Modal intelektual saja tidak cukup diperlukan untuk bekerja. Diper­lukan modal lain seperti modal sosial, modal etika, dan modal semangat. Begitulah prinsip yang dipegang oleh Bapak Muhammad Hatta. Salah satu alumnus UM yang saat ini menduduki jabatan sebagai Kepala Pusat Pengembangan Tenaga Ke­pendidikan badan PSDMP dan PMP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berikut ini adalah profilnya.

Nama : Muhammad Hatta, M.Ed., Ph.D.
TTL : Jereweh, KSB, NTB, 20 Juli 1955
Jabatan
Kepala Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (PSDMP dan PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) (2011–sekarang)
Kepala Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan, Badan PSDMP dan PMP, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) (2010–2011)
Acting Director SEAMEO Regional Center for Quality Improvement of Teachers and Education Personnel (QITEP) in Language (2009–2010)
Riwayat Pendidikan
S3 di University of Pittsburgh, Amerika Serikat, Jurusan Social and Comparative Analysis in Education (1992-1996)
S2 di University of Pittsburgh, Amerika Serikat, Jurusan Administrative and Policy Studies (1989-1990)
S1 di IKIP Malang (1978-1982)

Sebagai pejabat pemerintahan yang sukses tentunya semua itu berproses, bisa Bapak ceritakan awal perjalanan karier Bapak sampai sekarang menjadi pejabat sukses ?
Awalnya, pada tahun 1982, saat saya masih belum menamatkan S1 di Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP Malang (sekarang UM), terdapat perekrutan alumni IKIP Malang untuk bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di Jakarta. Secara statistik, saya dipastikan tidak bisa mendaftar karena kuliah belum selesai. Saya pun memberanikan diri menghadap ke Bapak Dekan FIP, Drs. PA Sahertian, agar saya bisa ikut seleksi sekaligus meyakinkan beliau bahwa studi S1 saya bisa selesai. Tak disangka, beliau setuju dan merekomendasikan saya untuk mendaftar bahkan berani mengeluarkan surat jaminan. Bahkan saya ingat betul ketika itu, saya satu-satunya pendaftar yang belum selesai S1. Proses seleksi pun mengalir begitu saja, saya dinyatakan lulus, dari delapan puluhan peserta ikut tes, saya termasuk dalam 30 peserta yang diterima.
Ketika lima tahun berkerja, tawaran dan kesempatan banyak sekali mengalir termasuk kesempatan sekolah dengan beasiswa ke luar negeri. Saya sadar betul ketika pertama kali tawaran jatuh, saya tidak berani ikut tes karena kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan. Maklum, dari jurusan PLS. Saya belajar dengan cara saya sendiri disela-sela waktu padat kerja selama hampir dua tahun. Alhamdulillah saya berhasil. Tahun 1988 ke Amerika Serikat dengan 3 bulan bahasa Inggris intensif di Los Angeles, saya diterima mengikuti program Master of Education di University of Pittsburrgh, USA, di musim salju (bulan Januari 1989) dan berakhir di musim salju 1990 (Januari 1990).
Sejak kembali pada 1990 dari Amerika, karier saya mulai mengalir. Pertama kali, saya dipercayakan menjadi Kepala Seksi Sarana Prasarana di Tahun 1992 di Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen). Tidak begitu lama (4 bulan) menjadi Kepala Seksi, saya ditawarkan mengikuti S3 ke universitas yang sama pada September 1992. Program doktoral saya selesai pada 1996. Tahun 1998, saya diangkat menjadi Kepala Subdit Guru dan Tenaga Direktorat Sekolah Swasta, Ditjen Dikdasmen. Pada bulan Oktober tahun 2010, saya mendapatkan promosi ke eselon 2a sebagai Kepala Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan, Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan (BPSDMP) dan Penjaminan Mutu Pendidikan (PMP) Kementerian Pendidikan Nasional. Bulan November 2011 sampai sekarang pada eselon yang sama, saya bergeser dipercayakan sebagai Kepala Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDMP dan PMP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Apa yang memotivasi Bapak untuk menjadi Kepala Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan?
Saya tidak pernah membayangkan untuk menduduki jabatan ini sebelumnya. Bagi saya, posisi eselon 3 sudah cukup, namun ternyata saat ini saya dapat mencapai eselon 2. Dalam bekerja saya ibaratkan layaknya air mengalir saja. Dimana pun saya dipercayakan oleh pimpinan, saya siap untuk menjalankannya. Karena itu, ketika mendapatkan suatu kepercayaan, apa pun jabatannya, motivasi saya adalah bekerja dan bekerja. Saya bekerja dengan ikhlas, bekerja sebagai suatu amanah, dengan demikian bekerja menjadi sebuah ibadah.
Di tengah isu sertifikasi guru, Menurut Bapak hal apa yang perlu dibenahi untuk meningkatkan kualitas para guru bersertifikasi?
