Sebagai kampus yang besar, UM memiliki berbagai sisi. Sisi-sisi itu menuai kisah-kisah tersendiri. Kisah kali ini sangat sering kita jumpai. Senyampang kita menunggu antrian untuk masuk atau keluar UM dari jalan Semarang, ada Mak Pi’ di sudut jalan yang menjajakan sayur-mayur di lapak sederhananya. Kata sederhana sebetulnya terlampau istimewa untuk menggambarkan keadaan lapak Mak Pi’ yang sesungguhnya. Kisah berikutnya adalah kisah Ibu Suratmi, yang bisa kita temui sejak matahari mulai menyeruak di ufuk timur. Dia berkeliling untuk menjajakan aneka jamu tradisional. Tak peduli terik dan hujan, Bu Suratmi mengayuh sepeda, mengangkut jamu-jamunya, mengelilingi kampus demi mendulang pundi rupiah.

Mak Pi’ si penjual sayur-mayur
Siang telah menjelang, mentari sudah setinggi tiang. Sayur-mayur mulai layu, berbagai bahan lauk pauk pun mulai menyeruak bau. Sontak mengundang giur lalat-lalat untuk berkerumun. Harapan tipis pun tersirat di mata yang senja. Mata itu berkata “Semoga hari ini terjual semua, meski dengan harga seadanya.” Di sana, di sudut kemegahan gedung kita, dengan lahan sederhana, Mak Pi’ menggantungkan nafas hidupnya. Di usianya yang telah senja, setiap pagi Mak Pi’ menghuni area 1×2 meter untuk mengais rupiah. Tempat mungil itu tepatnya berada di sudut kampus bagian timur, yakni di Jalan Semarang. Dari arah pintu keluar UM Jalan Semarang sebelah kiri, di sanalah tiap hari Mak Pi’ menjajakan dagangannya. Mulai dari sayur-mayur, lauk pauk, hingga jajanan pasar Mak Pi’ bawa dari rumah untuk dijual.
Empat puluh tahun sudah, Mak Pi’ menjajakan sayuran. Ketika muda, masih kuat setiap pagi ia menyisir jalan hingga gang-gang sempit bersama dingin pagi yang gigil hingga mentari menjadi terik. Dulu Mak Pi’ berjualan keliling di sekitar kampus UM. Mulai Jalan Ambarawa, Jalan Semarang, hingga Jalan Surabaya. Ketika itu Mak Pi’ masih tinggal di Betek, Malang. Mak Pi’ berjalan sambil menjaja dagangan. Sebagian ia jinjing, sebagian ia topang dengan kepala. Cambah 5kg, sayuran 10 kg, daging ayam 5kg, dagangan lain hingga 7 kg, ia bawa setiap hari. Sungguh berat memang, namun mak Pi’ tetap berjuang dengan semangat yang membara.
Susah senang jalan hidupnya. Sekalipun Mak Pi’ tak pernah mencicipi bangku sekolah. “Dulu ndak sekolah, Mbak, makanya ndak bisa kaya,” keluhnya sambil mengibasi lalat yang mengitari dagangan. “Repotnya, Mbak, kalau ada yang hutang terus bayarnya lama, modal ndak bisa kembali. Akhirnya rugi juga,” masih ia berbagi keluh kesah. Penghasilan Mak Pi’ makin surut ketika ia memutuskan untuk berhenti jualan keliling. Sayuran dan lauk-pauknya sering tak terjual habis. Tak jarang sisa-sisa dagangan itu membusuk dan terbuang begitu saja. “Nelangsa, Mbak, kalau sayur sama lauk ndak habis terus busuk. Sekarang saya modal seratus ribu paling kembalinya lima puluh sampai tujuh puluh ribu dalam sehari, Mbak. Untung bapak masih mbecak. Jadi ada masukan lain untuk beli obat anak saya,” katanya senyampang mata senja itu berkaca-kaca.
