Cerpen Ardi Wina Saputra

Kubersihkan cairan cinta yang melekat lengket pada pena dan notes mungilku. Ah, malam ini narasumberku begitu bergairah hingga dia mencapai klimaks lebih dulu sebelum sempat aku membereskan peralatan wawancaraku. Meskipun ia terlalu belia untukku, tapi seperti yang sudah-sudah, hanya dalam hitungan menit dia sudah terkapar tak berdaya dengan sisa-sisa erangan dan dengusan sesak yang keluar dari mulutnya.

Kutinggalkan dia terlentang diranjang dan bergegas menuju kantor redaksi menyelesaikan deadline berita hari ini.
***
“Hey Arjuna, lihatlah wajahmu yang pucat pasi. Liputanmu hari ini menelan korban lagi ya?” tanya Pak Sukroso sambil menyeduhkan kopi hangat untukku.
“Iya Pak. Tampaknya kutukan Sulastri masih belum berakhir padaku,” jawabku gusar.
“Sudahlah Nak. Lupakanlah Sulastri. Masih banyak wanita cantik di luar sana yang mau menyatukan hati denganmu. Lagipula wajahmu setampan namamu. Arjuna,” hibur Sukroso.
“Hey Pak Redaktur! Tidak mungkin aku menyerahkan hatiku pada wanita lain selain Sulastri! Lagipula, siapa yang mau menerimaku yang sudah menduda ini!” bentakku.
Seolah ingin mencairkan suasana, Sukroso menghampiriku dan berbisik, “Ya sudah Nak, aku hanya bisa menyarankanmu. Sekarang lekas selesaikan laporan investigasimu tentang gadis korban pelecehan tadi.”
Dengan tatapan sinis dan penuh nafsu, ia pun menapakkan kakinya keluar ruangan. Masih ada waktu untuk merampungkan berita ini sebelum fajar menggagahi kaki langit.
Jari jemariku semakin cepat mengetik seperti orang kesetanan. Kuingat lekuk demi lekuk seorang gadis yang kuwawancarai tadi. Terkadang keringatku mengucur deras membasahi kening. Lalu kuseka perlahan. Ah, aku tidak tahu kenapa gadis semuda itu sudah diperkosa oleh kakaknya sendiri. Yang membuatku lebih heran lagi, kenapa tadi dia malah mempraktikkan kelakukan bejat kakaknya itu padaku. Mungkin karena rasa sakit kegadisanya sudah direnggut oleh kakak lelaki yang kini mendekam di jeruji besi.
Pertanyaan yang kulontarkan awalnya memang biasa-biasa saja. Namun, entah mengapa di tengah wawancara, mataku tiba-tiba menjadi tajam dan bibirku memerah komat-kamit melontarkan beribu pertanyaan binal. Wajah gadis tadi berubah menjadi wajah Sulastri dan aku pun bergairah untuk melontarkan beribu rayuan kepadanya. Anehnya, dia seolah terhipnotis, tatapanya kosong, kemudian menerkam memelukku. Kulemparkan pena dan notes yang ada dalam genggamanku, kemudian kutangklap pelukannya dan kami berpeluh nikmat bersama.
Kejadian liar ini bukanlah yang pertama kali menerpaku. Sebelumnya, malah lebih parah lagi. Aku mewawancarai seorang janda yang baru saja ditinggal suaminya karena mengalami kecelakaan pesawat. Tepat peringatan tujuh harian, aku kerumahnya, mengunjungi dan mendoakan sembari wawancara dengan harapan mendapatkan cerita yang detail untuk liputan feature.
Malam itu, setelah orang-orang pulang dari rumahnya, aku sengaja membantu membereskan tikar dan sampah-sampah yang berserakkan. Kemudian kami melakukan wawancara. Awalnya wanita itu terisak dan mencurahkan seluruh isi hatinya. Aku pun mendengarkan dan mencatat dengan seksama detail demi detail cerita dan kesedihanya. Namun, malam bertambah larut. Air yang berloncatan terjun dari langit menambah dinginya suasana. Anaknya yang masih balita, pulas mendengkur di pangkuanya. Kemudian ditaruh diranjang dan dia kembali duduk disampingku.
