuhan Gilimanuk pada pukul 23.30. Di sepanjang Selat Bali, kami menikmati langit malam yang cemerlang bertabur bintang di lantai paling atas kapal feri. Kami bercanda gurau menghabiskan waktu hingga sampailah kami di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Kami kembali ke dalam dekapan tanah Jawa. Kami ucapkan selamat tinggal pada Pulau Bali. Jejak indahmu kubawa pergi.
Om santi santi santi om.

Penulis adalah Pengurus HMJ Sastra Indonesia 2009-2010