Cerpen Lailinda Nur Jannah

Mereka datang. Mereka datang dengan tidak membawa dosa tetapi membawa koreng. Bersamaan dengan gumpal darah merah gerhana, milikku. Mereka mengencingi kepalanya hingga tak sia-sia, ia pun menangis, mirip sekali dengan sesembung. Aku pun berteriak seperti orang kesetanan. Tidak bisa berlari, tidak juga berjalan atau berhenti terdiam. Semua memantraiku seperti orang kerasukan binatang sekarat. Kuputuskan menyerang mereka agar tidak melukai bagian lehernya. Tetapi terlambat juga, mereka mulai menampar punggungnya, dan aku tidak bisa melukai mereka seperti aku melukai mereka ketika mereka lapar dan berbau bangkai lelabi dan sembodo.
“Berapa usianya?”
“Dua hari.”
“Aku sudah tua, sudah tak bisa menangkap baik petunjuk mereka,” kata dukun warga itu.
“Aku bukan kalian, atau bercita-cita memiliki budak kecil yang seperti kalian, aku ingin mati dengan budak kecilku.”
“Kami ini orang desa yang baik, tidak bisa kamu melawan roh-roh itu. Mereka akan meminta budak kecil ini.”
Tujuh hariku bergantung pada semendo, suamiku tidak juga datang. Tidak juga membawa kabar. Sedang gumpal darah itu semakin bernyawa meski dengan koreng, kutukan mereka.
Sungguh amat kusesali. Atas pernikahanku sepuluh bulan yang lalu. Andai saja waktu itu aku tak melawan ibuku dan memaksakan diri pergi ke daerah Sungai Pangelaworon, daerah milik Makekal Hilir, Jambi, aku tidak akan bertemu dengan suamiku. Aku terjebak, aku terpaksa memilih ke Jambi karena malu, tak kunjung kerja. Akhirnya aku mengikuti jejak abangku yang berasal dari Padang. Namun semuanya sirna ketika abang mati tertancap senjata milik orang-orang aneh itu. Aku dibawanya dengan tersiksa. Tidak kubayangkan juga jika orang tuaku di rumah tahu tentangku saat itu.
Tentang orang tuaku, mereka tinggal di desa penuh lontar bernama Banjarsari, Gresik. Berpijak dibawah panasnya tari-tari manis. Bertengger di atas tanah coklat matang asap pabrik. Nyaman dibuat oleh orang tuaku dan kedua adikku tetapi usik juga ternyata dibuat oleh tetanggaku.
Aku pergi tapi dengan terpaksa dan Aku mencintai mereka layaknnya aku mencintai gumpalan darah ini, gumpalan darah yang telah bernyawa tanpa bapak, atau bapak milik orang-orang aneh ini.
***
Aku mulai ketakutan ketika memasuki daerah Makekal Hulu. Terutama ketika orang-orang aneh itu memaksaku memasuki Tano Peranoon, tempat yang seharusnya dipenuhi oleh kasih sayang antara suami dan istri. Namun bukan aku yang seperti itu, karena saat itu suamiku tidak lagi bersamaku. Aku tak tahu yang telah diperbuatnya di dalam rimba. Dan ia pun tak tahu jika kandunganaku sudah berada di ujung saat itu.
Aku mengenalnya saat orang-orang aneh itu melempariku dengan api dan sesekali dengan asap daging binatang haram dari hutan. Tentang suamiku, ia bernama Gentar, usianya saat itu kira-kira 23 tahun. Ia bekerja sebagai penjagal binatang liar yang ditangkap oleh warga. Ia sangat pandai membaca mantra saat sebelum menyembelih. Sayang ia tak tahu caranya mengubur bangkai-bangkai itu dengan lebih manusiawi. Hampir tiap hari ia biarkan bangkai lelabi, sembodo dan sesembung tergeletak di sana-sini. Saat itu aku membantunya membereskan semua bangkai-bangkai itu. Aku hanya bisa membuka mata dan menelan tanah rasa terik yang berebutan masuk ke dalam hutan ketika bersama dengan Gentar. Gentarlah yang mengulurkan tangannya padaku saat itu. Ia memberiku nama Soke Ninik. Aku merasa asing dengan nama itu tapi tak apalah.
Ia benar-benar terlihat perkasa saat di depanku dan saat nafasnya bersatu dengan nafasku. Aku terpeleset dan kami harus menikah. Dalam pernikahanku ada yang menekannya dari belakang, melototi kepala Gentar dan memojokkan hati Gentar. Aku memeluknya tapi ia semakin ketakutan. Ia adalah istri Gentar, istri yang baru kuketahui ketika gerhana muncul. Ia adalah wanita cantik yang mendapatkan kutukan dari roh-roh itu, karena tak memiliki putra, sedang Gentar meskipun masih muda, ia sangat disegani orang-orang. Sayang ia tak pandai membaca pikiran orang. Ia sangat lugu. Gentar mau-mau saja dinikahkan dengan seorang putri Tumenggung. Salah satu kelompok di Makekal Hilir.
