Tak peduli kulit hitam atau putih, tak peduli konglomerat maupun para jelata, tak peduli pada perbedaan suku, bahasa, bahkan keyakinan sekali pun. Imperium pendidikan sudah seharusnya menjamah siapa pun tanpa pandang bulu. Bukanlah solusi ketika saling menyalahkan terjadi akibat ketimpangan pendidikan yang terkadang tampak memihak. Darah yang mengalir pada anak-anak para ningrat, borjuis, maupun proletar pun tak seharusnya menjadi penentu batas pendidikan. Meskipun terkadang beragam kondisi melahirkan kehendak pembatasan pendidikan secara paksa, yang umumnya menimpa kaum marginal akibat kalah finansial.
Di sisi lain, goresan kriminal pun nyatanya mampu menjadi penentu batas pendidikan. Sungguh ironis, deretan fenomena kriminal telah marak dilakukan oleh para paruh baya hingga merambah ke pelajar. Tatkala sebuah pasal tindak pidana menjerat seorang anak berusia lima belas tahun, pupuslah harapan yang pada awalnya ia tumpukan pada bangku sekolah. Jeruji telah menjelma satir, hati yang didera sesal tak mampu menghapus catatan hitam. Sebuah harapan besar dan masa depan cerah pun bergantung tanpa daya dan arah, lemas terkulai, kemudian mati. Seketika bayangan generasi yang terdekadensi hampir tiap hari menghantui, seiring dengan pemberitaan kriminal nonstop yang tak kenal ruang dan waktu. Bahkan, adakalanya mereka yang tak bersalah pun dijatuhi vonis akibat minimnya daya pembelaan. Ada pula yang memiliki persamaan kasus, tetapi berbeda sanksi. Barangkali hanya pasrah dan mengalahlah yang mampu mengobati para narapidana yang tengah dihempas pesakitan.
Kepedulian, keprihatinan, dan rasa iba atas fenomena kelam di atas, membuat seorang mahasiswa asal FIS tak tinggal diam. Asis, mahasiswa Geografi angkatan 2009, kala itu ia tengah bersantai ria di sebuah kontrakan bersama rekan-rekannya. Usut-diusut, obrolan ringan di antara mereka pun menuai inspirasi untuk memberikan kontribusi pendidikan pada narapidana (napi) dengan mengajar mereka. Karena mereka merasa napi pun pastilah memerlukan pendidikan.
Obrolan demi obrolan serta perencanaan matang pun dipersiapkan, mulai dari persetujuan dari pihak fakultas hingga perizinan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Lapas Lowokwaru adalah tujuan mereka. “Kami memeroleh respon yang baik dari dekanat FIS, tetapi ketika kami mengurus perizinan ke Lapas, kami dianggap mahasiswa magang, dan perizinan pun dipersulit. Ini karena memang banyak mahasiswa psikologi yang pernah praktek magang di sini. Padahal, kan ini kegiatan sukarela,.Ini memang kemauan dan komitmen kami sendiri. Sepertinya terjadi missunderstanding. Nah, baru ketika mereka telah satu pemahaman, akhirnya kami dipermudah,” papar Asis.
Kelucuan demi kelucuan pun terjadi di hari pertama mereka mengajar. Ia mengungkapkan bahwa pada hari pertama mengajar di Lapas, dirinya dan kawan-kawannya mengaku begitu parno. Pasalnya, mereka tengah berada di lingkungan napi tentunya dengan kasus yang beragam. Apalagi Lapas yang mereka singgahi adalah Lapas kelas satu, maka keamanan pun seolah kurang bisa terjamin.
Kekhawatiran akan hal-hal negatif mengiringi setiap langkah mereka manakala berada di Lapas. Selain itu, di awal mereka telah diperingatkan oleh petugas, “Hati-hati sama mereka, apalagi yang kelas penipuan.” Ucapan itu ibarat menjadi patokan setiap jengkal mereka melangkah. Tas selalu ditenteng dan ke mana-mana selalu bersama tim.
