Siapa yang tidak mengenal R.A. Kartini? Dengan pengetahuan dan perhatian terhadap masalah-masalah sosial, perempuan kelahiran 21 April 1879 ini telah melahirkan tulisan-tulisan yang menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia. Tidak heran jika R.A. Kartini disebut sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Tidak hanya di Jepara, tempat kelahirannya, semangat R.A. Kartini menyebar hingga seluruh penjuru Indonesia.

Kartini-Kartini UM
Lebih dari satu abad berlalu. Namun, R.A. Kartini masih menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia. Sosok perempuan cerdas dan berwawasan luas pun bermunculan. Beberapa di antaranya lahir di Universitas Negeri Malang (UM) seperti Dr. Endang Suarsini, M.S. dan Dyah Lestari, S.T.
“Yang saya kagumi dari sosok R.A. Kartini adalah kepandaiannya menulis dan berkomunikasi. Di zamannya, beliau sudah bisa berkomunikasi secara global dengan kawan-kawannya di luar Indonesia. Itu yang ingin saya teladani dari beliau,” ujar Dr. Endang Suarsini, M.S. ketika ditanya mengenai sosok R.A. Kartini.
Dr. Endang Suarsini, M.S. adalah satu dari banyak perempuan Indonesia yang terinspirasi oleh R.A. Kartini. Dosen FMIPA UM ini telah lama bergelut di bidang penelitian. Ketertarikan meneliti sudah nampak sejak Ibu Endang masih kecil.  Saat duduk di bangku SD, beliau mencoba meneliti semangka. Saat itu, perempuan kelahiran Lumajang ini mendengar kabar bahwa semangka yang dikonsumsi dengan gula dapat menyebabkan kematian. Ibu Endang yang masih polos pun penasaran lantas melakukan percobaan sederhana dengan memasukkan semangka yang telah dicampur gula ke dalam botol plastik. Botol tersebut disimpan di dalam lemari pakaian. Beberapa hari kemudian ternyata botol tersebut pecah. “Waktu itu saya berpikir, semangka dengan gula ke dalam botol saja, botolnya bisa pecah. Apalagi di dalam perut manusia, berarti bisa meledak juga,“ cerita Ibu Endang sambil tertawa mengenang masa kecilnya. Sayangnya penelitian ini belum sempat di-tindaklanjuti saat beliau dewasa.
Sejak tahun 2004 hingga sekarang, sudah lebih dari delapan penelitan yang dilakukan oleh Ibu Endang Beberapa di antaranya penelitian mengenai bakteri. Pada tahun 2009, mi-salnya, wanita kelahiran 18 April 1953 ini melakukan penelitian berjudul “Bakteri Indigen Pereduksi Polutan sebagai Stater Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga”. Dalam penelitian ini, beliau melakukan pembiakan terhadap tiga jenis bakteri, yaitu bakteri pendegradasi lemak, amilum, dan protein. Ketiga bakteri tersebut dapat men-degradasi limbah domestik yang berasal dari sisa-sisa makanan.
Ide awal dari penelitian yang dilakukan oleh Ibu Endang tersebut berasal dari lingkungan sekitar rumahnya. Beliau merasa terganggu dengan tetangganya yang tidak mau memisahkan limbah rumah tangga. Limbah padat dan cair dari tetangganya bercampur menjadi satu di saluran pembuangan sehingga Ibu Endang harus membersihkan saluran pembuangan yang juga melewati rumahnya tersebut. Dari situlah beliau menemukan ide untuk mengolah limbah rumah tangga.  Bekerja sama dengan CV Duta Karya, alat pengolah limbah ini pun dipasarkan hingga ke Tulungagung dan Kalimantan.
Tidak berhenti sampai di situ, dibantu oleh empat mahasiswanya, Ibu Endang mengembangkan bakteri untuk menanggulangi dampak lumpur Lapindo. Penelitian ini tergabung dalam tim yang diketuai oleh Ahmad Fahmi, S.T., M.T. Ibu Endang mengambil bagian dalam judul “Sistem Pengamanan Biologis (Biosecuruty) Lingkungan Lumpur Lapindo sebagai Daya Dukung Perairan Tambak” yang dilakukan pada tahun 2010.
