Sebagai sebuah disiplin ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, sastra dengan ketiga genrenya harusnya menjadi matapelajaran yang khatam sebelum masuk ke Perguruan Tinggi. Khatam dalam konteks ini dimaksudkan menjadi matapelajaran yang tuntas diajarkan para pendidik dan diapresiasi dengan baik oleh para siswa. Namun, apa yang terjadi?
Berdasar dari Catatan Kebudayaan yang ditulis oleh Taufiq Ismail bulan Juni 2013 yang lalu, ternyata ada fenomena siswa hanya menulis satu karangan dan membaca nol karya sastra ketika di SMA. Tidak hanya itu, dalam buku paket Bahasa Indonesia siswa kelas X untuk kurikulum 2013 ini hanya menyebut dua kali kata “sastra”. Itu berarti apa? Sastra kurang mendapat perlakuan yang layak dalam dunia pendidikan di Indonesia!
Banyak alasan yang telah dilontarkan oleh para pendidik dan siswa mengapa sastra demikian sulitnya mendapatkan hati di sekolah-sekolah. Mulai dari lebih pentingnya mengajarkan tatabahasa, perlu waktu lama untuk mengajarkan tiga genre sastra (terutama drama), sampai konon katanya sulit mengajarkan dan belajar sastra. Segala alasan tersebut sebenarnya bisa saja terbantahkan dengan sebuah teknik yang tepat dari para pendidik untuk mengajarkan sastra dengan menyenangkan. Ada banyak teknik yang bisa dilaksanakan, dan salah satunya adalah mengajarkannya dalam sebuah penggarapan drama. Drama? Ya, benar!
Umumnya jarang para pendidik, lebih khususnya pendidik sastra, yang mengedepankan drama dibandingkan dengan dua genre sastra lain, prosa dan puisi. Padahal sebenarnya dalam drama mengandung unsur seni yang kompleks. Bahkan prosa dan puisi pun bisa masuk dalam sebuah pertunjukan drama. Dengan memakai sebuah penggarapan drama sebenarnya para pendidik sastra bisa menghadirkan tiga genre sastra sekaligus. Namun, penugasan penggarapan drama di sini bukan berarti para pendidik hanya cukup menugaskan para siswanya untuk membuat sebuah naskah kemudian dipentaskan pada pertemuan ke sekian, dan dalam prosesnya guru meninggalkan kelas dengan dalih memberikan kebebasan bagi para siswa untuk berlatih. Tidak!
Bagaimana pun juga mereka para siswa ini bukan aktor setingkat Teater Mandiri yang bisa dengan mandirinya memproses sebuah produksi drama. Mereka masih memerlukan kemahiran para pendidik untuk memberi arahan bagaimana bermain drama yang ideal. Itu berarti para pendidik ini harus multitalenta (tidak saja bisa mengajarkan tatabahasa atau menulis nonfiksi, tapi juga menulis prosa, puisi, drama, dan bermain drama)? Oh, tentu saja! Bukankah dalam kuliah sudah dibekali tiga genre ini? Haram hukumnya para pengajar sastra ini hanya menguasai setengah-setengah saja ketiga genre sastra tersebut. Ketika sudah tidak ada lagi alasan para pendidik tidak bisa melaksanakan pembelajaran drama, maka langkah selanjutnya adalah mengoptimalkan pemakaian metode ini.
Menggarap sebuah drama bisa bermula dari sebuah cerpen, nukilan novel, atau puisi yang diadaptasi dalam sebuah naskah drama. Atau bisa jadi langsung membuat naskah drama dari ide yang ada. Ini bergantung dari tujuan yang ingin dicapai para pendidik, sebagai contoh adalah siswa mampu mengapresiasi puisi menjadi sebuah pertunjukan drama. Ketika naskah sudah siap, maka tidak berarti latihan siap dilakukan. Para pendidik bisa mengarahkan para siswanya untuk melakukan bedah naskah. Dalam kegiatan ini para siswa tidak saja diberi ruang untuk kritis menanggapi kelebihan atau kekurangan struktur naskah, tetapi mereka juga bisa mengkritisi kesalahan tatabahasa yang ada. Setelah itu pun mereka bisa menuliskannya dalam sebuah opini atau esai.
Naskah hasil pembedahan para siswa tersebut selanjutnya bisa dipakai untuk berproses. Namun, sebelum berproses, para pendidik harus memberikan dasar-dasar olah gerak, vokal, dan sukma bagi para siswa. Ini sangat penting karena bisa menjadi bekal bagi para siswa untuk berdialog, bergerak, berekspresi, dan menjaga konsentrasi saat nantinya mereka bermain. Para pendidik juga bisa menunjukkan video-video pementasan drama kelompok-kelompok teater besar sebagai contoh atau motivasi bagi para siswa untuk bermain drama dengan ideal. Dalam proses ini, para pendidik sekaligus bisa mengajarkan cara membaca puisi yang baik.
Ketika berproses penting bagi para pendidik untuk tetap mengawasi dan memberi masukan-masukan. Memang tidak perlu terus-menerus, tetapi ketika ada teknik-teknik yang bisa dikoreksi, para pendidik bisa melakukannya.
Saat pentas pertunjukannya sudah siap dan saatnya dilangsungkan, para pendidik juga bisa mengarahkan kepada para siswa untuk bersiap mengumpulkan bahan apresiasi dan kritik atas karya yang akan ditampilkan dan didiskusikan setelah pertunjukan selesai. Diskusi atau sarasehan setelah pertunjukan penting dilaksanakan di sekolah-sekolah karena menjadi salah satu proses pembelajaran yang ideal bagi siswa. Hasil dari diskusi ini pun lagi-lagi masih bisa dijadikan bahan untuk membuat tulisan.
Dari kompleksitas yang terjadi pada keseluruhan proses ini, ada banyak hal yang sekaligus bisa diajarkan oleh para pendidik dan dikerjakan oleh para siswa. Mulai dari menulis karya (prosa, puisi, dan drama), menggubah karya, mengoreksi karya (dari unsur kesastraan atau tatabahasa), menyampaikan pendapat, berdiskusi, mengapresiasi, menulis kritik karya, membaca puisi, berdialog atau bermonolog, berakting, sampai belajar sastra dari referensi-referensi yang sangat melimpah. Drama sendiri bisa menjadi sarana yang sangat efektif untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik sosial, moral, pendidikan, dan sebagainya yang bisa mendukung kekritisan siswa.
Maka jika dikatakan bahwa membuat pertunjukan drama memerlukan proses yang cukup kompleks dan panjang, memang benar. Tapi proses kompleks tersebut tidak akan terasa berat karena dijalankan dalam kemasan penggarapan drama yang sangat memungkinkan dibuat demikian menyenangkan.
Dengan beberapa pertimbangan ini semoga para pendidik tidak akan menghindari atau malas lagi untuk mengadakan pembelajaran drama. Dan dengan pendidik yang bisa begitu kreatif dan menyenangkan dalam menyelenggarakan pembelajaran tersebut, siswa pasti akan bersemangat saat menjalaninya. Pada akhirnya, semoga akan banyak siswa yang menaruh hati pada pelajaran sastra! Oleh Elyda K. Rara
Penulis adalah alumnus
Sastra Indonesia, pegiat Komunitas
Seni Ranggawarsita, dan pembina teater SMA Negeri 1 Lawang.