“Pokoknya saat itu kami parno banget. Di pikiran semuanya negatif, pernah berpikir jangan-jangan kalau tas ditinggal nanti dimasukin apa-apa lagi, misalnya narkoba. Kemudian waktu mau pulang ada pemeriksaan di depan, kena kan jadinya. Maka dari itu, tas benar-benar kami rangkul, dan ke mana-mana kami selalu bareng,” tambahnya diiringi tawa mengenang kejadian tiga bulan lalu. Dalam mengajar para napi, terdapat dua tahap. Pertama, pengajar terdairi atas sembilan mahasiswa yang berlangsung selama satu bulan (31/3) hingga (30/4). Kedua, terdiri atas tujuh mahasiswa yang bermula (10/06) sampai dengan (06/07). Setiap harinya, terdapat empat mahasiswa yang mengajar, dengan sistem bergilir. Hal ini menyesuaikan dengan jumlah kelas yang terdapat di Lapas tersebut, yaitu kelas buta aksara, kelas A (setingkat SD), kelas B (setingkat SMP), dan kelas C (setingkat SMA).
Namun, bukan berarti siswa yang terdapat dalam masing-masing kelas tersebut seperti halnya usia anak-anak di sekolah pada umumnya. Pembagian siswa di kelas Lapas disesuaikan dengan batas pendidikan terakhir yang pernah mereka tempuh sebelum dibui. Tidak mengherankan jika dalam satu kelas terdapat siswa dengan perbedaan usia layaknya neraca dengan sisi kiri kosong dan sisi kanan tumpukan logam.
Beruntung, pagi itu (06/07) adalah hari terakhir Asis dkk. mengajar di Lapas. Rencananya perpisahan akan dilakukan sederhana pasca mengajar, dan Komunikasi berkesempatan mengikuti kegiatan mereka. Pukul 07.00 WIB, tanpa terkecuali kami berenam telah mengenakan kostum ala Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah, bawahan rok gelap untuk wanita dan celana gelap untuk pria, lengkap dengan jas almamater. Beginilah kostum keseharian mereka kala mengajar di sekolah Lapas Lowokwaru “Tunas Harapan” tersebut.
Serentak, dengan mengendarai tiga motor sampailah kami di Lapas berselang dua puluh menit kemudian. Asis mengingatkan, “Handphone ditinggal saja di jok motor.” Sontak, Komunikasi yang baru pertama kali berkunjung ke Lapas pun merasa bahwa pengawasan super ketat dan uji nyali sepertinya akan segera dimulai, sampai-sampai handphone saja dilarang masuk. Alhasil, kami yang masih pemula mulai parno. “Mas, kalau kamera boleh, kan dibawa masuk untuk dokumentasi?” Asis pun mengiyakan, dengan catatan dibiarkan saja di dalam tas dan dikeluarkan seperlunya, karena di area ini memang tidak boleh asal memotret.
Kami berenam pun melangkahkan kaki menuju pintu gerbang pertama. Tentunya dengan menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) untuk disimpan sementara. Selanjutnya kami melewati pintu gerbang kedua, dan tampaklah deretan bangunan memanjang berbentuk kubus lengkap dengan sekat jeruji. Tepat di sebelahnya sebuah halaman berukuran sedang terhampar sebagai lokasi apel pagi. Tak jauh dari lokasi apel, sebuah pintu kembar berbentuk terowongan berdiri nan mistis di pojok area, bersekatkan jeruji, bereksterior tempo dulu. Terowongan berusia tua tersebut terlihat gelap, lembab, dan pastilah bukan tempat tinggal yang nyaman untuk napi.
Menurut keterangan Asis, bangunan berbentuk terowongan tersebut merupakan tempat para tersangka dibui sementara. Sebelum akhirnya divonis dalam sidang terkait penentuan kasus dan sanksi tindak pidana. Jajaran bangunan memanjang yang bersekat jeruji merupakan tempat tinggal para tersangka yang telah berubah status menjadi narapidana. Barangkali bangunan yang terakhir ini lebih baik dari pada terowongan gelap tersebut, pasalnya terkesan lebih mirip deretan kamar kos-kosan. Perbedaan hanya terletak pada sekat jeruji dan penghuni yang bermasalah.
