Ilustrasi by Alfin/Kom
Civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia sempat dihebohkan dengan kabar kewajiban publikasi sebagai pra syarat kelulusan. Kabarnya, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) mengeluarkan surat edaran (tertanggal 27/01/2012) yang mewajibkan seluruh mahasiswa (S1, S2, dan S3) melakukan publikasi artikel dalam jurnal ilmiah. Alasannya, untuk merangsang budaya analisis dan pen tulisan ilmiah di lingkungan perguruan tinggi.
Adapun ketentuannya menyatakan bahwa syarat lulus program sarjana harus menghasilkan artikel yang terbit pada jurnal ilmiah, untuk lulus program magister harus telah menghasilkan artikel yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti, dan untuk lulus program Doktor harus menghasilkan artikel yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. Peraturan ini akan mulai diterapkan pada kelulusan setelah Agustus 2012.
Respon datang dari berbagai kalangan.Pro dan kontra mewarnai ketentuan ini. Menteri pendidikan, Muhammad Nuh pun angkat bicara. Seperti yang dikutip dari sumber Kompasiana (22/03) beliau menyatakan bahwa aturan ini bersifat dorongan, tidak ada sanksi hukum apabila mahasiswa tidak melaksanakannya. Akan tetapi, predikat kelulusan tetap akan berbeda antara mahasiswa yang berhasil dan yang gagal melakukan publikasi dalam jurnal ilmiah.
Ketentuan ini berbanding lurus dengan upaya meningkatkan produksi jurnal ilmiah. Beliau juga mengungkapkan, jurnal ilmiah yang dihasilkan mahasiswa saat ini masih sangat rendah dan tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa. Jumlah produksi jurnal ilmiah Indonesia hanya sepertujuh dari jurnal ilmiah yang diterbitkan Negara tetangga, Malaysia. Selanjutnya, bagaimana respon dari kalangan citivas akademika UM tentang hal ini? Setuju atau tidak?

Tanggapan mahasiswa
“Mau lulus saja kok rempong?”, itulah tanggapan pertama yang disampaikan oleh Kiki Suryani, mahasiswi S1 UM angkatan 2008 yang memprogram skripsi semester ini. Menurut pendapatnya, mengerjakan tugas akhir atau skripsi adalah hal yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Ketika harus ditambah lagi dengan beban untuk publikasi di jurnal ilmiah yang notebene harus diseleksi terlebih dahulu, tentu saja akan menambah beban bagi mahasiswa.
Hal senada disampaikan oleh Asief Abdi, mahasiswa S1 angkatan 2009 bahwa baginya lulus dengan cepat merupakan impian setiap mahasiswa. Dengan ada­­nya ketentuan yang mewajibkan publikasi sebelum lulus justru dapat meng­hambat kelulusan bagi mahasiswa itu sen­diri. “Jika memang ada yang bisa lo­­los jurnal ilmi­ah dan dipu­blikasikan, itu sifatnya ke­be­run­tungan dan acak. Lagi pula jurnal mana yang mau menampung sedemikan banyak hasil penelitian mahasiswa yang akan lulus setiap semesternya?” tandasnya.
Pendapat yang berbeda datang dari Anggraeni Widyaningsih. Mahasiwi S1 angkatan 2008 ini justru optimis dengan ketentuan ini. Dia menyatakan bahwa me­mang tidak sembarangan hasil penelitian yang dapat dipublikasikan di jurnal ilmiah. “Nah, hal inilah yang justru memacu mahasiswa untuk melakukan penelitian yang berkualitas. Ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa untuk menjadi lulusan sarjana yang berkualitas,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Achmad Hawanto, Presiden Mahasiswa UM 2012, kebijakan Kemendiknas tersebut dinilai terlalu dini. “Dari sisi akademis, keharusan membuat makalah memang relevan terhadap tujuan yang ingin dicapai, namun kalau dari segi kurikulum dan sumber daya mahasiswaitu sendiri masih perlu dipertimbangkan ulang sebelumnya,” ungkap Hawanto.
