Oleh Trias Widha Andari

Trowulan. Di mana itu? Pertanyaan ini sering muncul saat pertama kali nama Trowulan disebut. Trowulan adalah nama sebuah kecamatan kecil yang terletak di Kabupaten Mojokerto. Suasana tradisional begitu terasa di kecamatan ini. Rumah-rumah dengan halaman yang luas, area persawahan di sana sini, dan pengendara sepeda kumbang yang sesekali melintas di jalanan.
Sepintas Trowulan tampak seperti kecamatan pada umumnya. Namun, ratusan tahun lalu, kecamatan ini diduga merupakan pusat pemerintahan kerajaan terbesar di nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit. Sisa-sisa kebesaran Kerajaan Majapahit banyak tersimpan di Trowulan, di antaranya berupa bangunan fisik seperti gapura, candi, dan petirtaan yang layak dijadikan alternatif tujuan wisata. Tidak ada salahnya berwisata ke Trowulan, mengagumi keindahan dan keunikan karya nenek moyang sambil mempelajari sejarah yang terkandung di dalamnya.
Bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan memiliki beragam keunikan, salah satunya adalah sebagian besar bangunan tersusun dari batu bata merah yang juga dikenal dengan batu Majapahit. Penyusunan batu bata tersebut pun unik. Sebagian disusun tanpa menggunakan lem dan sebagian menggunakan perekat alami. Meskipun tersebar di beberapa wilayah, jarak antarlokasi peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan tidak terlalu jauh. Beberapa bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Di samping itu, Trowulan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang banyak dilewati oleh kendaraan umum. Jadi, jangan khawatir kelelahan saat melakukan perjalanan, sebab angkutan umum, baik roda dua maupun roda empat siap mengantarkan pengunjung ke lokasi yang ingin dituju.

Gapura, candi, petirtaan
Salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah gapura. Seperti pada umumnya, bangunan gapura dibagi menjadi dua jenis, yaitu padukarsa dan bentar. Gapura jenis padukarsa adalah gapura yang memiliki atap dan daun pintu, sedangkan gapura jenis bentar berbentuk bangunan yang terbelah dan tidak beratap.
Di Trowulan, gapura dengan jenis padukarsa adalah gapura Bajang Ratu. Gapura yang sebagian besar terbuat dari bata ini terletak di desa Temon. Seperti kebanyakan bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya, gapura Bajang Ratu terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, tubuh, dan atap. Selain itu, gapura ini juga memiliki sayap dan pagar tembok di kedua sisinya.
Bagian kaki gapura Bajang Ratu terdiri dari pelipit rata dan sisi genta yang di sudut-sudutnya terdapat hiasan panel-panel yang menggambarkan Sri Tanjung. Di bagian badan gapura terdapat ambang pintu yang berhias kepala kala dan sulur-suluran. Pintu di gapura Bajang Ratu tidak boleh dilewati karena diduga gapura ini merupakan bangunan yang belum jadi.
Atap gapura Bajang Ratu bertingkat dengan bentuk makin ke atas makin kecil dengan puncak berbentuk kubus. Pada masing-masing tingkatan atap terdapat relief menara kecil dengan diselingi relief naga, garuda, matahari, dan hewan bermata satu (monocle cyclops). Pada bagian paling puncak gapura Bajang Ratu terdapat hiasan kelopak bunga dan geometris. Sayap gapura tersusun dari bata dengan hiasan panel sempit berbingkai tebal dan relief cerita Ramayana yang digambarkan dengan tokoh kera sedang menginjak raksasa.
Bentuk gapura Bajang Ratu yang anggun membuat bangunan ini seringkali dijadikan tempat pemotretan. Selain itu, di sekeliling gapura Bajang Ratu terdapat taman dengan pohon-pohon rindang dan bunga berwarna warni yang menambah kenyamanan pengunjung. Jika ingin mendengarkan penjelasan lebih lengkap mengenai gapura ini, pengunjung dapat bertanya langsung kepada petugas yang ada di sana.
