Cerpen Natalia Wijayanti

Kisah cinta Marni. Dimulai dengan sebuah pertemuan yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Pada saat itu, dia ikut ayahnya pergi ke kota Ponorogo. Ayahnya ingin menemui teman lamanya bernama Darmono. Beliau ingin mengadakan hubungan bisnis dengan Pak Darmono sekaligus mengadakan reuni karena sudah lama tidak jumpa. Untuk itu, Marni dan ayahnya menginap selama tiga hari di rumah Pak Darmono. Jauh dari tempat tinggalnya di Semarang, Marni pun menyiapkan segala hal agar dia tidak merasa bosan di rumah teman ayahnya. Laptop beserta modem ia masukkan ke dalam ranselnya agar ia masih bisa berkomunikasi dengan teman-temannya lewat chatting. Marni tahu pasti, tiga hari di rumah orang lain berarti dia harus menjaga tingkah lakunya. Terlebih-lebih ayahnya telah bercerita bahwa Pak Darmono adalah orang yang sangat disiplin dan keras. Ini akan menjadi liburan yang membosankan, pikirnya.
Tapi, tak semua yang dialami Marni di kota ini membosankan. Ternyata rumah Pak Darmono jauh dari apa yang ia perkirakan. Lelaki ini adalah lelaki kaya dengan puluhan hektar sawah dan kebun juga peternakan sapi dan kuda. Sesampainya di tempat tujuan, Marni dan Ayahnya langsung disambut dengan hangat oleh Pak Darmono.
“Heri, sudah lama ya kita tidak jumpa. Kamu sudah tua rupanya. Hahaha,” sambutnya.
“Iya, No. Sudah tua aku ini. Kamu itu yang masih seperti muda dulu,” ucap ayah Marni.
“Bisa saja kau ini, Her. Oh iya, itu siapa? Anak gadis ayu yang bersama kamu?”
“Oh, ini anakku, No. Namanya Marni Ratridewi.”
“Cantik sekali putrimu, Her,” ujar Pak Darmono sambil tersenyum.
“Lah putramu sendiri mana, No?” tanya ayahku.
“Hahaha. Tentu saja dia ada di sini. Yogo… Yogo sini, Nak,” panggil Pak Darmono.
Lalu muncullah seorang laki-laki muda yang tampan. Kulitnya putih bersih dengan rambut cepak. Tubuhnya atletis dan tinggi. Dia terlihat seperti bukan orang pribumi saja. Dialah Prayogo, putra Pak Darmono. Pemuda yang sangat tampan. Marni terpesona dengan Yogo. Matanya berbinar-binar seolah tidak sanggup menahan pancaran aura yang keluar dari wajah Yogo.
“Ini pasti Pak Heri, ya. Teman bapak dari Semarang. Apa kabar, Pak?” Yogo menyambut.
“Wah, No. Anakmu ganteng sekali. Aku baik-baik saja, Nak. Nama kamu siapa?”
“Nama saya Prayogo Hadisaputro, Pak,” jawab Yogo sambil menyalami Marni dan ayahnya.
“Kenalkan, Go, ini putrinya Pak Heri. Namanya Marni. Kamu harus menemani dia selama di sini, ya. Yang rukun,” kata Pak Darmono.
Marni dan Yogo pun berkenalan. Itulah pertemuan manis antara mereka berdua. Marni tahu bahwa Yogo adalah putra satu-satunya Pak Darmono. Dia juga seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang. Yogo adalah pemuda yang sangat tampan, cakap, dan juga sangat baik. Tutur katanya lembut dan penuh makna. Dia sangat dewasa. Marni rasa, dia jatuh cinta pada Prayogo. Tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada pemuda ini. Di hari ke dua Marni berada di rumah Pak Darmono, dia sudah akrab dengannya.
“Yogo, kamu udah punya pacar ya?” tanya Marni dengan berani.
“Nggak, Mar. Aku belum pernah pacaran. Kamu sendiri?”
“Aku sih sekarang lagi jomblo. Tapi aku udah pernah pacaran. Dua kali.”
“Gimana rasanya?”
“Ya nggak gimana-gimana. Bisa senang, bisa sedih juga.”