Aku bergegas untuk pulang karena langit semakin deras menumpahkan airnya. Namun, aneh ketika aku pamit tiba-tiba naluri kewanitaanya diuji. Kerinduan dengan suaminya membuncah dan kurasakan hawa panas menyelimuti tubuhnya. Aku bergegas mengemasi barang-barangku, tetapi dia menangis dan menangkap tanganku. Dia menangis semakin keras dan aku gusar kebingungan bagaimana cara membuatnya diam. Disandarkanya kembali aku dikursi, lalu mataku seolah kabur dan kembali wajahnya berubah menjadi wajah Sulastri. Wajahnya membenam dalam dadaku. Tanganya kreatif merajut kulit-kulitku dan tubuhnya sengaja ditempel erat seerat gelapnya ruangan yang menyatu dengan gelap rambutnya. Kulayani dia dengan semangat misionaris.
Semenjak kematian Sulastri, rasa-rasanya tubuhku dikutuk untuk bercinta dengan semua narasumber hawa yang kuhadapi. Setelah mendengar pertanyaanku dalam wawancara, beribu gadis rela melepas mahkotanya. Selalu kutolak, tetapi naas, semakin kutolak semakin menggeliatlah mereka, melekat-lekatkan tubuhnya padaku. Sama seperti goyangan Sulastri yang dulu aktif meronggeng.
Bukan tanpa sebab putri Suksoro itu tewas setelah menikahiku. Wanita itu terus menerus memendam sakit melihat kelakuan suaminya. Sudah tidak sanggup rupanya dia melihat bapaknya sendiri bersenggama dengan pujaan hatinya. Lewat balik pintu, dia selalu mengintip kelakuanku dan mertua. Mulanya dia kaget dan syok telah mempergokiku digauli ayahnya. Sekali dua kali dimaafkanya aku ini, tetapi aku sadar bahwa Sulastri tetaplah seorang manusia yang punya batas kesabaran. Batinnya tidak kuat, jiwanya lemah. Tak sanggup menjalani derita dan siksa batin ini, dia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara tragis, bunuh diri dengan tali sampurnya sendiri di ranjang pengantin kami.
Dengan derai air mata kulepaskan jasadnya yang masih menggantung dan kubuka tali sampur yang melilit dileher. Ada guratan tinta dalam tali sampurnya yang menyatakan bahwa aku tidak akan berhenti bercinta dengan narasumber yang kuwawancarai apabila aku tidak melepaskan ritualku bersama sang ayah. Baru saja aku menjadi duda, aku sudah dikutuk.
***
“Arjuna, sudahkah kau selesaikan laporanmu? Jika sudah, perbolehkanlah aku melihatnya,” pinta Sukroso padaku. Lelaki tambun itu berjalan menghampiriku, kemudian memelukku dan membelaiku dari belakang. Aku pun seolah lemas dan pasrah saja merasakan semuanya. Tiada daya bagiku menolak rangkulan tangan gelap berbulu kasar itu. Kebodohan ini sudah seringkali kulakukan. Bukan maksud hati untuk melakukan kehendak badan, tapi pikiranlah yang mendorongku demikian. Bagaimana tidak? Setiap aku melayani Sukroso, aku merasa telah mengabdi pada kedua orangtuaku.
Dulunya ayah dan ibuku bekerja pada Sukroso. Ayah sebagai jurnalis sepertiku dan ibu sebagai perawat Sulastri. Suatu ketika, aku mendapat kecelakaan hebat dan harus dirawat di rumah sakit. Sebagai seorang yang kaya raya, Sukroso dengan loyalnya meminjamkan uang pada ayah untuk penyembuhanku. Ayah pun menerima dengan legawa, tetpi naas, setelah aku sembuh, Sukroso malah meminta bunga yang membuat keluarga kami mengencangkan ikat pinggang.Kedua orang tuaku bekerja cukup giat sambil melakukan usaha apa pun untuk melunasi hutang itu. Tapi semua sia-sia. Sukroso malah menuntut ayah ke penjara. Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan untuk melunasi hutang itu, yakni dengan melayani nafsu Sukroso setiap malam.