Ia menjelaskan bahwa untuk me­ningkatkan kualitas dan kuantitas publikasi karya ilmiah harus dimulai dengan du­kungan dari dosen maupun dari seluruh elemen akademik agar tulisan ilmiah mahasiswa bisa publikasi di jurnal. Praktek menghasilkan karya ilmiah yang bagus bisa dilatih tatkala mengerjakan tugas tulisan dari dosen. Hawanto melihat bahwa selama ini kebanyakan mahasiswa hanya fokus pada isi dari karya ilmiah. Sementara itu, format dan struktur kepenulisan masih dinomorduakan. Sehingga, mahasiswa berpedoman pada PPKI jika terkait dengan skripsi saja. Padahal untuk bisa menembus jurnal, isi maupun format dan struktur tulisan saling mendukung. “Disinilah peran dosen dibutuhkan untuk mengarahkan agar mahasiswa mengacu pada PPKI ketika menyusun tugas tulisan,” ujar Hawanto.
Hawanto menambahkan, keharusan publikasi jurnal ini akan menjadi beban kedua bagi mahasiswa disamping skripsi. Padahal pasca kelulusan nanti, tindak lanjut dari publikasi jurnal tersebut belum tentu ada. Maka, kebijakan dari pemerintah seharusnya juga harus mempertimbangkan tulisan ilmiah tersebut agar lebih bermanfaat. “Lihat saja, skripsi selama ini saja kurang banyak yang terimplementasi, apalagi kalo ditambah jurnal,” tandas Hawanto.

Tanggapan dosen
Pro dan kontra pun datang dari kalangan dosen. Salah satunya dari Dosen Sastra Indonesia sekaligus Tim Jurnal Fakultas Sastra, Bapak Karkono S.S., M.A,. Menurut pen­dapatnya, Dikti memberlakukan ketentuan ini tidak terlepas dari niat baik Dikti untuk meningkatkan jiwa penulis mahasiswa. Mewajibkan publikasi melalui jurnal ilmiah, merupakan salah satu strategi Dikti untuk menghidupkan publikasi ilmiah. Seperti yang telah diketahui, bahwa produksi artikel ilmiah di negara ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Padahal, ini sangat mungkin dilakukan oleh mahasiswa Indonesia yang memiliki sumber daya bagus.
Bapak Karkono, demikian sapaan akrab Dosen FS ini, menambahkan bahwa pu­blikasi dalam jurnal ilmiah merupakan langkah yang efektif untuk memperkenalkan hasil penelitian pada banyak kalangan, tidak terbatas pada kalangan mahasiswa kam­pusnya sendiri berasal. Jika sebelumnya, tugas akhir hanya menjadi tumpukan arsip di perpustakaan dan tumpukan compact disk di ruang sekretaris jurusan, maka dengan adanya publikasi jurnal ilmiah, tugas akhir tersebut akan semakin efektif.
“Sebenarnya ini bukanlah hal sulit untuk dilakukan karena bahannya sudah ada, tinggal mengemas ke dalam format artikel ilmiah. Banyak hal positif yang dapat diambil, seperti keharusan untuk menghasilkan tugas akhir berkualitas. Tugas akhir bukan­nya telah melalui tahapan sidang sehingga dianggap sah? Hal tersebut pasti bukan hal yang sembarangan. Secara tidak langsung, ini akan menggugah mahasiswa untuk melakukan penelitiannya dengan sungguh-sungguh. Demikian juga bagi dosen yang membimbing, jika sebelumnya mungkin belum serius membimbing akan berubah menjadi lebih serius,” tandasnya.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Dra. Dwi Listyorini, D.Sc., salah satu Dosen Biologi yang berpengalaman publikasi di jurnal internasional. “Kemana para mahasiswa akan mempublikasikan kar­ya­­nya? Mampukah sekian banyak karya mahasiswa yang akan lulus tertampung dalam jurnal ilmiah? Jangan-jangan, karena ingin mewadahi karya mahasiswa, setiap kampus akan membuat jurnal sendiri dan me­nampung semua karya tanpa mempertimbangkan kualitasnya. Lama-lama jurnal yang ada di Indonesia akan menjadi tempat sampah,” sanggahnya.
Hal ini disampaikan Dwi mengingat jurnal merupakan wadah publikasi yang bersifat ilmiah dengan berbagai macam karakteristik untuk dapat terpublikasi di dalamnya, sehingga tidak bisa sembarang artikel bisa masuk. “Lagipula, S1 masih belajar penelitian, S2 benar-benar penelitian dan S3 sudah saatnya menjadi penemu di bidang penelitian. Saya tidak setuju kalau S1 sudah diwajibkan, tetapi jika untuk S2 dan S3 itu perlu,” imbuh dosen berkacamata ini.