Selain Bajang Ratu, terdapat gapura lain di Trowulan, yaitu gapura Wringin Lawang. Berbeda dengan gapura Bajang Ratu, gapura Wringin Lawang merupakan gapura dengan jenis bentar. Gapura yang terletak di desa Jatipasar ini memiliki tinggi 15,5 meter serta panjang 13 meter dan lebar 11,5 meter.
Bagian kaki gapura Wringin Lawang terdiri dari perbingkaian bawah, badan kaki, dan perbingkaian atas. Di antara dua bagian gapura yang terbelah terdapat lorong selebar 3,5 meter dengan tangga di sisi barat dan timur. Bagian tubuh gapura terdiri dari pelipit-pelipit rata dan pelipit sisi genta. Sedangkan bagian atas gapura bertingkat-tingkat dengan hiasan berbentuk menara kecil pada setiap tingkatnya.
Di dekat gapura Wringin Lawang terdapat pohon maja yang konon dahulu banyak dijumpai. Pohon dengan buah pahit ini konon merupakan asal nama Majapahit. Gapura Wringin Lawang diperkirakan berfungsi sebagai ‘pintu masuk’ kompleks pusat Kerajaan Majapahit.
Peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan berikutnya adalah candi. Seperti gapura, secara umum, candi terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, tubuh, dan atap.  Terdapat banyak candi di Trowulan. Beberapa di antaranya adalah candi Brahu, Gentong, Minak Jinggo, dan Kedaton.
Candi Brahu terletak di desa Bejijong yang menghadap ke barat dengan tinggi bangunan 25,7 meter dan lebar 20,7 meter. Candi Brahu diperkirakan merupakan candi tertua dibandingkan situs-situs lain di Trowulan. Dugaan ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Alasantan yang dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada 939 M. Di dalam prasasti disebutkan bangunan suci bernama Waharu atau Warahu yang diduga sebagai asal nama candi Brahu.
Beberapa ratus meter di sebelah timur candi Brahu terdapat candi Gentong. Candi yang diduga dibangun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk ini terdiri dari dua bangunan, yaitu candi Gentong I dan candi Gentong II. Bentuk candi Gentong I berbeda dengan bangunan candi lainnya. Candi ini tersusun dari tiga buah struktur bata berdenah bujur sangkar yang disusun memusat. Bangunan candi Gentong II berdenah bujur sangkar yang terletak di sebelah utara candi Gentong I.
Candi lain yang terdapat di Trowulan adalah candi Minak Jinggo. Di candi yang terletak di dukuh Unggah-Unggahan ini hanya terdapat batu-batu andesit yang merupakan runtuhan candi di pelataran dan gundukan tanah seluas 2.370 m2. Candi Minakjinggo juga dikenal dengan sebutan Sanggar Pamelengan karena konon dahulu di tempat ini terdapat arca wanita berbadan ikan dan arca bersayap.
Perjalanan menyusuri candi peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan kurang lengkap jika tidak mengunjungi candi Kedaton. Seperti namanya, candi yang menghadap ke barat ini terletak di dusun Kedaton. Candi Kedaton terdiri atas dua bangunan. Bangunan I adalah sebuah kaki bangunan dengan denah segi empat. Di depan bangunan terdapat sumur kuno sedalam 5,7 meter. Sumur yang berjarak 5 meter dari Bangunan I ini hingga kini masih berfungsi dengan baik dan sering digunakan untuk menyucikan diri sebelum bersemedi di sumur Upas yang terdapat pada Bangunan II.
Bangunan II adalah kompleks sumur Upas yang belum diketahui pasti luas dan arah hadapnya. Namun, berdasarkan Bangunan I yang menghadap ke barat, Bangunan II pun diperkirakan sama. Nama sumur Upas berasal dari sebuah sumur yang terdapat di tengah bangunan. Konon sumur ini dapat mengeluarkan gas atau racun. Masyarakat sekitar memercayai bahwa dahulu sumur ini adalah jalan rahasia menuju tempat yang aman bagi raja saat diserang musuh.
