Berhasil Terbitkan Buku, Setelah Sepuluh Kali Karyanya Ditolak

Nama Siget Andri Setiawan muncul lantaran komik islaminya bisa menembus best seller. Tidak ada yang menyangka mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Malang ini ternyata buta warna. Meski demikian, ia tidak patah semangat dan terus berkarya hingga melahirkan sebuah buku komik best seller.

Sosok berbusana serba hitam itu berjalan santai. Matanya menyapu beberapa sudut, nampak sedang mencari-cari seseorang. Entah dia mengerti tentang petunjuk yang saya berikan atau tidak. Saat itu saya memberi petunjuk kalau saya memakai jilbab berwarna orange, dengan balutan blazer berwarna abu-abu. Namun, terlihat dia kebingungan, padahal saya sudah berada dekat dengannya.
Sedikit pengetahuan tentang sosoknya, saya berusaha menyapa. Memanggil namanya dengan ragu, untuk mengetahui kebenaran orang yang sedang membuat janji dengan saya. Tubuhnya sedikit berisi dengan tinggi badan yang cukup bagi seorang lelaki seumurannya. Rambutnya ikal, matanya bundar dengan tatapan teduh.
Mendengar seseorang memanggil namanya, dia menengok dan tersenyum. Lantas, mengambil posisi duduk di sebelah saya. Setelah meletakkan tas punggungnya, sambil tersenyum dia menyalami saya untuk memperkenalkan diri. Namanya adalah Siget Andri Setiawan. Seorang mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2011 yang berasal dari Kabupaten Pasuruan. Ketika berbicara, suaranya pelan dan intonasinya tidak terlalu cepat.
Usai perkenalan singkat, saya pun berbasa-basi menanyakan judul buku komik Islaminya Gak Pake Ribet. Sampulnya berwarna hitam dengan tulisan hijau dan gambar yang lucu membuat saya sangat tertarik ingin membacanya. Siapa sangka dibalik kesuksesannya menerbitkan buku itu ada cerita menarik penuh perjuangan yang dialaminya.
Cerita terbitnya komik best seller itu dimulai ketika awal kuliahnya berlangsung. Saat itu ada tugas dari jurusan Sastra Inggris tempatnya menempa ilmu, untuk membuat mading. Dengan semangat Siget mencoba menuangkan hobi menggambarnya ke dalam sebuah komik dan menempelkannya di mading. Tak disangka karya pertamanya cukup mendapatkan per­hatian dari teman-temannya.
Dia pun melanjutkan hobi meng­gambarnya itu, semakin hari semakin banyak saja. Akhirnya muncul ide untuk memasang hasil-hasil komik buatannya pada media jejaring sosial. Usahanya tak hanya sampai di situ, bahkan Siget juga sempat membuat fanspage yang berisi hasil-hasil karyanya. “Lucunya fanspage yang saya buat hanya disukai oleh sekitar 54 orang saja, Mbak. Yah, saya cuek saja. Yang penting saya terus berkarya dan terus mengisi komik-komik saya di fanspage tersebut,” ujarnya disertai dengan senyum tanpa suara.
Sampai pada suatu ketika ada sebuah pesan di facebook datang padanya. Isi pesan itu meminta dirinya membuatkan komik. “Saya pikir diminta buatin komik buat tugas-tugas gitu, Mbak. Tapi ternyata bukan. Saya kaget sekali begitu tahu yang menghubungi saya itu adalah penerbit buku Quantum Media,” kenangnya seraya tertawa.
Menghasilkan suatu karya yang besar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Itu juga yang dirasakan oleh Siget. Setelah berusaha membuat alur cerita dengan gambaran komiknya, sebanyak sepuluh kali karyanya ditolak. Namun, Siget tidak pantang berputus asa. Dia terus saja berusaha membuat komik.
