Mereka masih terbilang muda. Mereka berjuang dan melawan segala keterbatasan. Mengarungi sungai-sungai dan menyusuri hutan rimba. Meninggalkan hiruk pikuk kota dengan segala gemerlapnya. Menghuni belantara asing ratusan kilo jauh Ayah Bunda. Mereka perjuangkan mimpi-mimpi anak pinggiran. Bagi anak-anak bangsa yang perlu perhatian itu mereka adalah cahaya kehidupan. Bagi masyarakat di daerah tertinggal itu kehadiran mereka seperti pahlawan. Mereka dicintai, dihormati, dan dikasihi. Sebab pada merekalah mimpi-mimpi pribumi terpencil dan tertinggal itu digantungkan. Mimpi untuk mendapatkan hak yang sama dengan rakyat Indonesia lainnya. Mimpi untuk dapat meggapai cita-cita mereka dengan pendidikan yang layak dan berkualitas.
“Jangan bertanya apa yang Negara berikan padamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan untuk negaramu.” tersebut dikutip dari dialog dalam film Tanah Surga… Katanya karya Deddy Mizwar. Kisah berikut menjadi sebuah bukti bahwa masih ada generasi penerus di negara ini yang sadar mengabdi, yang mencintai negeri ini lebih dari sebuah janji.
“Demi sebuah pengalaman.” Hal itulah yang mendasari Mochammad Ilyas Al Rochim atau yang akrab disapa Ilyas hijrah ke Kalimantan, tepatnya di daerah Nunukan. Terhitung sejak Agustus lalu, Ilyas resmi dinyatakan sebagai staf pengajar di Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). SM3T sendiri merupakan program yang dicanangkan pemerintah guna memajukan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Melalui program itu, Ilyas kini memperoleh pengalaman hidup yang takkan dapat dihitung nilainya.
Berawal dari keinginan Sang Ayah, Ilyas kemudian memantapkan hati mengikuti program SM3T. Ego disingsingkannya guna membulatkan tekad mengabdi pada bangsa. Jarak yang tak dekat ia tempuh demi membanggakan kedua orang tua. Tahap demi tahap seleksi ia lalui penuh percaya diri dan semangat membara dalam hati. Meski ketika itu Ilyas sedang menempuh ujian skripsi ia tetap mempersiapkan segala materi seleksi sebaik mungkin. Tak jarang kadang optimisme itu surut, namun ia tahu bahwa tujuan mulianya harus betul-betul diraih. “Saya ikut seleksi di gedung Fisika. Saat itu juga bersamaan dengan ujian skripsi. Jadi lumayan susah ngaturnya. Namun, semua itu bisa saya lewati. Saya urutkan sesuai dengan urutan jadwalnya,” tutur lelaki asli Bumi Arema yang tinggal di Jalan Cempaka Putih Blok X/2 Arjowinangun Malang tersebut.
Jauh dari hingar-bingar kota menjadikan perjuangan untuk mencerdaskan bangsa terasa lebih sukar. Segalanya menjadi terbatas. Mulai dari sarana, prasarana, dan karakter siswa, sangat berbeda dengan keadaan di kota. Gedung sekolahnya sangat sederhana. Pun dengan siswa dan guru-gurunya. Padahal wilayah tempat Ilyas ditugaskan masih tergolong kota.
“Wilayah yang masih terbilang kota ini, untuk menempuhnya cukup sulit,” kata Ilyas  ketika diwawancarai. Daerah tempatnya mengajar dapat ditempuh melalui dua jalur, yakni jalur sungai dan darat. Keduanya sama-sama sulit dan berisiko. Jalur sungai ditempuhnya dengan waktu 2,5 jam menggunakan speedboat. Jangan disangka speedboat itu asik  seperti di Pantai Kuta. Speedboat itu harus diisi oleh sepuluh penumpang beserta barang-barang yang mereka bawa. Alhasil, speedboat itu menjadi penuh sesak.
“Yang membuat ngeri adalah sungai yang harus dilewati itu banyak buayanya,” tambahnya. Ilyas sempat merasa ketakutan ketika pengemudi  menyuruhnya duduk di depan atau bergeser tempat. “Selama perjalanan sempat beberapa kali sama sopir speedboat itu disuruh duduk di depan perahu. Gimana nggak takut jatuh, Mbak. Padahal waktu pindah ke belakang, kemudian ke depan, itu perahu dalam posisi masih jalan,” papar Ilyas terkait pengalaman menariknya.
Usai mengarungi sungai berbuaya, untuk mencapai tempat dinas harus ditempuh perjalanan darat sekitar tiga jam. “Di sana masih mending, malah ada teman di Kupang yang jauh lebih terpencil daerahnya. Ketika liburan semester, saya main ke sana. Di sana listrik dijatah. Sinyal juga jarang ada,” papar lelaki yang saat ini berusia 28 tahun itu.
Dalam kesehariannya sebagai pengajar, suka duka Ilyas rasakan. Kedukaan paling mendalam adalah saat ia menyaksikan muridnya mabuk ketika sekolah. Pernah juga ia memergoki murid yang tengah taruhan ketika bermain volly. Perasaanya kian miris dihadapkan dengan kenyataan demikian. Masa depan bangsa sempat ia pertanyakan. Namun hal semacam itu ia yakini harus dihentikan. Sebagai solusi Ilyas mengambil tindakan tegas mulai menegur hingga melaporkannya lansung ke pihak tata tertib dan kepala sekolah.