Ya, Mak Pi’ memiliki seorang anak lelaki yang kini berusia 45 tahun. Ketika menceritakan kisah sang anak yang menderita lumpuh, Mak Pi’ tak sanggup membendung airmatanya lagi. Jutaan tabungan Mak Pi’ terkuras habis, hingga sekarang Mak Pi’ harus pindah ke Pakisaji. Sebab tak sanggup membayar uang sewa rumah yang kian meninggi di Malang. “Anak saya itu sudah saya obatkan ke mana-mana, Mbak, habisnya juga sudah banyak. Enam tahun ndak bisa apa-apa. Saya juga ikut sakit rasanya,” ceritanya.
Selama enam tahun Mak Pi’ kelimpungan mencari tambahan uang untuk biaya pengobatan anaknya. Apapun ia taruhkan agar anaknya dapa berjalan seperti sediakala. Berbagai tempat pengobatan mulai media hingga spiritual Mak Pi’ datangi demi kesembuhan anak laki-lakinya. Dalam pencariannya itu Mak Pi’ sering ditipu orang. “Sampai sering ketipu orang mbak, dulu pernah the celup katanya punta khasiat, saya beli sampai habis jutaan, tapi ndak ada faedahnya sampai sama sekali,” jelasnya.
Dari kisahnya yang pedih, Mak Pi’ sering mengundang welas asih para pelanggannya. “Saya sering, Mbak, dibantu sama para pelanggan di sini. Mereka seperti keluarga.” Akhir-akhir ini karena dagangan sepi dan hujan turun tak bisa diprediksi, untuk menyambung hidup Mak Pi’ telah menggadaikan beberapa pakaian dan mukenah pemberian para pelanggan. Uang itu memang tak banyak, hanya 30 ribu rupiah, digunakannya untuk membeli beberapa sayuran demi keuntungan beberapa ribu rupiah. Dari tempe seharga 1800 rupiah dijualnya dengan harga 2000 rupiah saja. Namun, lebih naas nasibnya sekarang, beberapa pelanggan lebih memilih berbelanja di supermarket dan menanti mlijo daripada menghampiri kios sangat sederhananya di Jalan Semarang.Wida

Semangat, jamu, dan onthel
Pagi hampir menjelma siang. Udara sedikit menyengat saat itu, hanya saja matahari masih menampakkan keramahannya. Dari balik pintu sebuah gedung yang berlokasi di depan Koperasi Mahasiswa UM, muncul seorang wanita paruh baya. Ia lantas mencari seseorang yang sepertinya telah ia tunggu. Sunggingan senyum pun keluar tatkala ia menyadari bahwa kami tengah berjalan menghampirinya.
Dengan balutan busana ungu yang sederhana, ia berjalan keluar gedung menghampiri kami. Sederhana, kesan yang muncul begitu saja, kala melihatnya berdiri di samping onthelnya. Ya, seperti biasa, ia senantiasa ditemani sepeda onthelnya yang sangat setia, lengkap dengan berbotol-botol jamu yang diletakkan di kanan-kiri sepeda itu. Dia adalah Suratmi (52), warga Malang yang kini tinggal di Jalan Mayjend. Panjaitan. Wanita ini tak lain adalah seorang tukang jamu keliling yang telah memiliki banyak pelanggan di lingkungan kampus UM. Tak mengherankan, pasalnya, profesinya ini telah ia lakoni semenjak tahun 1975 silam.
“Saya senang dengan pekerjaan yang sekarang, langganan banyak, dan bisa sampai menguliahkan anak. Alhamdulillah sekarang anak saya sudah menjadi guru.” Ibarat pepatah, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya, begitu pula Suratmi. Menurutnya, profesi ini telah ia warisi dari ibunya. Semenjak dini, ia belajar meracik jamu dari sang ibu yang dulunya juga seorang penjual jamu. Ia pun lantas membeberkan beraneka khasiat jamu, “Jamu ini banyak manfaatnya, Mbak, beras kencur untuk batuk dan masuk angin. Kunir asem untuk melancarkan peredaran darah sama antibiotik. Kunci suruh bagus untuk penderita keputihan, menghilangkan bau badan, dan antibiotik. Butrowali untuk cuci darah dan diabetes. Nah, kalau temulawak untuk lambung, liver, dan penambah nafsu makan.”
