Oleh Elyda K. Rara

Sebait tembang “Asmaradhana” tersebut  menjadi gambaran singkat kisah klasik Jawa Timur yang diangkat oleh beberapa pecinta seni teater tradisi dari UM ke Karanganyar Jawa Tengah, tepatnya di Candi Cetho. Bukan semata-mata tanpa alasan mengapa kami jauh-jauh menempuh perjalanan di akhir tahun dari Malang ke Karanganyar. Hal itu karena sang sutradara seolah telah termanterai oleh eksotika Candi Cetho dan memutuskan untuk membawa tim produksi ke sana. Mewujudlah proyek teater sinema Suara Hati Angraini yang menguar elegi cinta Panji Inukertapati dan Angraini.
Dengan dimotori oleh Bapak Karkono Supadi Putra (dosen Sastra Indonesia yang menjadi sutradara film ini), berangkatlah saya, yang memainkan tokoh Angraini, bersama sembilan aktor lainnya (Willyawan, Aik, Fathony, Christyan, Bahauddin, Ulinnuha, Sandy, Handi, dan Hisyam), para mahasiswa UM dari berbagai jurusan. Bertolak pada pukul 22:30 WIB pada 20 Desember 2012 dari Malang, kami berhenti di depan UNS esok harinya pada pukul 04:30 WIB untuk melanjutkan perjalanan menuju Candi Cetho yang berada di lereng barat Gunung Lawu. Dengan suasana langit yang tak lagi mau menggulita, mata kami pun menjadi segar dengan pemandangan kota Surakarta yang cukup lengang dan bersih. Kekaguman kami akan keindahan pemandangan tersebut terjelaskan dengan adanya piala Adipura yang bercokol agung di tengah kota. Kekaguman kami pun semakin bertambah tatkala kami mulai melewati hamparan Kebun Teh Kemuning yang menjamuri lereng Gunung Lawu.
Tidak mudah rute yang harus kami tempuh dalam perayapan menuju lereng Gunung Lawu meski dengan mobil. Dengan rute jalan yang berkelak-kelok dan menanjak, mesin mobil yang membawa kami sempat mati karena tidak kuat membawa kami semua. Akhirnya kami pun harus turun dan berjalan kaki melanjutkan perjalanan menuju gerbang Candi Cetho yang sudah berjarak sekitar 100 meter. Bukan lelah yang menggelayut girang kala kami menapaki jalan menanjak menuju lokasi, tapi rasa takjub akan panorama indah di depan kami, membuat sulitnya perjalanan ini menjadi terbayarkan. Bagaimana tidak, kami seolah berada di ambang batas antara langit dan bumi. Sejajar dengan mata kami, awan-awan yang memayungi bumi dari kejauhan terus bergerak. Di bawah kami, terhampar pemandangan kota Surakarta yang tampak begitu kecil. “Ah, janganlah terlalu lama terbuai pesona alam. Ada urusan yang sudah teramat menunggu kita, teman-teman!”

Antara pura, gapura, dan action!
Meskipun gerbang masuk Candi Cetho sudah dibuka, kami tak lantas segera masuk. Kami masih harus mempersiapkan riasan dan kostum secara lengkap dan mandiri di penginapan yang telah disewa tepat di depan gerbang. Urusan tata rias dan kostum sendiri bukan urusan yang mudah. Detail dan penyesuaian dengan karakter tokoh harus benar-benar diperhatikan. Irah-irahan, sumping, mekak, sampai sampur harus terpasang dengan benar. Akhirnya, setelah kurang lebih tiga jam waktu merambat, syuting hari pertama pun dimulai.
Lokasi yang pertama kali kami pakai adalah di depan salah satu pura yang ada pada teras ketiga dari puncak candi. Pura tersebut bukanlah pura yang besar, tetapi terlihat cukup sakral. Tampak sisa dupa-dupa yang baru dibakar dan bunga beberapa rupa yang telah mengering sebagai sesaji di depan arca. Dengan tanpa bermaksud untuk merusak kesakralan tempat pemujaan ini, kami pun memulai syuting, mewujud peristiwa Angraini yang tengah meletakkan sesaji, kemudian didatangi ayahnya yang sedang membawa perintah pahit dari Lembu Amiluhur, ayah Panji Inukertapati. Action!
Syuting terus berlanjut. Berpindah satu teras ke bawah, di muka undakan, di tengah jalan yang memisahkan dua pendapa tua nan kokoh. Kali ini giliran pemeran Lembu Amiluhur, permaisuri, dan saya sendiri yang harus berakting di antara pengunjung yang mencuri pandang penasaran. Karena hari sudah semakin siang,  beberapa pemain yang tidak sedang berakting harus bergantian mengamankan area sekitar lokasi ini dari para pengunjung yang sudah mulai berdatangan, baik untuk sekadar berplesir maupun untuk keperluan ziarah spiritual. Dari tempat ini, rangkaian pengambilan gambar pun dilanjutkan dengan meloncat dua teras, persis di bawah pura utama di puncak candi yang tidak sembarang orang bisa masuk ke sana kecuali untuk keperluan ibadah. Tempat yang kami ambil adalah sebuah balai kecil yang menghadap ke pura dengan arca falusnya. Di Candi Cetho ini sendiri ada beberapa arca berwujud falus dan vagina yang melambang penciptaan.
Setelah beberapa scene diambil di teras ini, syuting pun terus mengalir ke teras bawah. Memakai suasana di sekitar gapura, rumah-rumah kecil yang semuanya dikunci, hingga akhirnya ditutup dengan pengambilan gambar di salah satu pendapa. Pada saat itu senja benar-benar telah turun. Jadilah akhirnya peristiwa Panji Inukertapati yang memutuskan untuk menolak mentah-mentah perintah ayahnya demi tetap bersama perempuan yang dicintainya menjadi semakin suram. Hal ini karena tidak ada lighting yang kami pakai, pencahayaan benar-benar murni memakai cahaya matahari, bahkan hingga cahayanya mulai memerah saga dan mengakhir sejenak mendengar udara mengabar pucat kisah cinta Panji Inukertapati dan Angraini. Hujan mulai memainkan mata airnya.