Pukul 07.30 WIB, dilaksanakan apel pagi. Di antara jajaran polisi dan polisi wanita yang kala itu berkostum bebas, tetapi tetap melekat kesan rapi dan sopan, kami berenam turut berbaris. Dalam barisan, tampak pula dua mahasiswa asal UB yang belakangan kami ketahui dari Jurusan Psikologi. Keberadaan mereka di Lapas tak lain adalah karena magang. Dengan dinyanyikannya “Mars POLRI”, selesailah apel pagi yang berlangsung tak kurang dari dua puluh menit. Kami pun bersiap menuju tempat belajar para napi.
Dalam perjalanan menuju ruang belajar, kami disuguhi oleh pemandangan perkebunan sayuran yang ditanam oleh para napi itu sendiri. Kesan ramah justru lebih pantas dilekatkan kepada mereka daripada kejam dan bengis. Pasalnya, sepanjang perkebunan yang kami lewati, para napi dengan usia yang beragam bergantian menyapa kami, mengingatkan pada keluwesan petani di pedesaan.
Kami pun sempat melewati dapur Lapas, suara gaduh diiringi kepulan asap yang berasal dari dapur menggoda kami untuk sejenak menyaksikan aktivitas memasak di dalamnya yang ternyata dilakukan oleh para napi pula. Sejumlah dandang aluminium berukuran jumbo tengah berdiri dengan kokoh di atas tungku api. Puluhan atau bahkan ratusan kotak tempat makan telah siap menunggu nasi dituangkan.
Dengan gesit nan lincah, para napi mengaduk nasi yang hampir matang, sembari memindahkan nasi yang telah matang dari dandang di sebelahnya. Keluar ruangan, kami pun tersadar bahwa terkait jatah makan, para napi cukup terjamin, terbukti dengan sebuah papan besar yang terbentang di luar dinding dapur dengan goresan jadwal makan di atasnya. Usai melihat dapur dan gudang-gudang penyimpanan pangan, kami bergegas menuju ruang kelas.
Demi berpartisipasi langsung dan karena tak mau kehilangan kesempatan, Komunikasi mengiyakan tatkala Asis meminta kami turut serta turun tangan mengajar napi. Kelas A menjadi tugas kami. Bukan lagi memikirkan tentang kekhawatiran akan kejahilan yang bisa kami dapatkan, yang ada justru rasa kasihan akan secuil pendidikan yang mereka dapatkan. Miris, buku-buku lama masih dijadikan bahan ajar utama, dan tak banyak napi yang peduli pada buku serta alat tulis. Di sinilah kami mendapati minimnya pelajaran yang bisa mereka teguk. Namun, dari sini tampak perbedaan antara siswa di sekolah dengan napi yang bersekolah. Seringkali siswa umumnya berlaku tidak sopan dan terkesan menyepelekan pelajaran sekaligus pengajar. Namun, tidak dengan para napi ini. Mereka memang memiliki catatan buruk yang memilukan atau bahkan tak termaafkan. Narkoba, pencurian, penipuan, tindakan asusila, bahkan pembunuhan. Akan tetapi, alih-alih mereka lebih menjunjung sopan santun dan memiliki semangat belajar.
Seorang napi paruh baya di kelas A tampak bersemangat ketika pelajaran disampaikan, rajin mencatat, dan beberapa kali antusias mengajukan pertanyaan. Tindakan asusila terhadap anak di bawah usia membuatnya mendekam di bui. “Saya ingin belajar, Mbak biar pintar, nggak kalah sama yang di luar,” ujarnya polos. Ada pula remaja berinisial S (15) asal Surabaya yang ditangkap di Rampal akibat Napza, matanya berkaca-kaca ketika ditanyai tentang keluarga yang telah lama tak menjenguknya. “Iya, Mbak, saya kapok. Dulu saya diajak teman. Saya ingin bebas, keluarga saya di Surabaya. Mereka sudah lama nggak pernah ke sini,” ungkapnya seraya menunduk. Keterbukaan begitu kentara. Tanpa canggung mereka membeberkan kasus pidananya satu persatu. Ketika diminta menjawab soal, rata-rata mereka meminta reward, tetapi secara serempak mereka mengatakan bahwa kebebasanlah yang paling diharapkan. Harga yang mahal.