Kegigihan dan semangatnya begitu kentara. Setiap pagi ia beranjak dari rumah sekitar pukul 06.00. Ia kayuh sepedanya menuju kampus UM dan lokasi-lokasi di sekitar kampus, seperti rumah warga dan SD. Rupanya, anak SD pun telah menjadi salah satu langganannya.
“Biasanya, jam setengah dua belas siang jamu sudah habis, tapi karena saya juga jualan makroni dan jajanan kecil, jam tiga sampai setengah empat baru habis, dan saya bisa langsung pulang. Suami pun turut andil atas profesi saya ini. Suami saya kerjanya, ya sama saya. Dia bantu-bantu ngracik jamu sampai malam. Paginya, saya yang jual,” ujarnya.
Dengan bantuan sang suami, ia telateni pekerjan yang sudah ia jalani selama 37 tahun ini. Tak banyak waktunya yang tersisa untuk istirahat. Malam hari digunakannya untuk meracik jamu demi para pelanggan setia, juga untuk penyambung hidupnya dan keluarga. Butuh waktu tiga hingga empat jam untuk menyelesaikan racikan tradisionalnya itu. Asem, kencur, dan kedawung, adalah bahan dasar yang biasa ia gunakan untuk jamunya.
Tak hanya anak-anak SD yang menjadi pelanggannya, tetapi juga para dosen, mahasiswa, karyawan kampus, hingga para kuli bangunan kampus telah akrab dengannya. Baginya, ia merasa tak perlu pindah profesi demi memperbaiki nasib. Pasalnya, langganan banyak sudah merupakan suatu kebahagiaan. “Langganan saya sudah banyak, Mbak, makanya saya senang, malah rektor-rektor yang dulu juga pernah beli jamu saya. Tapi, kalau rektor yang sekarang belum. Saya jualan di sini, Rektor UM juga sudah ganti sampai tujuh kali, Mbak,” ungkapnya. Beraneka jenis jamu ia jual dengan harga dua ribu rupiah untuk segelas jamu dan sepuluh ribu untuk sebotol jamu.
Kegigihannya lantas ia tularkan kepada anak semata wayangnya. “Anak saya dulu kuliah di Fakultas Ekonomi sambil jualan. Jamu-jamu itu ditawarkan ke teman-temannya, dosennya, malah ada juga yang suka pesen. Saya senang anak saya tidak malu jualan jamu di kampus. Walaupun jualan jamu, dia juga gak males belajar.” Usai mengenang masa empat tahun silam itu, seketika dia memperagakan ketika dulu menasihati anak semata wayangnya, “Pokoknya yang tekun, jangan malas, biar pinter terus jadi pegawai.”
Ia mengaku hampir tidak pernah mengalami duka selama berjualan jamu. Rasa senang dan semangat yang tak kunjung padam senantiasa menyelimutinya tiap kali beranjak mengais rezeki. “Kadang males, ya males, tapi walaupun hujan, ya harus semangat karena nanti kalau gak berangkat malah dicari langganan.” Baginya, para pelanggan seolah adalah satu-satunya cara untuk bisa mencukupi kebutuhan dan bertahan hidup.
Sambil meladeni pembeli yang beberapa tampak lalu-lalang datang, ia pun menceritakan keluarganya. “Saya di rumah tinggal dengan suami dan anak-cucu saya. Cucu saya sudah dua, dan masih kecil-kecil. Ya, syukur anak saya sekarang sudah jadi guru, jadi tidak seperti saya.”
Sederhana, impiannya tidak neko-neko, dengan logat Jawa yang kental ia berkomentar, “Saya cuma pengen minterno putu, ya kalo bisa nanti mereka jadi pegawai juga, jangan seperti saya.”Rima