Pada tahun 2011, Ibu Endang mendam-pingi mahasiswa KKN Tematik di sebuah pabrik tahu di kota Batu. Dalam kegiatan ini, mahasiswa membiakkan bakteri pereduksi limbah domestik yang digunakan untuk menyaring limbah tahu sebelum dialirkan ke sungai. Bakteri tersebut ditempatkan dalam biofilter yang selanjutnya diletakkan di pintu air. Sayangnya, saat ini pabrik tahu tersebut berhenti beroperasi.
Membagi waktu sebagai dosen, peneliti, sekaligus ibu bukanlah hal yang mudah. Ibu Endang mempunyai cara tersendiri untuk membagi waktu di tengah kesibukannya. Dulu, saat anaknya masih bayi, sebelum berangkat ke kampus, Ibu Endang menyiapkan kebutuhan anaknya terlebih dahulu. Setelah lengkap, beliau menitipkan anaknya pada tetangga.
Ibu Endang membiasakan hidup mandiri dalam mendidik anaknya. Ketika anaknya duduk di bangku TK misalnya, beliau tidak pernah seharian menunggui di sekolah se-perti ibu-ibu lainnya. Ketika duduk di bangku SD pun, anak Ibu Endang biasa mampir ke gedung FMIPA UM sendiri selepas pulang sekolah.
Dalam mendidik mahasiswanya, Ibu Endang selalu mengusahakan mahasiswanya tidak hanya memperoleh ilmu di dalam kelas, tetapi juga memiliki soft skill dan hard skill untuk dikembangkan di lingkungan sekitar. Salah satunya pada mata kuliah parasitologi, beliau memberikan tugas terstrukur meneliti kontainer-kontainer yang ada di UM, apakah sudah bebas dari larva nyamuk penyebab demam berdarah atau belum. Beliau mengajarkan membiasakan personal higient dan sanitasi lingkungan terhadap mahasiswanya.
Selain itu, Ibu Endang kerap mendorong mahasiswanya untuk meneliti penyakit-penyakit yang ada di daerah asalnya. Data penyakit tersebut biasanya didapatkan dari puskesmas yang ada di sekitar rumahnya. Tidak jarang penelitian ini menjadi latar belakang penyusunan skripsi bagi mahasiswa-nya di kemudian hari.
“Perempuan itu istilahnya harus be smart, jadi cerdas dan pintar menempatkan diri di lingkungannya. Seperti R.A. Kartini tadi, dapat bermanfaat bagi orang banyak. Tidak harus di luar rumah, di dalam rumah pun sebenarnya bisa, asal bisa berpikir kreatif untuk orang banyak,” pesan Ibu Endang kepada perempuan-perempuan Indonesia.
Berbeda dengan yang disampaikan oleh Dyah Lestari, S.T., M.Eng. “Pesan untuk wanita-wanita Indonesia, ya jangan sampai kalah dengan laki-laki dari segi ilmu dan kemampuan. Harus terus berusaha menambah ilmu sehingga bermanfaat bagi sekitar,” pesan dosen Teknik Elektro ini kepada perempuan-perempuan Indonesia.
Ibu Dyah adalah sosok wanita lain yang terinspirasi oleh R.A. Kartini. Bersama dengan tim yang diketuai oleh Ahmad Fahmi, S.T., beliau membuat alat kontrol berbasis GPS. Penelitian ini juga merupakan hasil kerja sama dengan pihak Pertamina.
Penelitian ini didasarkan pada permasalahan yang sering timbul saat pendistribusian bahan bakar oleh Pertamina. Sering ditemui tangki-tangki bahan bakar yang bocor di tengah jalan sehingga jumlah pasokan berkurang. Melihat permasalahan ini, tim penelitian Ibu Dyah berinisiatif untuk membuat alat dengan sensor GPS. Sensor ini memiliki dua fungsi, yang pertama untuk mendeteksi keberadaan tangki pengangkut, yang kedua untuk mengukur volume bahan bakar. Salah satu manfaat penelitian ini adalah untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh Pertamina.
