Judul : Kumpulan Budak Setan
Penulis : Eka Kurniawan, Intan
Paramaditha, dan Ugoran Prasad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2010
Tebal : 174 halaman
Peresensi : Royyan Julian

Kemunculan sastra populer pada kisaran tahun 70 hingga 80-an diwarnai dengan tema-tema roman picisan yang dipelopori Motinggo Busje. Namun, setelah itu, pengarang Abdullah Harahap—yang semula juga turut ikut arus romantis—mewarnai ranah sastra populer dengan menulis tema gotik atau yang lebih familiar dengan predikat roman horor. Tak kalah dengan film-film horor, sampai kini, cerita-cerita horor masih digandrungi oleh pembaca Indonesia
Kumpulan Budak Setan adalah himpunan cerita horor yang ditulis oleh tiga pengarang muda Indonesia: Eka Kurniawana, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad. Ketiganya mengaku (dalam pengantar buku) bahwa kumpulan cerpen ini merupakan proyek pembacaan ulang terhadap karya-karya Bapak Cerita Horor Indonesia, Abdullah Harahap. Oleh karena interpretasi ulang terhadap karya-karya Harahap, maka cerita-cerita yang terhimpun dalam Kumpulan Budak Setan memiliki titik-titik yang serupa dengan ide-ide cerita Harahap, seperti arwah penasaran, dendam yang tak berkesudahan, percintaan manusia setengah siluman, para abdi iblis, dan cerita-cerita yang mesti dibumbui dengan erotisme seksual.
Beberapa cerita dalam buku ini masih memiliki motif yang sama dengan tokoh-tokoh yang dikarang Harahap, semisal roh-roh yang bergentayangan di dunia lantaran menyimpan dendam atau masih memiliki urusan yang belum usai dengan orang-orang sekitarnya. Cerita tersebut bisa ditemukan pada cerpen “Riwayat Kesendirian” yang menceritakan tentang seorang perempuan yang masih gentayangan karena ingin selalu bersama lelaki yang dicintainya. Ia ingin menemani setiap malam yang dilalui lelaki itu.
Cerita arwah berlanjut pada cerpen “Goyang Penasaran” yang mengambil latar transisi pergolakan politik Indonesia zaman Orba yang hendak bertransformasi ke masa Reformasi. Bertokohkan janda biduan dangdut, cerpen ini memiliki ide yang aktual di tengah gemarnya masyarakat kita pada hiburan orkes dangdut. Cerita ini berkahir dengan bergentayangnya sang janda dangdut karena kepergok berbuat mesum dengan kepala desa dan pembunuhan tokoh agama kampung. Rupanya “Goyang Penasaran” tidak didominasi oleh cerita hantu, tetapi lebih menekankan aspek moralitas heterogenitas masyarakat Indonesia. Lebih dalam lagi, cerpen ini banyak berbicara tentang hitam putih moral masyarakat yang berbalut agama, fenomena yang acap mendenging pada awal tahun 2000-an.
Arwah gentayangan dengan motif dendam terdapat pada cerita “Hantu Nancy”. Cerpen yang pernah dimuat di Kompas ini akan mengingatkan kita pada cerita urban masyarakat Jakarta, “Si Manis Jembatan Ancol”. Tokoh Nancy dibunuh ramai-ramai oleh sejumlah lelaki di tempat kerjanya, salon potong rambut. Lantas, dimusnahkanlah satu per satu lelaki-lelaki itu oleh hantu Nancy sebagai tebusan bara dendamnya. Selain itu, hantu penasaran juga bisa dibaca pada cerpen “Penunggu Bioskop” yang bertokohkan perempuan bahu rekso bioskop.
Uniknya, cerpen-cerpen berlabel horor ini tidak hanya membicarakan masalah hantu dan makhluk-makhluk halus. Para penulisnya memiliki tafsir baru atas istilah “horor”. Bila kita mengenal horor sebagai cerita-cerita menyeramkan, hantu, setan, dan segala tetek bengeknya, maka “horor” dalam buku ini tidaklah demikian. “Horor” dalam kumpulan cerpen ini memiliki perluasan makna, yakni hal-hal yang membuat orang takut hingga menimbulkan dampak psikologis yang dalam dan berkepanjangan. Misalnya kekacauan politik negeri ini atas pembantaian pada peristiwa G 30 S bisa dikatakan horor karena telah menimbulkan dampak yang tak berkesudahan. Horor bisa juga dikatakan kepada para koruptor yang diteror pikirannya sendiri karena dirundung perasaan bersalah.