Seputar Puri Taman Saraswati
Sekali lagi matahari telah menindih malam dengan pandang terangnya. Kisah cinta Panji Inukertapati dan Angraini pun siap kembali digelar. Kala itu lokasi yang kami ambil adalah di sekitar Puri Taman Saraswati. Sebuah tempat yang tergelar di sisi belakang Candi Cetho. Namun sebelum menuju tempat tersebut, sepasang kekasih yang namanya paling sering dibincangkan dalam amarah dan iba ini masih harus menguar kisah di hutan sekitar puri. Mereka mesti berjalan-jalan penuh candu canda di hutan yang dikelilingi pohon pinus sampai daun pucuk merah itu, kemudian saling mengabar gelisah.
Setelah menuntaskan pengambilan gambar di hutan, barulah selanjutnya di Puri Taman Saraswati. Di tempat ini menjulang tinggi dan indah patung Dewi Saraswati yang bertangan empat dan sedang membawa salah satu alat musik pada salah satu tangannya. Patung Dewi Saraswati ini sendiri juga dijadikan sarana pemujaan, tampak dari beberapa sisa sesaji di depan patung. Di samping kiri patung inilah pengambilan gambar dilakukan. Saat itu kamera tengah merekam murka sang penguasa kerajaan Kediri, prabu Lembu Amiluhur, atas pernikahan diam-diam Panji Inukertapati dan Angraini yang telah terbongkar. Suasana begitu beku karena terlampau berat menahan gelisah. Hingga akhirnya pecahlah ia dengan titah sang penguasa kepada salah satu patihnya untuk membunuh Angraini. Tanpa diduga sang patih menolak dan memutuskan untuk pergi dari hadapan rajanya. Patih itu adalah ayah kandung Angraini. Sang raja telah menyuruh seorang bapak untuk membunuh anaknya.
Syuting terus berlanjut sampai kemudian berpindah ke tempat pemujaan berornamen Bali di sisi kiri Puri Taman Saraswati. Di atas bangunan itu lagi-lagi dapat ditemukan patung berbentuk falus yang mulai tertutupi oleh tanaman-tanaman ranggas. Di pelataran depan tempat itu kamera tengah merekam moksa bahtera yang membalada kisah cinta Panji Inukertapati dan Angraini selamanya. Angin pun bergerak cukup tergesa-gesa.
Ada lagi satu tempat menarik yang ada di sekitar puri, tetapi tidak turut mengawal kisah Panji Inukertapati dan Angraini ini, sebuah sendang yang cukup disucikan dan dipagari melingkar. Angin dan suasana di dalam sendang itu cukup tenang. Rupanya sendang itu sendiri dipakai untuk ritual karena ada beberapa sesaji di depannya. Selain itu tampak pula kilau perak koin-koin yang berserakan di dalam air sendang. Mirip dengan salah satu air mancur di Italia yang juga menawan berkeping-keping koin perak. Bonita!

Menjemput senja yang meruwat luka
Sudah saatnya kamera merekam balada terakhir dalam perjalanan dua harinya. Saat itu langit kembali memerah saga, tetapi lebih menyala dari hari sebelumnya. Di bawah panorama itu tampak Panji Inukertapati sedang berbicara penuh bahagia dengan Angraini yang begitu beku. Sementara itu, tak jauh dari mereka sang permaisuri sedang menangis getir dengan diapit oleh Lembu Amiluhur dan Brajanata. Keduanya juga tampak sedih. Perlahan, sang permaisuri mendekati dan berusaha membalik kabar pada putra yang begitu dikasihinya. Hingga akhirnya saat menatap wajah ibunya yang begitu sedih karenanya, ia mulai paham bahwa hidupnya tak lagi sama seperti dulu. Kisahnya yang akan terus berjalan adalah kisahnya sendiri, tanpa seseorang yang sempat memegang tangannya.
Senja itu perjalanan kami semua telah purna. Sudah saatnya keluarga Panji Inukertapati dan Angraini kembali ke Malang. Kembali menjadi sosok-sosok asli yang telah selama dua hari terbungkus jiwa-jiwa yang telah lama pergi. Sudah saatnya mengemasi barang-barang. Dan sudah saatnya mempersiapkan pergelaran teater sinema Suara Hati Angraini di Malang.
Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia, menjadi penulis skenario
teater sinema Suara Hati Angraini,
dan bergiat di komunitas seni Ranggawarsita