Sejak awal mengajar pada tahun 1999 di FT UM, setidaknya sudah lebih dari tujuh penelitian pernah dilakukan oleh Ibu Dyah. Beliau mengetuai dua penelitian dan sisanya sebagai anggota kelompok. Ketertarikan terhadap dunia penelitian ini tidak lepas dari kegemaran Ibu Dyah menganalisis. Uniknya, beliau mendapatkan kegemaran ini justru dari hobinya bermain game.
Bagi Ibu Dyah Lestari, meneliti tidak hanya dilakukan secara formal, tetapi dapat berasal dari fenomena-fenomena sehari-hari sehingga bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah di lingkungan sekitar. Ibu tiga anak ini juga memiliki keinginan untuk melakukan penelitian bersama dengan mahasiswa-mahasiswanya. Kebetulan, saat ini Ibu Dyah menjadi koordinator TA program D3. “Saya inginnya, penelitian yang dilakukan itu bermanfaat bagi lingkungan sekitar nantinya,” ujar perempuan kelahiran 11 November 1974 ini.
Lulusan salah satu perguruan tinggi di Australia ini menuturkan bahwa dalam penelitian sering dijumpai hambatan-hambatan. Baik dari segi pengambilan data dari instansi yang diajak bekerja sama, sampai izin melakukan uji coba. Namun, hambata-hambatan itu tidak menjadi masalah. Justru memicu beliau untuk lebih kreatif dalam mencari solusi. Ke depannya, Ibu Dyah ingin menuntut ilmu di jenjang yang lebih tinggi dan dapat mengaplikasikan ilmu tersebut dalam pola pengajaran di UM.
Membagi waktu sebagai peneliti, dosen, dan ibu bukan hal yang mudah bagi Ibu Dyah. Bahkan, waktu 24 jam dalam satu hari pun dirasa masih kurang. Untuk menyiasati hal itu, perempuan kelahiran Malang ini membagi waktunya menjadi dua. Pada jam kerja, yaitu pukul 07.00- 15.00 WIB dihabiskan untuk kegiatan akademik di kampus dan kegiatan penelitian. Di luar itu, kegiatan dilakukan bersama keluarga di rumah. Namun tidak jarang, masih saja ada kegiatan kampus yang belum bisa diselesaikan pada jam kerja.
Ibu Dyah memiliki cara tersendiri dalam mendidik putra-putrinya.  Dalam mendidik anak yang duduk di bangku SD misalnya, saat menjelaskan tentang sains, beliau mengajarkan dengan analogi-analogi. Sama dengan mengajarkan teori mata pelajaran TIK, beliau memberikan pemahaman dengan definisi yang singkat dan mudah. Sebagai peneliti, cara mendidik anak di rumah dan mahasiswa di kampus, menurut Ibu Dyah adalah dua cara yang saling berkaitan tapi tidak sama penerapannya.
“Sosok R.A. Kartini menurut saya telah membawa perubahan yang sangat berarti bagi wanita sekarang, terutama bagi wanita yang sudah menikah seperti saya. Karena peran R.A. Kartini juga, saat ini wanita bisa sekolah yang tinggi-tinggi dan juga bekerja. Alhamdulillah saya mendapatkan dukungan penuh dari keluarga untuk terus berkarya meskipun tetap harus seimbang,” komentar Ibu Dyah tentang inspirasi R.A. Kartini bagi hidupnya.

Profesor-profesor UM Penerus Kartini
Selain para tokoh perempuan yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi perempuan penerus Kartini yang menjelma sebagai sosok penting di UM.  Berikut akan diulas para guru besar perempuan UM yang juga telah memberikan sumbangsih besar selama mengabdi di UM. Mereka telah menjadi salah satu panutan di UM. Dalam ulasan ini, jiwa-jiwa Kartini tersebut akan diwa-kili oleh dua orang profesor UM, yaitu Prof. Dra. Srini M. Iskandar dan Prof. Dr. Siusana Kweldju, M.Pd. Kedua sosok tersebut telah menunjukkan performa yang lebih sebagai seorang perempuan melalui prestasi dan karya-karyanya.