Demikianlah “horor” yang mengalami interpretasi berbeda tersebut tertuang dalam cerpen “Apel dan Pisau”. Cerpen ini merupakan parodi kisah Nabi Yusuf yang ada dalam kitab-kitab samawiyah. Kita akan tahu bahwa tokoh Cik Juli dalam cerpen ini merupakan copy-paste dari tokoh Zuleyka (dalam kisah Nabi Yusuf). Sedangkan suami Cik Juli, yaitu Aziz yang merupakan pengusaha kaya, tidak lain adalah tokoh perwujudan dari suami Zuleyka, yakni petinggi Mesir bernama Kitfir Aziz (dalam tradisi Islam) atau Potifar (dalam tradisi Biblikal). Konfliknya sama dengan hikayat Nabi Yusuf, yaitu keterpukauan para perempuan yang melihat wujud tampan Yusuf sehingga mereka tidak sadar bahwa mereka tidak mengiris apel yang dipegangnya, tetapi mengiris tangan sendiri. “Horor” dalam cerpen ini bukanlah horor hantu, tetapi horor keindahan yang memabukkan dan mematikan.
Horor nonhantu lainnya bisa kita baca pada cerpen “Si Manis dan Lelaki Ketujuh”. Cerita ini merupakan salah satu fiksi yang berangkat dari ide implikasi krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 90. Tokoh utama cerita, lelaki yang terpaksa menjual tubuhnya pada perempuan buruk rupa karena ia dipecat dari perusahaan tempat awal ia bekerja. Namun, akhirnya si tokoh utama harus mati karena perempuan buruk rupa tersebut mengidap psikopatologi yang terinspirasi dari obesesi kematian dalam dongeng “Snow White”.
Kisah benda gaib terjadi pada cerpen “Jimat Sero”. Cerpen ini memaparkan tentang kisah seorang laki-laki yang diberi jimat oleh sahabat kecilnya. Empunya jimat tersebut takkan mempan dilukai. Tetapi, sebagaimana keramat benda gaib pada umumnya, jimat tersebut minta pengorbanan. Tak disangka tak dinyana, istri lelaki pemilik jimat itu bersetubuh dengan sahabat kecilnya yang telah memberikan jimat tersebut. Itulah pengorbanannya: istri pemilik jimat berjimak dengan pemberi jimat.
Cerita-cerita dalam buku ini memang tidak terlalu menyeramkan sebagaimana cerita-cerita yang ditulis Harahap. Unsur kegaiban dalam buku ini kurang dieksplorasi sehingga pembaca tidak diliputi oleh panorama seram yang bisa merindingkan bulu roma. Tetapi Kumpulan Budak Setan telah berhasil mengeksplorasi tema menjadi ide-ide segar yang tidak hanya melulu berkutat pada masalah makhluk supranatural. Horor dalam kumpulan cerpen ini ditampilkan secara elegan dengan memainkan suasana psikis tokoh-tokohnya. Alhasil, jangan pernah berharap jika cerpen-cerpen dalam buku ini akan menampilkan sosok-sosok seram Suzanna yang akan dikalahkan oleh karakter-karakter tritagonis seperti kiai atau pastor. Konflik dalam cerpen ini justru selasai tanpa campur tangan tokoh-tokoh suci tersebut.
Kumpulan Budak Setan menjadi suguhan menarik bagi penikmat cerita horor. Selain memiliki bahasa inovatif-kekinian, cerpen-cerpen ini juga memberi warna baru dalam khazanah cerita horor Indonesia. Bagi Anda yang ingin membacanya, berhati-hatilah. Sebab, Anda akan diperbudak oleh sihir cerita-cerita memukau di dalamnya. Siapa berani menjadi budak setan?
Peresensi adalah mahasiswa Sastra Indonesia