Saat usia pernikahan kami sudah melewati satu bulan, perutku membuncit dan tentang istri Gentar sering terlihat membawa tulang bekas bangkai kering milik sesembung yang disembelih Gentar, bentuknya runcing seperti pisau. Tubuhku pun bergejolak, saat melihatku, tulang rusuk dekat rahimku pun sering bergetar ketika menatapnya. Pernah sesekali ia mencoba membunuhku, tapi tak berhasil lantaran Gentar yang selalu menguatkan hati perempuan itu.
Gentar Gentar Gentar!” Aku tergopoh membawa darahku yang berusia delapan bulan bercucuran, sambil memanggilnya. Aku melihat darah itu menertawakanku, sambil menghina-hinaku. Tetapi mereka jatuh dan menjauh dariku. Mereka bukan darahku. Mereka darah milik sesembung yang tadi siang disembelih Gentar.
Tiba-tiba istri Gentar tertawa keras meskipun ia dalam kurungan. Heran kenapa ia dikurung dan orang-orang desa melingkarinya. Heran pula mengapa ia tertawa ketika aku keluar. Kayu itu, kayu pantangan untukku perempuan sepertiku. Tidakkk! Putraku? Aku terkapar. Aku menginjak kayu pembeyehon.
Aku menemukan orang-orang aneh membicarakanku. Sedang teriakan dukun warga yang sedang menanyai kejadian di dalam rumahku pada istri Gentar, telah membangunkanku.
Kata orang Gentar berlari kehutanan, setelah istrinya membaca mantra larangan. Gentar mengira darah dagingku dimakan sesembung yang lepas ke hutan dan hingga sekarang ia tak kembali lagi.
***
Kini aku lebih mengenal Gentar lewat budak kecilku yang sudah dewasa, tanpa ditemani koreng kutukan itu. Juga tanpa mantra-mantra aneh dari mereka. Ia besar dalam dekapanku. Bukan dekapan api, mantra dan sesembung. Di Tano Peranon semua telah dijelaskan jika aku orang asing, tak perlu mengenal mereka, bahasa mereka, dan tatakrama mereka. Mereka tertunduk sambil sesekali mendoakanku. Mereka menyayangiku lewat cara mereka dan aku menghargai mereka sebagai orang baik. Budak kecilku bernama Jenong. Jauh dari istri Gentar dan jauh pula dari Gentar. Aku sudah menelan pil pahit yang tidak akan kutemukan sebelum aku di Jambi. Maka pil pahit ini ternyata obat bagiku. Sekarang aku mengenal yang bernama bahagia yang sebenarnya. Jenong sangat pandai seperti Gentar dan ia sangat mengenalku sebagai manusia, ibunya.
Suatu ketika, Jenong berburu dengan kawannya agak jauh dari rumah. Ia meninggalkan rumah dan kampung, ia mulai mengenal hutan dan rimba. Jenong berlari ke arah Makekal Hulu, tempat Tano Peranon miliknya dulu. Hingga malam pun ia tak pulang. Aku mulai gelisah dan sesegera aku berlari ke rumah dukun. Kata dukun warga Jenong sedang melihat dua orang tinggal di sana dan ia sedang kesetanan. Kata dukun dua orang itu Gentar dan istrinya. Banyak sekali dukun itu bercerita tentang kisah dua orang itu.Dari cerita dukun itu, baru kusadari jika istri Gentar sangat mencintai Gentar, tapi tak tahu bagaimana caranya. Sedang Gentar sangat mencintainya tapi tak sadar ia, karena kini mereka kerasukan binatang-binatang sembelihannya yang jauh dari mantra dukun. Gentar pandai tetapi terlalu luluh hatinya, dan aku sangat mengenalnya hanya sebagai ayah Jenong.
Catatan:
Tano Peranoon: lokasi untuk melahirkan bagi orang Rima, Jambi
sesembung: binatang yang ditangkap untuk dijadikan lauk ketika di hutan
lelabi dan sembodo: hewan yang tidak boleh ditangkap dari belakang ketika ibu hamil
semendo: mertua
pembeyehon: kayu kering/mati yang tidak boleh dilewati perempuan hamil
Penulis adalah mahasiswa Bahasa Indonesia. Bergiat di UKM Penulis dan FLP UM. Cerpen ini juara II kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2012.