Oleh Adita Taufik W.

Konstelasi budaya era modern cukup mem­prihatinkan. Produk ke­budayaan yang di masa lampau sangat mengagumkan bahkan sampai dikenal hingga ranah internasional, kini tak lagi populer. Jangankan dunia internasional, masyarakat lokalpun seringkali tidak mengetahui lebih-lebih me­nyukai produk kebudayaannya.
Kesadaran berbudaya masyarakat kita memang semakin minim. Hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya kampung adat maupun desa wisata budaya yang jumlahnya tidak banyak. Penyempitan teritorial popularitas budaya sebagai kampung adat, sebenarnya justru mengisolasi produk budaya tersebut. Kita bisa melihat hal tersebut di berbagai daerah seperti di Jawa Timur ada Kampong Oseng di Banyuwangi, Kampong Naga di Bandung Jawa Barat, dan sebagainya, dimana luas kampung budaya tersebut sangatlah kecil jika dibandingkan dengan luas daerahnya.
Pada awalnya, Kampong Budaya memang dibuat sebagai instrumen untuk menjaga eksistensi budaya disuatu daerah dan juga sebagai sarana pariwisata. Namun pada kenyataannya, kampung budaya justru turut membuat budaya tersebut menjadi kian ringkih. Indikasinya adalah ketika suatu budaya diisolasi dalam suatu wilayah yang sempit, maka potensi eksistensi dan regenerasi budaya tersebut kian minim.
Dengan adanya Kampong Budaya di suatu tempat dalam kabupaten atau kota, maka seakan–akan se­le­sai sudah kewajiban kampung/desa lain di daerah tersebut untuk ikut melestarikan kebudayaan Indonesia.
Anggapan yang sering muncul dari masyarakat adalah jika ingin tahu kebudayaan daerah tertentu maka silahkan menengok ke Kampong Budaya. Hal ini menunjukan rasa memiliki yang sangat minim dikalangan masyarakat.
Pun begitu dalam dunia pendidikan, belum ada itikad untuk mempopulerkan budaya bangsa ini. Jarang sekali ada sekolah yang mengupayakan agar kesenian khas daerah tetap terjaga keberadaannya. Terkadang kita diajarkan bagaimana mem­bedakan karya seni yang baik, buruk, indah maupun tidak indah. Tetapi murid tak diajak mendalami esensi seni itu sendiri sehingga banyak pengajaran seni yang justru memarjinalkan seni itu sendiri. Hal ini terutama berlaku pada seni kerakyatan yang tak punya banyak pengikut.
Mungkin kita merasa bangga pada saat produk budaya dan seni Indonesia, seperti batik dan wayang kulit, resmi dikukuhkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Namun, sebenarnya saat itu juga keduanya tak bisa diklaim sepenuhnya menjadi milik bangsa Indonesia. Batik dan wayang sudah menjadi milik dunia. Sayangnya, setelah pengukuhan tersebut, tetap tak banyak pengaruhnya bagi pemilik kebudayaan itu sendiri.
Senada dengan pertanyaan yang di­lon­tarkan Endo Suanda, seorang et­nomusikolog dan seniman tari Nasional, adakah pengaruh yang terjadi dalam tujuh tahun sejak wayang kulit dikukuhkan sebagai warisan dunia? Apakah dengan pengukuhan tersebut anak-anak Indonesia bisa lebih mudah belajar tentang wayang? Ternyata sama sekali tidak. Lagi-lagi banyak produk budaya kelas dunia asal Indonesia justru tak memiliki nama di negerinya sendiri
Pemerintah seringkali mendaftarkan produk seni dan budaya Indonesia sebagai warisan dunia, tetapi di sisi lain tidak memberikan akses yang bagus bagi warga untuk mendapatkan pengetahuan mengenai produk bu­daya dan seni itu. Hal ini disebabkan mayoritas produk kebudayaan In­donesia hanya berkembang dalam kampung-kampung yang luasnya tak seberapa.
Maka dari itu, hal yang harus segera diupayakan adalah publikasi produk kebudayaan kita. Setidaknya ada 15 kategori produk kebudayaan yang dimiliki bangsa ini yang harus dipopulerkan kembali, antara lain : tarian, ritual, ornamen, motif kain, alat musik, cerita rakyat, musik dan lagu, data makanan, seni pertunjukan, produk arsitektur, pakaian tradisional, permainan tradisional, senjata dan alat perang, naskah kuno dan prasasti, tata cara pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Tentu akan ada harapan besar kebudayaan bangsa ini akan kembali berjaya jika porsi publikasi kebudayaan lebih daripada yang lainnya. Sebab hal itu secara tidak langsung akan mengarahkan persepsi masyarakat untuk kembali memilih kebudayaan bangsa sebagai konsumsi hiburan sehari-hari.
Jika kebudayaan kita menjadi popoler dimata masyarakatnya sendiri, sudah pasti tidak perlu lagi ada isolasi budaya berupa Kampong Budaya yang sebenarnya justru mempersempit ruang publikasinya. Dengan demikian kita dapat dengan bangga menunjukan pada dunia bahwa kita memiliki kebudayaan yang kaya dan tentunya juga dihargai dan diapresiasi oleh masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional.
Penulis adalah mahasiswa Geografi 2010