Prayogo tampak antusias dengan cerita Marni mengenai pacarannya. Marni  semangat sekali menceritakan cerita-cerita cintanya, mulai dari yang sedih sampai yang senang. Di malam harinya, Marni makan malam bersama keluarga Pak Darmono. Marni bertanya-tanya, di mana istri Pak Darmono? Apa Prayogo itu bukan anak kandung Pak Darmono?
“Yah, istri Pak Darmono mana?” tanya Marni saat sudah bersiap-siap untuk tidur.
“Ayah dulu pernah dengar istri Pak Darmono meninggal waktu Prayogo dilahirkan. Kamu jangan tanya-tanya ke Pak Darmono atau ke Yogo lo ya,” perintah ayahnya.
Marni pun tenggelam dalam selimut tipisnya. Dia merasa kasihan pada Yogo. Yogo adalah laki-laki terbaik yang pernah ia temui dan dia yatim. Rasa cinta Marni pun semakin kuat. Dia ingin menjadi wanita pertama dalam hidup Yogo. Dia ingin Yogo tahu bahwa rasa cinta dari seorang wanita adalah hal yang paling nyaman di dunia. Yogo harus tahu itu.
Esok harinya, hari terakhir Marni berada di Ponorogo, Marni dan ayahnya diajak berjalan-jalan melihat peternakan kuda milik Pak Darmono. Tiba-tiba rombongan berhenti di depan rumah kecil.
“Nah ini makam bebuyut keluarga Hadisaputro. Marni, kamu kalau main-main dengan Yogo jangan masuk ke rumah ini ya. Keramat, hehehe,” ujar Pak Darmono kepada Marni dengan tawa khasnya.
Marni bergidik ngeri. Rumah kecil itu tampak sangat menyeramkan. Rumah itu mungkin hanya punya satu ruangan karena luasnya hanya sekitar tiga kali tiga meter. Dindingnya terbuat dari kayu dan terlihat lebih seperti lumbung. Di sebelahnya ada sebuah pohon angsana yang tidak terlalu besar. Mungkin benar kalau itu adalah makam, pikirnya. Ayah Marni dan Pak Darmono melanjutkan perbincangan mengenai bisnis mereka. Sedangkan Yogo mengajak Marni untuk naik kuda. Mereka  berkuda bersama. Menikmati sinar matahari yang hangat. Marni tidak ingin pulang. Ia betah di sini. Ia senang bisa menghabiskan waktu dengan Yogo. Ia telah jatuh cinta, dan kali ini, cintanya lain.
Malam harinya, ketika ayah Marni dan seluruh penghuni rumah sudah tidur, Marni berjalan ke beranda rumah. Dia tidak bisa tidur. Beberapa jam lagi, ia sudah akan meninggalkan tempat ini dan meninggalkan cintanya. Dia bahkan belum sempat menyatakan cinta pada Yogo. Namun tiba-tiba Marni mendengar suara langkah kaki yang berat. Keringat dingin mengucur di dahinya. Dia tidak berani menoleh ke belakang. Dan sosok dengan langkah yang berat itu lalu memeluknya dari belakang. Aroma tubuh yang sangat ia kenal. Sosok itu menciumi lehernya dan berkata, “Aku mencintaimu Marni. Aku suka aroma tubuhmu yang segar seperti rumput yang basah oleh embun pagi.”
Marni menutup kedua matanya. Dia merasakan dirinya tenggelam dalam gelap malam yang sunyi. Hawa dingin tidak sanggup menusuk kulit mulusnya. Ia seperti terbang dan melayang tinggi sekali. Ia rasakan jengkal demi jengkal tubuhnya tersentuh oleh sesuatu yang sangat hangat. Marni merasa terlahir kembali. Kecupan demi kecupan mesra dari seseorang yang sangat menginginkannya. Dia akan tetap menjadikan itu misteri. Misteri yang telah menjadikannya wanita sempurna. Dia bukan lagi seorang gadis yang tidak mengerti apa arti cinta sebenarnya. Dan cinta Marni sempurna. Indah bagaikan rembulan separuh yang bersinar terang di angkasa. Dan di malam itu, Marni melepas segala belenggu jiwanya. Dia berjanji, tidak akan ada yang mendapatkan hal yang sama dari dirinya. Hanya sosok itu, hanya dia yang boleh mendapatkannya.