Semenjak sang istri yang dikenal cantik jelita itu menceraikanya dan kawin dengan putra pembesar pabrik gula, jiwa Sukroso sangat terganggu. Matanya seolah gelap dan tertutup untuk wanita mana pun. Baginya, semua wanita itu sama. Nalurinya untuk menjamah wanita seolah telah dimatikan. Ia mati rasa terhadap sentuhan wanita. Parahnya, redaktur yang berusia sekitar setengah abad itu merasa hanya dengan lelakilah hormon testosteronya dapat tersalurkan sepenuhnya, seutuhnya.
Karena tidak ada jalan lain, awalnya ayahku menuruti sifat reptil Sukroso itu. Kuingat setiap senja tiba, ayah pamit ke kantor hingga pulang pagi buta dengan keadaan pucat. Lambat laun ayah menjadi gila dan stres berat menghadapi musibah ini.
Suatu ketika dia tewas saat hendak pulang kerumah karena tabrak lari di jalan tol arah ke rumah. Belakangan saksi mata mengabarkan bahwa ayah sengaja mengebut di tengah jalan dan menabrakkan dirinya pada bus malam yang melaju cepat. Mungkin karena pikiranya sudah kalut, lelah digauli Sukroso. Ibu dan aku mengikhlaskan kepergian ayah dan tidak mau mengusut kasus ini terlalu panjang. Satu hal yang pasti, kini ibu hidup menjanda dengan utang melilit sekujur tubuhnya.
***
“Hey Nak! Mengapa kau melamun. Tidakkah kau menikmati sentuhanku ini?” Sukroso membentak sambil menamparku. Kami kembali menyatukan lenguhan.Di tengah lenguhanku, samar–samar aku melihat bayangan Sulastri di balik pintu dengan mendekap sampur merah yang sempat melilit lehernya hingga tewas.
“Hey Bocah, kau melamun lagi ya?” Sukroso semakin liar menampariku. Malam ini gerakanya lebih binal dari biasanya. Dia kesetanan. Aku sudah tidak kuat dan tidak kuat lagi.
Dengan mulut menganga kesakitan, mataku berlinang air mata dan terus tepaku pada pintu yang sedikit terbuka. Kulihat jelas, bahkan semakin jelas raut wajah Sulastri. Dia tetap terisak sesenggukan menatap kami berdua. Darah seolah keluar dari kedua bola matanya, membasahi sampur yang memerah. Mungkin jiwanya tidak tenang di alam sana.
Malam melumerkan kelam. Surkoso tidak juga terpuaskan. Aku lelah dengan semua ini, aku benci dengan diriku sendiri, dan aku ingin terbebas dari kutukan Sulastri. Aku tetap menungging di sofa ruang redaksi. Sukroso berdiri di belakangku dan dia melenguh lepas. Tanganya semakin erat menggenggam pinggulku. Kutoleh ke belakang dan kulihat wajahnya. Sudah berubah. Kumis dan janggutnya menebal, kedua taringnya memanjang dan matanya memerah. Dia sudah jadi Iblis.
Malam semakin gelap segelap pikiranku.
“Hey Sukroso, sekarang duduklah di sofa,” pintaku padanya. Dia menurut saja seperti bayi yang hendak dibelikan mainan. Berlutut aku di hadapanya. Kulihat kepalanya melongok ke atas dan matanya terpejam seakan siap menikmati.
“Arghhhhhhhhhh!” Sukroso mengerang panjang. Mengerang dan terus mengerang. Sayangnya itu bukan erangan keenakan. Namun, erangan sakit yang amat sakit karena kulupnya kini sudah tertancap belati yang telah kusiapkan di bawah sofa.
Seketika itu pula wajahku dilumuri cairan Sukroso. Cairan berwarna merah pekat yang tak henti-hentinya menyembur deras. Semerah sampur Sulastri hingga warnanya memudar menjadi merah terang dan kadar kekentalanya berkurang.
Kunikmati cairan ini membasahi wajahku sambil kulihat tubuh Sukroso terkulai lemas dan memucat, tewas kehabisan darah. Lalu aku bangkit berdiri menatap ke pintu. Sulastri tersenyum lega dan kemudian samar-samar menghilang.
“Selesailah kutukanmu, istriku.”
Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia dan bergiat di komunitas
seni Ronggowarsito