Indah Suhanti, M.Psi, Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi ini memiliki pandangan berbeda terkait kebijakan Kemendiknas tersebut. Baginya, kebijakan tersebut sangat bagus ditinjau dari aspek peraturan. Namun jika harus dilaksanakan di realitanya, Indah masih belum bisa memberi suara sepakat. Menurut Indah, dalam sistem pendidikan perguruan tinggi, tidak hanya terdiri dari disiplin ilmu yang mengarah kepada pengembangan ilmu, namun ada juga yang lebih pada ilmu terapan. Sedangkan tulisan yang ada di jurnal merupakan karya ilmiah pengembangan ilmu. “Lantas mahasiswa yang dari ilmu terapan bagaimana?” tanya Indah.
Masih menurut Indah, perlu adanya kejelasan tentang proses tulisan mahasiswa untuk bisa masuk ke jurnal. Di UM saja, dengan jumlah lulusan yang begitu banyak, tentunya akan diperlukan jurnal dengan tebal jumlah halaman yang mampu menampung seluruh jurnal dari para mahasiswa.
Selain itu, juga harus ada kejelasan terkait keberlanjutan tulisan tersebut usai publikasi di jurnal. Seharusnya jurnal mampu memberi nilai tambah bagi lulusan untuk memasuki dunia kerja. “Dengan begitu mahasiswa akan merasa lebih dihargai usai publikasi sebuah karya ilmiah,” ujar dosen sekaligus psikolog ini. Di samping untuk meningkatkan publikasi ilmiah, sebenarnya kebijakan tersebut dipandang bisa memotivasi dosen untuk juga aktif memproduksi tulisan ilmiah.
Alasan yang dikemukakan oleh Kemendiknas bahwa publikasi tulisan ilmiah di Indonesia masih kurang di­banding Malaysia tentunya menjadi isyarat bagi dosen. Karena dosen se­harusnya merupakan salah satu pihak yang mampu berlomba dalam publikasi tulisan di jurnal. Namun, Indah menyadari bahwa beban mengajar bisa menjadi salah satu tantangan bagi dosen untuk bisa meluangkan waktu menulis. Apalagi bagi dosen yang juga memiliki tanggung jawab lain secara struktural atau bimbingan bagi mahasiswa. “Bukannya dosen enggan untuk menghasilkan publikasi karya ilmiah, namun terkadang waktu yang dimilki sudah terpakai untuk tanggung jawab di luar mengajar,” tegas Indah.

Tanggapan pembantu rektor bidang akademik
Prof. Dr. H. Hendyat Soetopo, M.Pd mengungkapkan bahwa pihak kampus mengambil strategi dan kebijakan untuk menyediakan jurnal ilmiah bagi mahasiswa. Terbatasnya jurnal cetak yang tersedia, kampus menawarkan solusi E-Journal, yaitu jurnal elektronik yang mudah diakses dan kapasitas tak terbatas. Meskipun sempat menolak terhadap keputusan Dikti ini, nampaknya UM kini sangat antusias. “UM akan menggalakkan E-Journal di setiap unit dan program studi di setiap jurusan. Saya telah menyebarkan surat edaran yang berisi himbauan agar penulisan artikel yang dimuat harus memenuhi tingkat kelayakan suatu publikasi ilmiah,” ujar Pembantu Rektor I UM ini.
E-Journal dapat menjadi salah satu solusi untuk mempublikasikan karya mahasiswa. Telah banyak kampus yang menerapkannya, dan ini dianggap cukup solutif. Namun diperlukan pengelolaan yang lebih serius dari lembaga. Baik tentang asesor yang terlibat, kriteria yang berlaku dan sistem yang diterapkan di dalamnya agar kualitas jurnal tersebut terjaga. Hendyat menambahkan bahwa ia setuju akan kewajiban publikasi di jurnal ilmiah. “Kewajiban membuat artikel ini untuk meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa. Kalau tidak diwajibkan, tidak akan berkembang,” ujarnya bersemangat.Juliyatin/Anum