Entah mengapa pengalaman yang misterius sekaligus manis pada malam hari itu membuat Marni menjadi lebih cerah. Dia merasa menjadi wanita seutuhnya. Namun di lain hati, dia merasa sedih, karena dia harus meninggalkan kekasih hatinya, Yogo.
“Kita pulang jam berapa, Yah?” tanya Marni.
“Oh iya Ni, kita tidak jadi pulang hari ini. Kita pulang dua hari lagi. Soalnya Ayah harus melakukan kontrak kerja sama dengan Pak Darmono. Ayah ingin membuat usaha daging sapi kalengan dengan beliau,” kata ayah Marni.
Tanpa merespon sepatah kata pun, Marni membuka laptopnya dan memulai halaman Facebook. Dia tuliskan kata-kata: Aku akan di sini satu hari lagi dengan dia sebagai status hari ini.
“Ya udah kalau gitu, Yah. Marni juga masih libur, kok,” ujar Marni.
Esok paginya, mereka berjalan-jalan menembus kabut pagi persawahan.
“Go, besok aku udah mau pulang,” ucap Marni.
“Iya Ni, aku ngerti kok,” Yogo tersenyum manis sambil membelai rambut Marni.
“Emm, tapi aku nggak ingin kita cuma segini aja. Aku ingin kita bisa lebih dari sekedar temen. Aku sayang kamu, Yogo. Cuma sama kamu aja aku bisa nyaman,” air mata Marni hampir keluar.
“Shh shh shh…. Sudah sayang, jangan nangis ya. Aku ngerti kok gimana perasaan kamu. Aku juga sayang sama kamu,” jawab Yogo sambil memeluk Marni yang membenamkan wajahnya di dada Yogo.
“Kita pasti bakalan ketemu lagi, kan?” tanya Marni sambil menangis.
“Kalau memang Tuhan menghendaki, kita pasti bertemu lagi,” Yogo kembali dengan senyum manisnya.
Marni merasa lega. Akhirnya perasaannya terhadap Yogo tidak berbuah pahit. Ia sangat senang karena Yogo juga memiliki perasaan yang sama pada dirinya. Ingin rasanya dia tinggal di sisi Yogo untuk selamanya. Yogo adalah satu-satunya orang yang mau mendengarkan ceritanya, memandangnya dengan tatapan terindah, dan membuatnya nyaman senyaman-nyamannya. Marni merasa tidak akan ada lagi pria yang sanggup memperlakukannya sedamai itu.
Malam harinya, Marni dengan sedih mengemasi barang-barangnya. Ayahnya tahu bahwa putrinya menyukai putra sahabat lamanya itu.
“Marni, tadi ayah berbincang-bincang dengan Pak Darmono,” cerita sang ayah.
“Oh ya? Ngomongin apa, Yah?” tanya Marni.
“Ngomongin kamu sama Yogo. Ayah sih cuma iseng. Ayah bilang kalau kamu cocok juga sama Yogo. Mungkin Ayah dan Pak Darmono bisa jadi besan. Ayah juga cerita kalau kalian suka pergi berdua, menghabiskan waktu berdua. Intinya kalian cocok lah.”
“Terus Pak Darmono bilang apa, Yah?”
“Beliaunya cuma diam saja. Ekspresinya aneh setelah mendengar ayah berkata seperti itu. Niat Ayah kan cuma bercanda. Tapi, beliau sepertinya marah sama ayah. Acara melihat-lihat kami langsung diakhiri dan kita langsung kembali ke rumah,” cerita ayah Marni.
“Mungkin beliau tidak suka sama Marni, Yah,” ujar Marni sedih.
“Memangnya kamu bertingkah tidak sopan di depan Pak Darmono?”
“Nggak. Marni selalu sopan sama siapa saja. Marni selalu menjaga tingkah laku Marni di depan Yogo maupun Pak Darmono.”
