Oleh Andreas Davis Gano
Indonesia secara geografis terletak pada 6° LU-11° LS, dan 97° BT-114° BT yang membuat daerah Indonesia beriklim tropis. Hal ini menyebabkan Indonesia mempunyai ekosistem hutan yang bersifat heterogen dengan pelbagai jenis ekosistem yang hidup di dalamnya. Hal inilah yang membuat hutan di Indonesia disebut sebagai paru-paru dunia. Hutan yang terbentang di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan lainnya. Kemudian ditambah dengan banyaknya ekosistem mahluk hidup endemik yang hanya ada di hutan Indonesia.
Kekayaan sumber daya alam tersebut menyimpan potensi ekonomi bernilai tinggi. Hal itu pula yang mengundang banyak pihak untuk melakukan eksplorasi hasil hutan mulai dari pemerintah guna meningkatkan devisa negara melalui ekspor hasil hutan hingga pihak swasta lokal maupun internasional. Namun, hal itu mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan karena eksplorasi yang tidak mengedepankan kelestarian lingkungan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan hutan secara umum.
Pertama, faktor ekonomi. Dalam melakukan pengelolaan hutan, faktor ekonomi masih sangat dominan daripada mengutamakan kelestarian ekologi. Eksplorasi hutan secara besar-besaran tanpa mengedepankan kelestarian ekologi membuat ekosistem hutan menjadi rusak, akibatnya agenda jangka panjang untuk menjaga kelestarian ekologi menjadi terabaikan. Hal ini berjalan linier dengan agenda akselerasi ekonomi global dan pasar bebas yang sedang melanda Indonesia. Pasar bebas cenderung mendorong setiap negara untuk mencari komposisi sumber daya yang paling optimal dan spesialisasi produk ekspor.
Negara yang kapabilitas teknologinya rendah, terutama teknologi industri, seperti Indonesia, akan cenderung menekankan penghasilannya pada sumber daya alam. Kemudian hal ini diperkuat dengan anggapan bahwa eksplorasi sumber daya alam terutama ekosistem hutan dirasa mudah dan murah namun menghasilkan komoditi ekspor bernilai tinggi. Taraf industrialisasi yang belum matang membuat Indonesia tidak bisa meninggalkan ketergantungan sumber komoditi ekspor pada sumber daya alam, terutama hasil hutan. Ditambah beban hutang luar negeri Indonesia yang memaksa pemerintah Indonesia melakukan eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk menutupi beban hutang luar negeri indonesia. Ekspor barang nonmigas seperti kayu, bahan tambang, dan hasil hutan lainnya terjadi dalam skenario itu. Ironisnya, eksplorasi yang dilakukan bersifat eksploitatif. Adanya praktik-praktik pembalakkan liar yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar dan perusahaan kecil juga memperparah kerusakan hutan.
Faktor kedua adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia terhadap praktik pembalakan liar. Penegakan hukum di Indonesia masih terkesan tebang pilih terhadap oknum yang melalukan pembalakan liar.
Penegakan hukum cenderung diberlakukan hanya pada pelaksana pembalakan liar di lapangan, seperti para buruh yang menjadi suruhan aktor utama yang mempunyai modal besar. Aktor utama jarang sekali tersentuh hukum karena berbagai faktor, baik politis maupun karena adanya uang tutup mulut dari aktor utama tersebut kepada aparat penegak hukum. Terkadang, aktor utama tersebut berasal dari aparat pemerintah yang berwenang terhadap pengelolaan hutan. Sehingga untuk ditindak secara hukum seringkali mengalami kesulitan karena harus berhadapan dengan penegak hukumnya sendiri. Akibatnya, semakin sulitlah praktik-praktik ini dihentikan yang berakibat pada semakin parahnya kerusakan hutan.
Ketiga, faktor kebakaran hutan, baik disebabkan oleh pembakaran hutan secara sengaja guna membuka lahan pemukiman maupun kebakaran hutan karena semakin panasnya suhu bumi, memperparah kerusakan hutan itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan hal ini akan berlangsung? Apakah sampai hutan di Indonesia benar-benar habis sehingga membuat seluruh elemen masyarakat baru menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai salah satu penopang sumber kehidupan umat manusia?
Diperlukan suatu sistem yang kuat dan menyeluruh dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan hutan, dan juga sebagai pengawas kelestarian hutan secara langsung.
Pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal
Masyarakat yang secara langsung berinterakasi dengan lingkungan hutan ialah masyarakat adat yang menempati area hutan sebagai tempat tinggal mereka. Di Indonesia terdapat beragam suku adat yang tersebar diseluruh pelosok negeri. Ada suku Dayak di Kalimantan, suku Badui di Jawa Barat, suku Asmat di Papua. Pada umumnya, mereka hidup dengan memegang nilai-nilai kehidupan mereka sendiri yang disebut sebagai kearifan lokal masyarakat adat. Kearifan lokal atau tradisional mengandung arti resultan dan keseimbangan optimum yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Kearifan lokal merupakan salah satu manifestasi kebudayaan merangkap sebagai sistem yang memegang erat tradisi sebagai sarana pemecahan persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal (Darusman dan Suharjito, 2000). Sebagai contoh, warga suku Badui yang berada di Provinsi Banten, tidak diperbolehkan menebang pohon sembarangan, terutama pohon yang berada pada area hutan lindung. Sebab keberadaan pohon-pohon ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di area ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah peruntukannya menjadi ladang atau kebun sayur atau buah. Senada seperti yang diungkapkan oleh Kokolot (sesepuh Badui, Dainah Jaro http://umum.kompasiana.com). “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak” yang artinya gunung jangan dihancurkan, hutan jangan dirusak.
Pengelolaan hutan yang berdasarkan tata nilai yang dianut oleh masyarakat adat dan melibatkan mereka dalam pengawasan dan pengelolaannya, bisa dijadikan sebagai alternatif dalam menyelamatkan hutan. Sebab jika hutan itu rusak yang akan merasakan langsung adalah masyarakat adat tersebut. Selain itu, mereka telah mempunyai pengetahuan bagaimana memperlakukan alam secara bijak demi kelestariannya.
Penulis adalah mahasiswa Administrasi Pendidikan dan Ketua HMJ AP