Judul buku     : Indonesia Mengajar
Penulis            : Sekar Arrum N., et. al.
Penerbit          : Bentang Pustaka
Tahun              : 2011
Tebal               : 322 halaman
Peresensi        : M. Ziyan Takhqiqi Arsyad

Indonesia Mengajar  Anies Baswedan sudah begitu menggebrak gerbang pendidikan Indonesia yang sampai dasawarsa terakhir belum menyentuh pelosok negeri. Tahun 2010 menjadi awal gebrakan tersebut dengan menyeleksi pengajar-pengajar muda sarat prestasi dan kualitas yang ditunjang kapasitas kepedulian terhadap pendidikan di pelosok. Terbukti pada angkatan pertama dari 10.000 lebih sarjana terpilih 117 pengajar muda yang siap dan disiapkan menginspirasi dan medesimenasi ilmu mereka di 14 titik pelosok Indonesia yang sudah dipilih. Pengalaman berharga dari pengajar muda (PM) Indonesia Mengajar (IM) kini bisa kita dapat dari kumpulan tulisan 50 PM yang dikemas dalam buku Indonesia Mengajar.

Anak-anak didik pengajar muda
Tulisan-tulisan sederhana tampak bagus untuk lebih mengenal bagaimana anak-anak di pelosok Indonesia. Dengan pandangan yang cerdas, para PM menceritakan keunikan-keunikan karakter anak-anak didik yang mereka temui. Fatia (PM di Bengkalis) menceritakan perbedaan karakter minoritas dari suku keturunan Tionghoa di antara dominasi suku Jawa dan Melayu. Jika anak suku Jawa dan Melayu di sebelah kiri, suku keturunan dapat dipastikan di sebelah kanan. Sekolah di Jawa tak banyak dijumpai hal semacam itu.
Ada juga cerita dari pengajar di Halmahera Selatan menyebutkan bahwa anak di sana sebenarnya tidak nakal, tapi karena lingkungan di sana keras sangat mendukung terbentuknya kenakalan. Cerita panjangnya orang tua di rumah, guru di sekolah tidak segan mengadu rotan dengan kulit anak-anaknya hingga membekas, menembus hati yang ujungnya pada kondisi pergaulan dan pembawaan pribadi yang bermasalah. Masih banyak cerita tentang anak didik yang tak kalah menginspirasi dari PM Indonesia Mengajar selain contoh tersebut, mulai dari siswa berkebutuhan khusus yang jenius atau sebaliknya, siswa berlagak jadi guru, asisten guru, dan siswa yang tidak turun belajar ke sekolah. Sebagai guru atau cagur sangat layak bila membuka mata terhadap karakter anak, lebih mengenal tak harus menjejakkan kaki di SD PM mengajar.

Memupuk optimisme
Cerita “Satriana Bertemu Wakil Presiden” oleh Sekar Arrum Nuswantari (PM di Majene) mengingatkan tentang berita di media tentang surat untuk presiden oleh siswa SD beberapa waktu yang lalu. Sayembara surat menjadi perantara pertemuan yang menjalin ikatan antara siswa SD di pelosok dengan bapak wapres. Satriana diminta maju dan menyerahkan suratnya dan surat teman-temannya kepada bapak wapres. bapak wapres memberikan buaian nasihat yang akan memicu optimisme Satriana dan “laskar pelangi” di pelosok dan PM untuk terus memendekkan jarak Majene-Jawa.
Tak kalah subur dalam memupuk op­timis, PM mendapati kelucuan ketika salah seorang anak di sana dengan pe­mahaman kreatifnya mengatakan sudut tumpul adalah sudut yang tidak pernah di asah. Pengalaman PM mengajarkan bahwa seterbatas bagai­manapun optimisme bisa dipupuk untuk menjadikannya tak terbatas.

Belajar rendah hati
Merendah dan rendah hati sangat tipis bedanya. Hal itu tidak lepas dari mata PM yang dituangkan dalam tulisan-tulisan menarik. Interaksi sosial PM dengan lingkungannya membuat mereka dapat menuliskan inspirasi rendah hati ini. “Saya Belajar maka Saya Ada, “Mengajarkan ‘Malu’ untuk Maju”, dan beberapa tulisan lain memberikan kesempatan pada pembaca untuk benar-benar memaknai kerendahan hati. Maknanya tidak tertuang, tapi harus diciduk sendiri dari wadahnya. Makna rendah hati yang dapat ditangkap dari tulisan para PM adalah menghargai orang lain meski dapat dikatakan orang itu tak lebih baik sekalipun.

Ketulusan itu menular
Ending yang sangat menggugah, ketulusan adalah sikap yang patut mendapat apresiasi tertinggi. Di sinilah ungkapan-ungkapan niat PM mengabdi bertabur, buktinya Nila Pungky Ningtyas (PM di Tulang Bawang) sudah jatuh cinta pada siswanya. Cerita lain tentang menularnya ketulusan terdapat dalam “It’s about Choice, It’s about Choose” (Zaki Laili Khusna PM Kabupaten Paser). Di dalamnya terkisah sepasang suami istri dari Gunung Kidul, Yogyakarta yang rela mengajar kembali ke Paser sebagai guru honorer, padahal sempat beberapa waktu mereka pulang ke Gunung Kidul. Ketulusan sangat terasa benar-benar ditularkan dalam cerita ini. Sedikit demi sedikit saat menyusuri baris-baris buku ini, tulisan para PM menularkan ketulusan niatnya mengajar dan mengabdi.
Terlepas dari kekurangan buku ini yang gado-gado dan maknanya tidak menyatu serta beberapa cerita yang ending-nya dapat dikatakan belum memuaskan dan diputus paksa, cerita di dalamnya tetap menarik dan belum terjamah. Pengalaman dan bentuknya yang mirip reportase menjadikan isi buku ini amat dekat dengan keseharian. Mampu menarik inspirasi yang asri dan ketulusan pengabdian dalam Indonesia Mengajar, meskipun sempat membesitkan dalam angan, Saya ingin seperti mereka.
Jika bicara soal sasaran buku ini, semua warga negara ini harusnya merasa. Selain menginpirasi, Anies dalam prolog buku ini mengatakan bahwa para PM berangkat mengajar dari ketulusan. Tepatnya salah satu sasaran obyektif buku ini adalah, mari menjadi insan yang lebih peduli pada pendidikan Indonesia, terutama di pelosok. Buku Indonesia Mengajar mengajak kita mendukung para Pengajar Muda untuk terus menempa semangat mengajarnya.
Peresensi adalah mahasiswa PGSD