Petirtaan adalah salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya. Terdapat dua tempat yang diduga berfungsi sebagai petirtaan di Trowulan, yaitu kolam Segaran dan candi Tikus. Kolam Segaran terletak di desa Trowulan dengan panjang 375 meter dan lebar 125 meter. Dinding kolam memiliki tinggi 3,16 meter dengan lebar 1,6 meter dengan daya tampung air hingga 223.125 m3. Segaran terbuat dari batu yang menempel satu sama lain tanpa menggunakan perekat.
Menurut cerita rakyat pada masa Kerajaan Majapahit menyebutkan bahwa Segaran dahulu merupakan tempat rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri. Ketika perjamuan selesai, piring, mangkok, dan sendok yang terbuat dari emas dibuang ke kolam untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Majapahit sangat kaya. Namun, jika dilihat dari adanya saluran keluar masuk, Segaran dimungkinkan dahulu berfungsi sebagai waduk atau penampungan air.
Petirtaan berikutnya adalah candi Tikus. Candi yang terletak di desa Temon ini seperti miniatur candi dengan air yang mengalir dari pancuran (jaladwara) sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci. Bangunan candi Tikus berada di permukaan tanah yang lebih rendah, yaitu sedalam 3,5 meter. Untuk mencapai lantai dasar candi harus menuruni tangga di sisi utara yang merupakan pintu masuk candi. Dinding candi Tikus dibuat berteras untuk menahan tanah di sekitarnya. Pada musim penghujan, sebagian candi ini akan terendam air.
Candi Tikus pertama kali ditemukan pada tahun 1914 oleh seorang penduduk. Penemuan ini diawali dari laporan penduduk yang terjangkit wabah tikus yang bersarang di sebuah gundukan. Ketika dibongkar, ternyata terdapat sebuah candi yang kemudian diberi nama candi Tikus.

Sumpah Amukti Palapa
Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.
Begitu­lah bunyi Sumpah Palapa yang di­kumandang­­kan oleh Maha­patih Gajah Mada. Hingga kini, tempat yang diduga sebagai lokasi dibacakannya sumpah tersebut masih ada di Trowulan, tepatnya di bagian belakang situs Pendopo Agung di desa Nglinguk.
Situs ini tergolong bangunan baru karena didirikan pada 15 Desember 1966 berdasarkan pada umpak atau patokan yang ditemukan di situs ini. Sebelum dibangun, umpak tersebut berjumlah 26 buah, 14 digunakan untuk pendopo, satu sebagai candra sengkala, dan sisanya berada di sebelah barat pendopo.
Di depan situs terdapat patung Raden Wijaya dan di bagian belakang terdapat relief Gajah Mada sedang melakukan Sumpah Amukti Palapa. Di halaman barat dan selatan pendopo terdapat tiang batu atau toggak yang memiliki kemiringan sekitar 10o. Tonggak ini dipercaya masyarakat sebagai tempat mengikat gajah dan kuda milik Gajah Mada.  Konon tonggak ini tidak bisa dicabut dan tidak terukur karena saat digali, tonggak ini seperti tidak berpangkal.
Masih banyak lagi peninggalan Kerajaan Majapahit yang tersimpan di Trowulan. Paling tidak, dibutuhkan waktu dua sampai tiga hari untuk dapat mengunjungi seluruh lokasi peninggalan tersebut. Bagi pengunjung yang berasal dari luar kota, terdapat beberapa alternatif penginapan yang terdapat di Trowulan maupun di kota Mojokerto.
Kata pepatah, sambil menyelam minum air. Sambil menyelam di lautan sejarah Kerajaan Majapahit, jangan lupa minum air es sari tebu asli yang ada di tepi-tepi jalan di Trowulan. Selamat berwisata.
Penulis adalah mahasiswa Seni
dan Desain 2008