Cerita lainnya datang dari Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Seorang mahasiswa alumnus UM Jurusan Kimia, Arum Setyaningsih, kini tengah mengabdikan diri kepada mereka yang tinggal di daerah terbelakang, kepada mereka yang membutuhkan dan haus akan perhatian, utamanya dalam bidang pendidikan.
Arum menceritakan kisah yang membuatnya mengabdi di Kecamatan Sebuku. “Awalnya saya tertarik ikut SM3T dari membaca informasi di internet iseng-iseng, dan lagi ada kakak tingkat yang ikut program ini. Dia banyak cerita tentang kondisi pendidikan di daerah 3T. Kemudian yang membuat saya tertarik dengan daerah 3T, di sana daerah baru dengan kondisi geografis dan budaya yang berbeda dengan kondisi di Jawa. Kondisi inilah yang juga mempengaruhi pandangan masyarakat tentang pendidikan. Nah, di situlah pasti ada pengalaman baru yang bisa kita pelajari dan kita bisa berbagi ilmu yang kita miliki. Seru pokoknya ikut SM3T ini. Pengalaman yang kita dapat bener-bener ndak ada duanya. Kalau mau bayangin lokasiku, tugas itu mirip dengan film Tanah Surga… Katanya.”
Namun, semua yang telah ia dapatkan kini tidaklah terlepas dari proses dan perjuangan. Ia  melanjutkan kisahnya, “Awal pendaftaran SM3T itu sekitar bulan Juli. Di sana kita daftar online untuk mengisi formulir yang meliputi identitas, nomor ijazah, transkrip, untuk seleksi administrasi. Setelah lolos seleksi administrasi, kita ada seleksi tes online, kemudian ada tes potensi akademik yang meliputi tes kemampuan dasar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika. Nah, kemudian berlanjut ke tes bidang studi. Ya, jadi karena aku Jurusan Kimia, mata pelajaran yang diteskan juga nggak terlepas dari jurusanku. Terakhir, ada wawancara. Untuk wawancara bertempat di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penyelenggara (LPTK) masing-masing.”
Ketika para calon telah dinyatakan lulus, mereka wajib mengikuti tahap prakondisi. “Inilah awal mula pengalaman seru. Ada yang namanya prakondisi,” pungkas Arum.
Semua proses dan perjuangan yang telah Arum lewati tidak terlepas dari dukungan dari orang-orang di sekitarnya yang selama ini membuatnya mampu melewati proses hingga akhirnya berada di Kalimantan Untara. “Aku memang pengen ikut setelah mendengar cerita SM3T dari temanku angkatan I. Di samping itu, cerita dalam novel Laskar Pelangi sama Habibi-Ainun jugalah yang menginspirasiku,” ujarnya.
Keberadaannya di Kalimantan Utara juga tidak terlepas dari peran pihak kampus. Arum mengungkap, ada bantuan berupa biaya transportasi. Keberadaan para peserta SM3T di tempat tugas itu secara keseluruhan didanai oleh Dikti karena program tersebut memang seperti beasiswa. Menurut Arum, total kontrak berlangsung selama dua tahun. Satu tahun mengabdi di tempat tugas dan satu tahun sisanya mengikuti Program Profesi Guru (PPG). Adapun inti dari SM3T adalah membantu pemerintah untuk mengatasi masalah pendidikan, terutama kekurangan tenaga pendidik di daerah 3T.
Pada akhir wawancara, Arum berkomentar, “Melalui program SM3T ini, kita sebagai generasi penerus bangsa berarti juga melanjutkan perjuangan bangsa untuk mencerdaskan bangsa. Buat teman-teman mahasiswa yang mau mengikuti SM3T, yang paling perlu disiapkan adalah kesungguhan niat karena semuanya berawal dari niat.”
Kedatangan peserta SM3T, rupa-rupanya  cukup memberikan perubahan bagi para siswa di daerah 3T tersebut. “Ada sebuah pengalaman lucu ketika saya ngajar kelas XI, ada anak yang awalnya malu-malu kan mau tanya, dia bilang nggak bisa hitung-hitungan pecahan desimal. Nah, setelah itu saya ajarin dia, dan sekarang dia sudah mulai tertarik sama hitungan.” Ia melanjutkan, “sebenarnya keaktifan siswa di kelas itu sendiri juga bergantung sama gurunya. Alhamdulillah siswa saya bisa mengikuti pelajaran dengan aktif,” ungkap Arum.
Beragam perbedaan masalah pendidikan ia rasakan selama berada di sana. seperti halnya masalah jaringan dan yang paling utama kurangnya pengajar yang berkompeten. Adakalanya siswa banyak, namun jumlah guru pengajar minim. Namun, tak jarang pula terjadi kondisi yang berkebalikan.
Kedua kisah itu menandakan telah dibangunnya iklim yang baik di dunia pendidikan. Lahan bagi kita untuk mengabdikan diri pun makin terbuka lebar. Rima/Wida