Sajak Tria Wulandari
: Soe Hok Gie

Baru saja aku bertemu pengantar, tanpa jeda orang-orang membicarakanmu.
Mereka memanggilmu Soe, Hok Gie adapula Gie.

Kata-kata berbaris gagah menatapiku dengan iba, mengelakarkanku dengan tawa, lantaran yang kutahu hanyalah sosok–sosok pemeran kisah saduran di negeri tanpa wajah.
Tak mengenal kata segan, serampangan mereka pun menghujatiku, Apatis! Melankolis!
Suara-suara masih menggema, rupanya mereka tak rela membiarkanku bertitel mahasiswa.
-Mahasiswa dengan nyali yang telanjang tak terpejam-

Mataku menyulutkan api!
Siapa Soe? Hok Gie? Atau Gie?
Pada mulanya aku hanya diam memandang ragu, namun Ia tetap mengulurkan tangan padaku.

: Soe Hok Gie,
Ia kenakan pakaian idealis saat berjalan di antara para pecundang negeri. Pun kala penyuap kelas teri sedang asik berjudi, jalan licin bercecabang pun tak berani menjulurkan nurani melihat kejujuran yang Ia miliki. Masih terus Ia telusuri tentang nadi demokrasi, yang ternyata lagi-lagi dibungkam lidah pengobral janji. Perjalanan selalu mengantarnya di barisan depan, dengan menggeramkan keberanian, Ia terjang gerbang penjara ketidakadilan.
Sampai pula Ia pada sebuah tanya, Adakah yang masih bisa dipercaya?
Hari berlalu dalam suram dan kelabu,
Tiba-tiba kau pergi tanpa berpamitan, tanpaku menanyakan sebuah pertanyaan padamu. Tanpa ada sebuah perkenalan. Namun entahlah, jejakmu tak pernah raib terhapus laju angin.

Pada akhirnya api membakar jiwa, saat Ia berkata “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
: Soe, bolehkah aku memanggilmu seperti itu, lalu mengenalmu dengan Sajakku?

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Matematika 2008 dan giat di UKM Penulis