Indonesia bukan pulau kecil yang hanya mempunyai Jakarta dan kehidupan modernnya. Indonesia memiliki banyak pulau dengan keragaman suku bangsa dan penduduk yang heterogen. Saat ini Indonesia sedang mengalami sebuah kebimbangan. Satu kaki sudah berpijak pada kehidupan modern, tetapi sebelah kakinya masih memijak kehidupan masa lalu yang masih kental akan kepercayaan, mitos-mitos, dan tradisi. Hal tersebut membuat banyak sekali muncul problematika sosial kultural di masyarakat.
Keragaman problematika sosial kultural tersebut selalu menjadi daya tarik tersendiri untuk diangkat menjadi sebuah cerpen. Tidak perlu harus menerjemahkan problem masyarakat secara keseluruhan, cukup diambil bagian kecil dari kehidupan sosial budaya masyarakatnya, tetapi dikemas dengan memesona. Antologi Cerpen Pilihan Kompas 2012: Laki-laki Pemanggul Goni menawarkan keberagaman problem masyarakat tersebut sehingga pembaca yang heterogen tidak merasa terdiskriminasi.
Dalam antologi cerpen ini menampilkan dua puluh kisah yang memukau dan sangat kaya tafsir, yaitu “Laki-laki Pemanggul Goni” karya Budi Darma, “Mayat yang Mengambang di Danau” karya Seno Gumira Ajidarma, “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal, “Requiem Kunang-kunang” karya Agus Noor, “Batu Asah dari Benua Australia” karya Martin Aleida, “Pemanggil Bidadari” karya Noviana Kusumawardhani, “Ambe Masih Sakit” karya Emil Amir, “Renjana” karya Dwicipta, “Lengtu Lengmua” karya Triyanto Triwikromo, “Wajah Itu Membayang di Piring Bubur” karya Indra Tranggono, “Nyai Sobir” karya A. Musthofa Bisri, “Bu Geni di Bulan Desember” karya Arswendo Atmowiloto, “Jack dan Bidadari” karya Linda Christanty, “Perempuan Balian” karya Sandi Firly, “Dua Wajah Ibu” karya Guntur Alam, “Sepasang Sosok yang Menunggu” karya Norman Erikson Pasaribu, “Mayat di Simpang Jalan” karya Komang Adnyana, “Sang Petruk” karya GM Sudarta, “Kurma Kiai Karnawi” karya Agus Noor, “Angin Kita” karya Dewi Ria Utami.
Dalam cerpen “Wajah Itu Membayang di Piring Bubur” karya Indra Tranggono ditunjukkan bagaimana masyarakat desa mulai diperkenalkan dan diisolasi dengan modernisasi pasar yang menjadi tumpuan hidup Murwad sebagai penyapu pasar. Di samping menceritakan tentang modernisasi yang dilakukan pada Pasar Kliwon yang akan menjadi Kliwon Plaza, penulis juga menceritakan tentang genderuwo yang menghuni pasar Kliwon tersebut.
Dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember” karya Arswendo Atmowiloto, diceritakan bagaimana tradisi budaya masyarakat tentang perkawinan. Walaupun saat ini sudah banyak muncul salon-salon modern, tetapi masyarakat tetap mempercayakan riasan pengantin kepada juru rias yang menggunakan segala ritual dan jampi-jampinya agar calon pengantin mangling di pelaminan.Cerita tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat kita masih terombang-ambing di antara kemodernitasan dan tradisi yang sudah ditanamkan sejak kecil.
Mitos-mitos yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan kuat dikisahkan dalam “Pohon Hayat” karya Mashdar Zainal. Cerpen ini menceritakan sebuh mitos yang diceritakan oleh seorang nenek kepada cucunya dan dipercaya hingga ia dewasa. Mitos tersebut tentang sebuah pohon besar yang tumbuh di alun-alun. Daun yang tumbuh di pohon tersebut merepresentasikan setiap orang yang tinggal di kota tersebut. Jika daunnya gugur, berarti salah seorang warga kota tersebut akan meninggal, dan jika ada tunas daun baru tumbuh, berarti ada seorang bayi yang lahir.
Tidak berbeda dengan cerpen “Pemanggil Bidadari” karya Noviana Kusumawardhani, juga bercerita tentang seorang nenek yang menceritakan mitos jika ada sebuah ritual yang dinamakan memanggil bidadari. Dengan memanggil bidadari, seluruh desa akan diliputi kedamaian karena bidadari akan turun dan meniupkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang. Ketika bangun mereka akan selalu bahagia karena bubuk bahagia tersebut sudah masuk dalam aliran darah dan dibawa ke mana pun mereka pergi.
Cerpen “Laki-laki Pemanggil Goni” karya Budi Darma juga menunjukkan masyarakat yang modern pun tetap tidak bisa terlepas dari pengaruh mitos masa kecil. Karmain dewasa yang sudah tinggal di apartemen di kota ditemui oleh Laki-laki Pemanggul Goni yang mengingatkannya akan kenangan-kenangan masa lalu ketika masih berada di kampong Burikan.
Buku ini kaya akan makna dan nilai sosial budaya masyarakat. Walaupun dalam beberapa cerpen pembukaan yang dipilih tidak terlalu pas dengan isi dan hanya karena penulis ingin menciptakan sebuah pembukaan yang menggebrak, tetapi secara keseluruhan buku ini wajib dibaca untuk para pecinta sastra. Oleh Vryda Eka Tryasari
Peresensi adalah mahasiswa
Sastra Indonesia