Acara tahunan BEMFA Sastra itu mengangkat tema Harmonisasi Ragam Budaya Nusantara, dengan tiga rangkaian acara yang berbeda, tetapi  tetap menawan, yakni Karnaval Budaya di Car Free Day (18/11), Talkshow Budaya Dagelan H. Topan (24/11), dan Malam Gemerlap Penuh Talenta (Magenta) Sastra di Sasana Budaya (28/11). Karnaval Budaya dilakukan dengan berkeliling di sela-sela kegiatan Car Free Day (CFD) dengan menampilkan musik tradisional dan juga Reog Ponorogo. Tema kali ini diambil atas keprihatinan mahasiswa Sastra akan lunturnya budaya Indonesia, sehingga tema itu sekaligus ingin mengapresiasi budaya yang sempat diklaim negara tetangga, Malaysia.
Acara selanjutnya adalah talkshow budaya bertajuk “Kupas Tuntas Sejarah dan Elegansi Seni Dagelan menuju Mayarakat Cerdas, Berkarakter, dan Berbudaya”. Dalam acara tersebut,  Abah Topan (begitu H. Topan akrab disapa) banyak bercerita tentang suka dukanya menjadi seorang pelawak. Ia yang berasal dari daerah Sumber Pucung, Malang, mengaku bangga dapat memeroleh kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara talkshow tersebut. Acara tersebut juga diramaikan oleh grup perkusi yang tergolong cukup baru dibentuk, yakni Jawi Musik Perkusi.
Acara puncak dari kar­naval sastra adalah  Ma­genta. Sedikit berbeda, untuk tahun ini Magenta menghadirkan Reog Pono­rogo dan mengusung suatu drama kolosal Sengketa Asmara Sekartaji Candra Kirana.  Januarispo Pratama, ketua acara Magenta Sastra berharap agar rangkaian acara BEMFA Sastra itu bisa menarik apresiasi generasi muda, berpartisipasi, dan melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia. “Jangan hanya kalau diklaim baru marah, tetapi kalau sudah dipatenkan milik Indonesia, ya harus dijaga,” ungkapnya.
Serangkaian acara yang diselenggarakan oleh BEMFA Sastra kali ini memang mendapat apresiasi positif. “Sebagai mahasiswa Sastra, saya turut bangga. Acara semacam ini memberikan wujud sumbangsih kita pada budaya Indonesia,” ungkap Hilmia Wardhani, mahasiswi Sastra Indonesia UM.Wida/Tanti