Cerpen M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim


Di ujung ruangan yang ditenggelamkan oleh kegelapan yang gulita itu terdapat sebuah jendela. Aku berjalan ke sana dengan ketakutan. Mendadak terdengar tangis yang memintal-mintal hatiku. Semakin aku mendekati jendela itu, tangisan itu kian bingar. Di sela-sela jendela yang tertutup itu, terdapat siluet cahaya putih. Karena penasaran, aku membukanya meski tubuhku gemetaran. Sebuah sinar yang terang menerpa wajahku seketika. Silau. Pelan-pelan, kubuka jendela wajahku.
Sebuah suara tangis yang sangat kukenal tiba-tiba menjebak pendengaranku. Di sebuah taman yang indah, ibuku menangis sendirian. Aku tertegun. Dia menyadari kehadiranku lalu menyiletkan matanya padaku. Ya Tuhan! Ibuku sudah meninggal seminggu yang lalu. Kini dia menangis dalam mimpiku. Wajah begitu kecewa dan air matanya berwarna hitam. Syok. Tiba-tiba kesadaran mulai menculikku dari alam mimpi. Mataku mengerjap-ngerjap saat semua kembali nyata.
“Syukurlah, Mas sudah siyuman. Tadi Mas pingsan sepulang dari kantor,” jelas istriku. Dokter dan sekretarisku berdiri di belakangnya dengan wajah khawatir. Kematian ibuku telah merampas pikiranku dan membuatku sangat lelah.
* * *
Dia merasa sangat terancam karena mata itu selalu menghantuinya sejak ibunya sakit dan wafat karena gagal operasi tersebab menolak uang pemberian Gito. Tak peduli dia sudah bergelimang kekayaan dan jabatan yang berkeliauan. Surga dunia yang dipuja. Namun dia ketakutan. Terlebih lagi saat mata almarhumah ibunya menangis hitam di dalam mimpinya.
Malam itu, di bawah desing lebat hujan, usai rapat anggota dewan, dia segera melajukan mobilnya seorang diri menuju bandara. Dia ingin pulang ke kampung halaman dan meratap di makam ibu. Rapat tadi berjalan buruk karena dia susah konsentrasi. Dia bingung dan linglung. Seolah dirinya tergulung-gulung dalam realita yang kidung. Kata orang, kata ibunya, bahkan dia yakini, matanya yang kecokelatan nan indah itu mirip mata ibu.
Dia menatapku dari kaca spion, seolah menemukan seseorang di sana. Tergiang dalam matanya, ibunya yang menangis di dunia kubur. Mimpi yang membuatnya cemas dan menyiksa kewarasannya. Mungkinkah mimpi itu adalah pertanda? Bahwa sampai di alam baka pun, ibunya masih membawa kecewa karena Gito diisukan korupsi dan ramai diberitakan media. Namun berkat taktik partainya, Gito lolos dari jerat kebajikan.
Dia terguncang. Aku berkedap-kedip. Bayangan di spion dalam mobil seolah mengeluarkan air mata. Air mata ibu, kekecewaan dunia, dan dosa yang teramat nista seolah tertimbun dalam bayangan mata yang terpantul di kaca spion itu. Dia merasa sendirian dan dihajar oleh bayangan yang ada di matanya sendiri. Dia ternganga juga tergugu karena tekanan rasa bersalah yang dahsyat. Dia menutup mata sementara hujan di luar sana tengah mengamuk, membuat jalanan licin. Mendadak terdengar serentetan panjang suara mesin mengaum. Dia kehilangan keseimbangan dan terlambat membuka mata. Kami menjerit. Aku terbelalak hingga nyaris keluar dari rongga matanya. “Aaaaarrrgghh!” jeritnya.
Brak! Dengan keras dan tak terelakkan, matanya yang kata orang mirip mata ibunya itu, yang adalah aku, terkena pecahan kaca saat mobilnya oleng ke samping dan menabrak sebuah pohon saat menghindari tabrakan dengan truk. Sekarat. Terdengar nyanyian hujan yang membasahi darahku dan darahnya. Darah yang memelukku hingga gelap.