Saya pun tersenyum mendengar ceritanya. Namun, sedikit rasa heran menggelayut di hati saya. Apakah Siget tidak salah mengambil jurusan. Pada akhirnya saya menanyakan hal tersebut. “Dulu sih inginnya ngambil DKV atau Seni Lukis mbak, tapi ya gimana lagi saya punya kekurangan. Saya akhirnya mengurungkan keinginan saya itu,” akunya dengan muka sedikit redup.
Saya semakin penasaran dengan ungkapannya itu. Setelah memilih kalimat yang tepat, saya pelan-pelan menegaskan maksud dari ungkapannya itu kepada komikus dengan nama pena Es Degan tersebut. Siget seorang komikus yang baru saya kenal ini ternyata mengalami buta warna yang cukup dominan. Hal ini sudah dialaminya sejak kecil. Pantas saja, ketika bertemu saya pertama kali untuk wawancara, pakaian yang ia kenakan serba hitam “Saya hanya melakukan apa yang ingin saya lakukan dengan sebaik-baiknya, dan inilah hasilnya,” tegas Siget sambil menunjukkan buku komik karyanya.
Editor yang menangani buku komik­nya sempat memintanya membuat komik berwarna. Siget dengan jujur memberitahukan itu semua kepada si editor. “Awalnya mereka kaget, Mbak, masak komikus buta warna? Tapi sampai saat ini semuanya masih baik-baik saja, tuh.”
Ditanya mengenai respon keluarganya ketika tahu dia menjadi komikus, Siget malah tersenyum. Keluarga Siget juga sempat meragukan bahwa Siget bisa menjadi komikus yang karyanya dibukukan dan di jual. Walaupun demikian, semua keluarganya mendukung Siget untuk terus berkarya sesuai dengan apa yang diinginkan. “Asal saya tidak lupa tugas utama saya, yakni belajar, semua keluarga mendukung saja.”
Ketika diajak membahas genre komik yang harus digarapnya, Siget mengaku komiknya memang mengambil tema-tema Islami. Intinya dia harus menampilkan sosok tokoh cerita dalam komik yang berpikiran berbeda dari kebanyakan, tetapi aplikasi ajaran Islam masuk di dalamnya. Tema-tema yang diambil Siget dalam bukunya yang berjudul Islam Gak Pake Ribet adalah tema sehari-hari yang ringan. Seperti tentang pertemuan, saling menghargai, terima kasih, jatuh cinta, pergaulan, hidup sederhana. Semuanya dibahas secara cerdas, kreatif, ringan, dan mengena. Pemikiran out of the box dalam karyanya juga terlihat di berbagai tema. Siget yang memiliki kelemahan dalam hal warna juga dengan semangat mencoba bermain warna di halaman 65.
Banyak teman yang mengelu-elukan dirinya yang sudah menunjukkan prestasi sebagai bentuk apresiasi, tetapi juga banyak yang menjatuhkannya. Ada yang bilang gambar komik buatannya kurang bagus, ada yang bilang masih mentah dan berbagai respon negatif lainnya. Menanggapi berbagai respon tersebut, laki-laki kelahiran Pasuruan, 17 Juni 1993 itu justru lebih bersemangat. “Itu semua saya jadikan cambukan, bahkan masukan untuk diri saya agar lebih baik.”
Kini Siget akan melanjutkan karyanya menjadi buku komik yang kedua. “Yang kedua ini tidak terlalu sulit dibandingkan yang pertama, Mbak. Setelah saya belajar dari sepuluh kali ditolak pada buku pertama dulu, yang sekarang lebih gampang.”
Dia juga memiliki cita-cita yang tinggi agar semua bakat yang ada di UM ini bisa tersalurkan dengan baik. “Saya adalah salah satu dari orang yang beruntung, Mbak. Karya saya ini tidak ada apa-apanya, masih banyak yang lebih baik. Yang lain hanya belum mendapat kesempatan saja. Makanya harus terus berusaha dan berdoa.”Iin