Asis mengungkapkan, “Secara nggak langsung saya juga banyak belajar dari mereka. Ada napi yang mengingatkan ‘hati-hati, Mas sama cewek’, ini karena begitu banyaknya kasus napi yang selalu ada unsur wanitanya. Ada kasus membawa cewek kemaleman, akhirnya orang tuanya melaporkan ke polisi sebagai kasus penculikan. Ada pula curanmor yang dilakukan oleh mahasiswa pelayaran, ini juga ada unsur wanitanya. Malahan ada kasus yang lucu. Menurut mereka pembunuhan adalah kasus terkeren, mereka seolah bangga ketika mereka ditahan akibat pembunuhan. Parahnya, ada salah satu napi yang mengaku dipidana akibat pembunuhan. Namun, salah seorang temannya pun buka mulut bahwa kasus yang sebenarnya adalah pencurian barang kecil, ketawa semuanya.”
Di balik jeruji, nyatanya para napi tidak sepenuhnya menjalani hari-hari yang terbuang percuma. Pasca divonis, seorang tersangka yang telah menyandang status sebagai narapidana diberi opsi untuk mengambil kegiatan yang akan dilakoni ke depannya. Bisa cleaning service, pelayan kunjungan, pelayan gereja, pelayan dapur, atau mungkin petani. Namun, banyak pula napi yang memilih menjadi pengangguran. Di antara deretan-deretan kamar atau blok, puluhan gerombolan napi tampak mengemper tak ada kerjaan, mengamati kami yang kala itu melewati mereka. Meski demikian, jumlah napi yang bersedia mengenyam pendidikan di sekolah Lapas ini tak begitu mencengangkan, 6 orang untuk kelas buta aksara, 17 orang untuk kelas A, 19 orang untuk kelas B, dan 19 orang untuk kelas C. Di samping pendidikan, para napi dapat pula mengikuti kegiatan pengembangan diri. Mulai dari kerajinan keset, kerajinan kayu, pembuatan bola sepak, budidaya jamur, budidaya ikan, bengkel mobil, hingga ketrampilan komputer.
Asis menambahkan, “Sisi positifnya, mengajar napi itu menambah pengalaman. Di sini kami juga belajar disiplin. Kemudian, mereka justru yang memberi ilmu etika, bagaimana cara mengorangkan orang, dan saling menghargai. Karena hidup di dalam penjara jika ada yang tidak respect kemudian tidak adanya saling menghargai, justru malah muncul depresi akhirnya bunuh diri. Napi bukan hanya urusan perut, tapi mental, dan napi nggak seseram dan sekejam yang kita bayangkan. Sedangkan, kesulitan kami dalam mengajar adalah kurangnya media pembelajaran dan dilema menentukan model pembelajaran karena kemampuan berbeda.” Senada dengan Asis, Febri, mahasiswa Biologi angkatan 2009 yang turut menjadi pengajar Lapas ini mengungkapkan, “Mereka sulit, kemampuannya beda-beda, jadinya sulit menentukan metode yang tepat.” Komentar berbeda diungkapkan oleh Adib, salah satu tim pengajar asal FIS, “Awalnya saya nggak percaya kalau di Indonesia masih ada usia 25 tahun yang nggak bisa baca sama sekali. Setelah saya masuk Lapas, ternyata memang ada.”
Pengalaman mengajar dalam sangkar kriminal, cukuplah menorehkan pelajaran berharga. Yang pasti harapan terbesar dari para tim pengajar UM ini adalah ke depannya akan ada yang melanjutkan program ini.Rima