“Puisi itu bisa ditaksir deng­an bermacam-macam cara,” ucap salah satu pe­nyaji membuka acara Pe­luncuran Jilid VII Seri Puisi Jerman Kumpulan Puisi Georg Trakl Mimpi dan Kelam Jiwa, pada Sabtu (08/09) lalu. Acara untuk umum yang dimulai pada pukul 16.25 WIB itu dihadiri oleh Ketua Jurusan Sastra Jerman, Edy Hidayat, S.Pd., M.Hum., jajaran dosen lainnya, mahasiswa Jurusan Sastra Jerman, beberapa mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Sastra Indonesia, Sastra Arab, beserta alumni.
Kegiatan yang berlangsung selama 90 menit di ruang AVA gedung E6 lantai II UM disajikan oleh dua pembicara andal, Berthold Damshauser, seorang pengamat sastra, pe­nerjemah, dan penyunting puisi Jerman-Indonesia, serta Agus R. Sarjono, Pemimpin Umum Jurnal Sajak, Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik, dan dosen STSI Bandung.
Seri puisi Jerman oleh Georg Trakl itu telah diluncurkan di enam tempat, yakni Wisma Jerman, Surabaya (07/09), UM (08/09), Goethe Haus, Jakarta (10/09), Gedung Indonesia Menggugat, Bandung (12/09), Pondok Pe­santren Cipasung, Tasik Malaya (14/09), dan Pendopo Kabupaten Cirebon (16/09). Seri puisi Jerman telah diterjemahkan Damshauser dan dieditori Agus R. Sarjono sejak tahun 2003. Banyak karya penyair Austria–khususnya dalam bahasa Jerman–yang telah mereka terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya karya Rainer Maria Rilke, Johann Wolfgang von Goethe, dan Friedrich Nietzsche. Namun, khusus pada peluncuran VII ini, Georg Trakl dan karyanya menjadi pilihan untuk dipersembahkan.
“Georg Trakl adalah seorang sastrawan dengan dunia­nya sendiri. Ia begitu di­kagumi banyak sas­tra­wan karena kar­ya-karyanya yang begitu simbolis dan penuh kekelaman. Ia adalah sastrawan mati muda, mati di usianya yang ke-27. Matinya pun tak wajar. Hasil otopsi menyatakan bahwa ia kelebihan dosis narkotika. Namun, banyak orang berpendapat bahwa ia depresi dan bunuh diri,” jelas Damshauser mencoba memperkenalkan Trakl.
“Ia unik. Unik sebagai penyair dan unik sebagai pribadi. Bahkan, ia merasa menjadi semacam simbol atas penderitaan manusia. Kelainan jiwa yang mungkin disebabkan karena ia terbiasa mengonsumsi obat-obatan terlarang sejak remaja membuat dunianya begitu gelap. Puisi-puisinya menunjukkan bahwa ia begitu depresi dan di­lingkari oleh setan-setan yang me­nyebabkan ia terjerumus dalam inses, berhubungan dengan adik kandungnya sendiri,” tambahnya.
“Kemungkinan-kemungkinan yang paling mengerikan kurasakan dalam diriku. Aku menciumnya, merabanya, dan aku mendengar lolong setan dalam darahku, raung seribu iblis bersengat yang menggilakan raga. Betapa menderita jiwaku.” Agus membawa penonton dalam dunia Trakl.  “Puisi ini begitu menunjukkan bahwa Trakl sangat mencintai adik perempuannya. Baginya, adiknya adalah segalanya. Perempuan paling cantik, teristimewa, dan begitu agung di matanya. Ia adalah sosok yang sangat memengaruhi tema dalam perpuisian Trakl,” lanjutnya.
Acara diakhiri dengan sesi tanya-jawab antara penyaji dan penonton. “Sejauh mana pengaruh perpuisian Trakl pada dunia nyata? Kita tahu bahwa puisi-puisinya berisi kegelapan, kegalauan, dan kekelaman jiwa. Apakah ada pengaruh psikologis yang dirasakan pembaca, misalnya telah ditemukan seorang pembaca yang depresi karena membaca karya Trakl?” tanya seorang penonton.
Damshauser mengutarakan, “Sejauh ini penikmatnya baik-baik saja. Setiap penyair mem­punyai gayanya sendiri-sendiri, begitu pula dengan Trakl. Ia mempunyai gayanya sendiri, pengikutnya sendiri, dan penikmatnya sendiri. Tentunya pembaca tidak akan ikut depresi, malah akan berpikir dan bersyukur. Ternyata, kegalauan yang kita alami masih tidak ada apa-apanya dibandingkan  apa yang dialami Trakl.”Atif