* * *
“Ibu tidak mau uangmu. Lebih baik ibu mati saja daripada memakan uang rakyat,” bentak ibu, saat aku mengunjunginya di kampung, dua minggu yang lalu.
“Kenapa ibu menuduhku begitu?” tanyaku, sedikit gusar.
“Apa kau pikir ibu tidak tahu namamu jadi bahan pemberitaan? Ibu malu, Gito,” geram ibu. Jendela wajahnya menyala-nyala karena kecewa. Matanya yang dulu mendekat kami karena sorot mata kami begitu mirip. Tapi kini tatapan mata ibu membuatku takut.
“Jangan percaya mereka, Bu. Mereka cuma suka memfitnah, tukang iri, dan bikin sensasi. Demi meraih banyak untung dari pemberitaan,” jelasku. “Ibu, jangan terlalu banyak emosi. Nanti penyakit Ibu kumat lagi,” ujar Yakub, adikku seraya mengelus-elus tangan ibu. Mencoba menenangkan.
Ibu buang pandang. “Dari dulu ibu sudah bilang padamu, jangan jadi politisi. Jadilah guru, seperti adikmu. Bagiku guru lebih terhormat. Daripada mental serakah para petinggi negara.” Ibu kembali sukses memojokanku, membuatku malu dan kesal.
“Ibu, sudahlah. Jangan bahas itu lagi. Aku berkunjung ke sini bukan untuk bertengkar dengan ibu,” keluhku. “Ibu kecewa padamu, Nak. Mata ibu bisa melihat kau telah bohong dan ada yang kau sembunyikan. Ingatlah, seluruh mata ciptaan Tuhan sanggup bersaksi jika yang kau lakukan itu salah. Ibu takut. Hhehh…,” tiba-tiba ibu memegang dadanya.
“Tuh kan, penyakit jantung ibu kumat lagi,” Yakub cemas. Hatiku pias. Segera kupencet nomor ambulans.
* * *
“Saya frustasi sekali. Tolong, bagaimana pun caranya, saya ingin pemberitaan media yang buruk mengenai saya di-stop. Ibu saya membenci saya gara-gara berita itu,” pintaku, dalam perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta menuju kantor.
“Beres. Kami sudah siapkan dana tiga milyar untuk mengendalikan pemberitaan miring itu dan membangun citra politik Bapak yang baru,” ujar Pak Teguh, penasihat umum partai politik yang kuketuai. Salah satu partai terbesar di negara yang katanya demokratis itu.
Sesampainya di gerbang kantor, ternyata banyak wartawan telah siap mengepung mobilku. Membuatku pusing. Petugas keamanan dibuat tak berkutik. Belum lagi demonstrasi mahasiswa yang sok tahu itu. Aku menggusah-gusah sendiri. Sesampainya di ruang kantor, sekretarisku sudah menyambutku dengan berbagai agenda pekerjaan. Namun aku sangat lelah. Aku segera menuju ke kantorku, mengunci pintu.
Sejak lulus kuliah, aku mengejar mimpiku jadi politisi ke Jakarta. Tammy, putri seorang politisi terkenal, jatuh cinta padaku. Berkat sokongan ayahnya, namaku mulai berpengaruh di kancah politik. Tapi dari dulu ibu kurang ikhlas jika aku masuk kancah politik yang menurut ibu penuh dengan permainan ego. Ibu sudah letih menonton drama panggung politik yang picik dan tak berimbas faedah bagi rakyat miskin.
Ibu bahkan menolak uang yang kukirimkan tiap minggu. Padahal kehidupan ibu memprihatinkan. Ibu sudah tak bekerja lagi karena penyakit jantungnya yang sering kumat. Sedangkan Yakub sudah beristri. Gajinya sebagai guru baru pun tak seberapa. Ibu hanya mengandalkan uang pensiun bapakku yang dulu jadi guru SMP. Ibu bahkan cuma mampu membeli sepotong baju baru saat lebaran tiba. Bukannya aku tak mau membelikannya, tapi ibu selalu menolak. Bahkan pernah istriku membelikan banyak baju baru dan mobil untuk ibu. Namun ibu tetap saja menolaknya. Sejak itu, istriku malas berkunjung ke rumah ibu karena tak tahan dengan gunjingan ibu.