Marni berpikir. Apa Pak Darmono mengetahui kalau Yogo dan Marni bercinta di malam itu sehingga Pak Darmono tidak ingin putranya menikah dengan seorang gadis yang gampangan? Marni menutup matanya dan menangis. Apa yang telah ia lakukan? Mengapa semudah itu ia menyerahkan kegadisannya pada Yogo? Tapi semua itu sangat ajaib dan cepat. Di malam itu, keindahan telah membuatnya buta. Marni takut. Marni takut kalau-kalau Pak Darmono mengetahui hal itu dan membenci Marni. Yang lebih ia takutkan lagi adalah kalau Pak Darmono membenci putranya sendiri. Marni menunggu sampai tengah malam di saat seluruh penghuni rumah telah tertidur. Ia berencana menyelinap ke kamar Yogo dan meminta maaf atas semua yang ia lakukan padanya.
Saat yang ditunggu-tunggu tiba. Marni keluar dari kamarnya dan berjalan pelan-pelan ke kamar Yogo. Dia berusaha untuk tidak menciptakan bunyi sekecil apa pun. Sesampainya di depan kamar Yogo, dia mendapati pintu kamar Yogo terbuka sedikit. Ketika Marni masuk, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar. Kemudian Marni mendengar suara dari luar rumah. Dia mengintip dari jendela kamar. Ada dua orang berpakaian gelap keluar dari rumah. Mereka tampak mencurigakan. Marni merasa takut sekaligus penasaran. Siapa sebenarnya mereka? Kecurigaan Marni mengantarkannya keluar rumah, membuntuti kedua orang misterius itu. Ternyata, mereka berjalan ke arah peternakan kuda milik Pak Darmono. Dan mereka masuk ke rumah keramat yang kata Pak Darmono tidak boleh dimasuki siapa pun itu. Marni kaget. Untuk apa dua orang misterius itu masuk ke sana? Marni pun berjalan mendekati rumah itu dan mengintip melalui lubang kecil di dinding yang terbuat dari kayu.
Gelap sekali di luar sana. Di dalam rumah kecil itu, sebuah lilin dinyalakan. Marni kaget bukan main kalau ternyata dua orang itu adalah Pak Darmono dan Yogo. Pak Darmono terlihat sedang membaca mantra sambil memegang tangan Yogo. Marni terus mengintip. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya sedang ia lihat. Tiba-tiba Yogo melepas semua pakaiannya. Pak Darmono pun juga melakukan hal yang sama. Marni takut sekali. Jantungnya berdebar kencang. Entah apa yang sedang mereka lakukan tapi Marni melihat Yogo sedang bersujud membelakangi Pak Darmono. Dan Pak Darmono pun melakukan perbuatan yang sama sekali berada di luar dugaan Marni. Marni telah menyaksikan sebuah peristiwa yang mengerikan dan membuatnya syok. Marni menangis sambil menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya hancur. Dia tidak menyangka bahwa Pak Darmono dan Yogo melakukan praktik homoseksual secara tersembunyi. Marni tidak kuat. Dia jatuh tersungkur. Kakinya lemas bukan main. Dia tidak sanggup berjalan, apa lagi berlari. Lenguhan demi lenguhan terdengar dari dalam rumah kecil itu. Sekitar beberapa menit, semuanya berakhir.
“Yogo, kamu tidak jujur sama Bapak,” ujar Pak Darmono dengan nafas tersengal-sengal.
“Tidak jujur bagaimana, Pak?” tanya Yogo lemas.
Emosi Pak Darmono  meluap. Dipukulnya Yogo dengan hantaman yang sangat keras. Yogo berteriak dan tidak akan ada yang mendengarnya kecuali Marni.
“Ampun, Pak, Yogo minta ampun.”
“Tidak ada ampun buat kamu! Dasar penghianat! Berani kamu berbohong sama Warok Darmono? Ha? Aku kan sudah bilang bahwa kamu tidak boleh mencintai gadis mana pun. Cinta kamu cuma untuk aku! Bukan untuk orang lain, apalagi wanita!”
Diteruskannya pukulan demi pukulan. Dan ketika sudah berakhir, Yogo  tersungkur dan mengerang kesakitan. Lalu segala bunyi itu berhenti. Marni berlari sekencang-kencangnya ke kamarnya. Dia menangis dan dia ingin cepat pulang. Dia ingin segera pulang. Dia tidak akan pernah dan tidak ingin lagi kembali ke kota ini, ke tempat ini lagi.
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Inggris