Guru bersertifikat tentu berbeda dengan guru yang belum bersertifikat. Sertifikasi adalah ukuran sebagai jabatan profesi. Pemerintah memberikan penghargaan satu kali gaji bagi mereka yang bersertifikat dikarenakan kinerja profesionalnya. Artinya, mereka harus dibedakan penghargaannya dengan guru yang amatiran. Namun dalam kenyataannya banyak guru bersertifikat memiliki kinerja tidak sepadan dengan yang diharapkan. Menurut saya guru yang sudah bersertifikat perlu dievaluasi ulang, bahkan bila perlu dilakukan tes: tes pengetahuan dan uji kinerja. Rencana pemerintah (Kemdikbud) melakukan UKA (Uji Kompetensi Awal) terhadap guru sebelum mengikuti PLPG yang dimulai tahun 2012 ini merupakan langkah maju. Peran Pemda Kabupaten/Kota dalam pembinaan guru bersertifikat perlu lebih optimal, mulai rekrutmen sampai dengan pasca sertifikasi. Kriteria mendapatkan sertifikat profesi juga perlu disempurnakan, sampai dengan kita mendapatkan calon yang objektif dan transparan. Sekarang pemerintah sudah melakukan penyempurnaan atas persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya, syarat pertama usia dulu baru masa kerja. Bahkan calon yang berhak ikut sertifikasi sudah disempurnakan dengan sistem seleksi online. Pemda terutama Kabuapetn/kota harus berani melakukannya secara transparan, objektif, dan akuntabel dalam pelaksanaan sertifikasi ini.
Kunci kesuksesan Bapak bila dikaitkan dengan masa-masa kuliah di UM?
Masa-masa di perguruan tinggi punya andil besar dalam meniti karir. Tapi itu bergantung seberapa jauh kita mau menggunakan berbagai kesempatan untuk menata diri. Modal intelektual saja tidak cukup diperlukan untuk bekerja. Diperlukan modal lain seperti modal sosial, modal etika dan modal semangat. Keempat modal ini kita tempa ketika di perguruan tinggi. Hal ini saya dapatkan ketika kuliah di UM dalam suasana perkuliahan yang interaktif, dengan metode diskusi dan andragogi, hubungan kollegial antara dosen dan mahasiswa, keikut sertaan dalam organisasi mahasiswa baik intra maupun esktra. Terutama berorganisasi, misalnya, waktu itu saya ikut saja, just for fun, tidak tahu manfaat sesungguhnya bagi diri saya, tetapi justru itu menjadi kunci kesuksesan. Dalam bekerja kita selalu berinteraksi dengan berbagai tipe manusia dan kita perlu membangun jaringan (networking). Disini modal etika dan sosial kita perlukan, kemampuan kepemimpinan sangat membantu sekali. Ternyata hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya 20% kesuksesaan didunia kerja ditentukan oleh kemampuan intelektual dan 80 % oleh oleh kemampuan sosial seseorang.
Apa saja strategi yang bisa Bapak berikan untuk alumni UM yang ingin mengikuti jejak karier Bapak?
Saya kira strategi kesuksesan itu harus dibangun sejak mahasiswa. Pertama, kita harus pandai-pandai menggunakan kesempatan atau momentum, karena itu tidak akan terulang ke dua kali. Kedua, kita perlu mengasah empat modal yang telah saya sebutkan di atas. Banyak cara mengasahnya, di kampus tersedia berbagai fasilitas dan kesempatan, tinggal bagaimana kita berusaha mendapatkannya. Di tempat kerja juga kita akan menemukan hal yang sama. Ketiga, jika sudah bekerja, maka berkerjalah dengan baik, jangan sering mengeluh meskipun pekerjaan tidak sebanding dengan upah yang kita terima. Laksanakan dengan penuh tanggung jawab dan loyalitas. Baik tidaknya hasil kerja kita, yang mengawasi adalah diri sendiri. Keempat, Laksanakan pekerjaan dengan pantang menyerah. Kesulitan bukan kegagalan, hanya kita belum ketemu jalan keluarnya. Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Keenam, laksanakan tugas dengan ikhlas dan kerjakan setiap pekerjaan sebagai amanah dan ibadah. Terakhir, jika semua usaha sudah dilakukan, jangan lupa berdoa. Sebagai mahluk yang berketuhanan, maka semua urusan tidak terlepas dari ridho-Nya Allah SWT, Sang Penguasa, Sang Penentu.
Sebagai seorang alumnus UM, hal apa yang membuat Bapak bangga terhadap UM?
Menurut saya UM telah berhasil menyiapkan orang-orang besar dan beprestasi. Tidak hanya setinggi eselon 2, bupati atau walikota, maupun rektor. Namun, juga setingkat menteri. Saya kagum dengan academic culture UM yang mampu mendewasakan dan mendidik mahasiswanya. Background saya PLS. Namun, tidak ada satu bidang pekerjaan saya menyentuh ke PLS-an sejak menjadi pegawai, bahkan saya pernah mengelola lembaga yang menangani bahasa. Penyesuaian diri yang cepat merupakan dampak dari disiplin keilmuan atau tradisi akademik.
Apa motivasi yang bisa Bapak berikan untuk para mahasiswa dan wisudawan UM dalam menyongsong masa depan yang penuh persaingan?
Wisuda tidak berarti everything is finished, tetapi just to start. Kita baru akan memulai kehidupan babak baru. Dunia yang baru sedang menanti kita, di mana kita akan berhadapan dengan pilihan. Kehidupan adalah pilihan dan pekerjaan juga adalah pilihan. Persaingan terberat bukan orang lain tetapi justru diri kita sendiri. Ready to be or not to be. Sekarang, you are the man.Aang