Prof. Siusana adalah salah satu alumnus UM yang kini mengajar di Sastra Inggris UM. Prof. Siusana menyelesaikan studinya mulai dari jenjang S1 hingga meraih gelar professor di Jurusan Sastra Inggris UM. Selain sebagai dosen, dia juga seorang ahli bahasa, peneliti bidang pendidikan, dan aktivis di berbagai bidang.
Profesor yang kini juga menjadi peneliti di RELC, Singapura tersebut juga telah memberikan banyak sumbangsih atas perubahan pendidikan ke arah yang lebih baik. Dengan konsep pendidikan perdamaian yang dicetuskannya, Prof. Siusana berhasil meraih penghargaan dari APCEIU-UNESCO pada tahun 2008. Prestasi yang diukir oleh Kartini kita yang satu ini adalah prestasi yang sangat membanggakan dan mengharumkan nama perguruan tinggi kita. Saat ini Prof. Siusana bahkan telah menjadi salah satu duta hubungan internasional antara UNESCO dan Indonesia.
Dalam hal pendidikan, perempuan yang akrab dipanggil Ibu Siu ini memang memiliki banyak kiprah, khususnya di bidang pengembangan bahasa. Hal ini terbukti dengan karya-karyanya yang telah diterbitkan oleh jurnal internasional. Didukung oleh minat dan kerja keras, hingga saat ini, tak kurang dari 75 karya di bidang English as a Second Language (ESL), linguistik, dan pendidikan telah berhasil dimuat di berbagai jurnal.
“Saya berencana tahun ini akan melakukan penelitian dan menulis buku tentang presidential rhetoric,” ungkap Prof. Siusana. “Karya tersebut adalah salah satu proyek yang didanai oleh Fulbright Dikti Scholarship,” lanjutnya.
Baru-baru ini, beliau juga terlibat dalam pengembangan model pengajaran berbasis pendidikan perdamaian. Selain itu, Prof. Siusana juga aktif sebagai pembicara dalam berbagai seminar internasional bertema pendidikan di Singapura, Selandia Baru, Kanada, Thailand, dan Cina. Selain itu, beliau juga aktif dalam Yayasan Pendidikan Taman Harapan dan Yayasan Teologia Salem yang bergerak di bidang pengembangan pendidikan.
Selain Prof. Siusana, profesor lain yang juga berkiprah dalam bidang pendidikan adalah Prof. Dra. Srini M. Iskandar. Beliau adalah salah guru besar UM yang baru dikukuhkan pada Kamis (07/04) lalu. Bu Srini yang lahir pada 4 Juni 1945 ini adalah profesor yang berkecimpung di bidang pendidikan Kimia. Misi yang diemban beliau sebagaimana tertulis dalam disertasinya adalah bagaimana memberdayakan para pelajar kimia agar mampu menyerap ilmu secara optimal.
“Secara umum, bisa dikatakan bahwa pelajaran kimia bukanlah pelajaran favorit. Banyak yang mengatakan bahwa pelajaran ini sulit dan membosankan,” ungkap perempuan yang akrab disapa Profesor Srini tersebut.
Namun, hal ini rupanya menjadi tantangan tersendiri bagi Prof. Srini. Dia justru memilih untuk terjun dalam pelajaran kimia dan berusaha mengembangkan alternatif terbaik agar pelajar kimia dapat belajar dengan optimal.
Untuk membuat seorang pelajar menjadi berdaya, Prof. Srini mengatakan bahwa seorang guru harus memiliki strategi. Menurutnya, pembelajaran kimia harus menggunakan aspek modalitas dan strategi. Strategi pertama adalah membuat pelajar memahami modalitasnya sendiri. Oleh karena itu, seorang pengajar harus dapat mengenalkan bagaimana modalitas atau gaya belajar pelajar tersebut.
Sedangkan pemberdayaan melalui strategi pembelajaran, berarti seorang fasiitator harus memahami materi dan pola pengajaran yang sesuai untuk pokok bahasan tertentu.
“Strategi belajar yang paling nyaman tentu akan membuat pebelajar menjadi berdaya,” tandas Prof. Srini.Ris/Yas