Tiba-tiba ponselku berdering saat aku hendak memasuki ruang rapat. Dari Yakub. Pasti tentang ibu. Kuputuskan keluar ruangan segera. “Ibu harus dioperasi, Kak. Butuh dana lima ratus juta. Resikonya juga besar. Fifty-fifty,” jelas Yakub.
Mataku mendelik. “Akan segera kutransfer uangnya,” kataku, cepat. “Aku sibuk, maaf. Nanti kutelepon lagi.” Kututup telepon, segera kukirim pesan pada sekretarisku untuk menyiapkan cek lima ratus juta rupiah untuk biaya operasi ibuku. Seusai rapat, tiga jam kemudian, aku menghubungi Yakub. “Aku sudah mengirim uangnya. Kuharap sudah masuk ke rekeningmu,” ujarku.
“Maaf, Kak. Bukannya aku tak mau memakai uang itu. Sebenarnya kami sangat membutuhkannya. Tapi ibu kembali menolak uang kakak. Ibu sangat keras kepala. Bahkan menjelang koma tadi, beliau sempat berpesan bahwa lebih baik mati daripada makan uang hasil korupsi,” sesal Yakub. Tubuhku merinding dengan cepat. “I-ibu k-koma?”
“Ya. Bahkan sekarang di rumah sakit ini dipenuhi para wartawan. Mereka menganggu ketenangan kami. Sungguh tak terduga. Mereka susah dikendalikan. Bahkan mereka juga mewawancarai tetangga rumah ibu. Mengejar-ngejar kami untuk mengorek informasi tentang kakak,” jawabnya.
Emosiku kian meledak-ledak. “Cobalah kau bujuk ibu. Kau pasti bisa. Kakak sudah kehabisan akal untuk membujuknya,” pintaku. “Sudah kucoba. Tapi tak berhasil,” balas Yakub. “Aku akan segera ke sana setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan,” ucapku. Namun terlambat telah menuai perih yang berkabut. Sesampainya aku di sana, ibu telah berpulang.
* * *
Hampa. Aku sekarat namun masih bisa merasakan hal yang tengah dipikirkannya. Kudengar istrinya menangis. Dokter berkata bahwa Gito divonis buta karena kornea matanya, bagian vital tubuhku, telah rusak. Gito diam dalam syok yang teramat kronis. Dia tak bisa lagi melihat mata-mata yang memandangnya penuh kecewa. Pasti istrinya akan segera mencarikan donor mata untuknya. Kekayaan mereka cukup untuk membuatnya memiliki sepasang mata baru. Mata yang akan menggantikanku, mata yang tak berguna. Begitu pikirnya. Mata baru yang berbeda dengan mata ibu dan mata rakyat sengsara yang tercermin dalam tatapan kecewa ibu. Dia ingin melupakan mimpi tentang ibunya yang menangis kelam di alam baka sana.
Namun, mendadak, lamat-lamat dia mendengar suara tangis. Aku terhenyak menunggu detik-detik kematianku. Tangis itu begitu mirip dengan tangis yang kami dengar di mimpi itu. Suara tangis penuh kekecewaan ibu di alam kubur. Untaian-untaian suara pilu nan syahdu itu menjerat relung kalbu Gito karena hanya dia yang dapat mendengarnya. Seolah dia telah dikutuk. Kami menangis dan menjerit bersama. Tergelak-gelak dalam kepiluan. Membuat istrinya dan dokter panik bercampur bingung.
Penulis adalah Mahasiswa Sejarah 2010. Giat di UKM Penulis dan FLP Malang. Cerpen ini juara II kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2011