Oleh Teguh Dewangga

cerpen laron 2Kantor terasa begitu lengang dan hangat, sangat bertolak belakang dengan hawa dingin yang menggelayuti udara luar. Semua teman-temanku telah beranjak pulang. Meskipun hujan turun dengan deras, namun mereka lebih memilih untuk bergegas ke rumah, segera bertemu istri dan buah hati, lantas menyisakan diriku yang tengah berdiam diri.
Dari atas, aku dapat memandangi bocah pengamen yang buncah dan tengah bermandikan rinai hujan. Tubuh mungilnya masih sigap berdiri sembari mengalunkan suara nyanyian di setiap jendela mobil. Payung yang berwarna-warni tampak berjalan di bawah langit malam, terkadang berhenti cukup lama di pinggir jalan menunggu bus datang atau bergerak mundur agar tidak terkena cipratan genangan air akibat gilasan ban mobil.
Semakin lama kupandangi, jendela di hadapanku semakin berembun. Seolah memburamkan semua ingatan yang tengah aku buka. Aku memilih membuka jendela berembun tersebut. Dengan begitu, tempias hujan menelisik wajahku yang nampak muram. Dari ujung mataku, aku melihat laron yang terbang masuk dan segera mengarah ke sinar lampu putih yang menyala terang. Perangainya seperti bocah bebal. Berterbangan dan mengitari lampu dengan suka cita.
Kepak sayapnya kini membawa ia beralih dan hinggap di stoples kaca, di ujung meja kerjaku. Stoples kaca yang penuh kenangan. Laron tersebut rupanya sedang sengaja membuka potongan kisah yang pahit, dan menghujam nuraniku yang masih rapuh akibat duka. Mataku terasa kebas, penglihatanku terhalangi bias air mata yang mulai menetes. Potongan kenangan tersebut masih segar di ingatanku.
***
Semenjak kecil aku hanya mengenal sosok seorang ibu. Tak ada sepotong kenangan pun yang menjadi memoar tentangku dan bapak. Ingatanku yang masih muda tak dapat mengikat kejadian yang telah lewat. Yang aku tahu bapak telah kawin dengan orang lain. Orang-orang mengatakan bapakku kawin dengan seorang ratu. Ratu Pantai Selatan. Bapak dahulu seorang nelayan, biasa mencari ikan tengiri untuk bahan kerupuk yang dibuat ibu. Tapi, ia tak pernah kembali. Boleh jadi ia lebih senang berdampingan dengan Ratu Pantai Selatan. Dan dirinya lebih nyaman hidup di sana, bersenandung dengan ombak, dan bercengkrama dengan hewan-hewan laut yang beraneka warna.
Kami tinggal di gubuk sederhana, hanya berdiri dengan topangan kayu kelapa yang telah lapuk, ditutup dengan genteng dan berdindingkan anyaman bambu. Tak cukup untuk menghangatkan kami dari hawa dingin yang menusuk. Terlebih ketika hujan deras, airnya kian menggerus pondasi rumah kami. Membuat keluarga kami semakin nelangsa.
Ibuku dengan peluh yang membasahi dahinya masih berada di dapur, sedangkan aku dengan Wawan duduk di dekat tungku sembari menghangatkan badan yang mulai membeku. Mataku berkilat diterpa cahaya api yang meremang. Jingga dan panas. Ibu menuangkan adonan ke dalam penggorengan. Membentuk rempeyek yang lebar dan renyah. Tentu saja Wawan yang kala itu masih berumur tiga tahun tak sanggup membendung air liur dan akhirnya jatuh menetes membasahi telapak kakiku. Adonan tepung tersebut meluncur pelan ke bawah, membentuk gurat lukisan dari tangannya. Adonan kekuningan tersebut perlahan mengeras dan semakin menguning pekat. Aku menatap dengan sabar, berharap ibu membuat rempeyek yang lebih besar sehingga aku dapat menyantapnya dengan puas.
Bagi Wawan bukan adonan tepung renyah yang membuat air liurnya tak habis-habis, melainkan bulir-bulir kecokelatan itulah yang tak sanggup membendung air liurnya. Bulir-bulir laron yang sayapnya sudah tanggal menyisakan tubuh yang bergelimpangan di atas adonan kuning. Laron-laron tersebut tersebar secara acak. Terkadang membentuk suatu koloni di atas adonan tepung. Atau tercecer begitu saja, karena ibu mengaduk adonan dengan asal.
Mengetahui Wawan yang masih melelehkan air liurnya ibu segera mengambil piring besi dari rak piring kusam milik kami. Membuka tempat periuk nasi tiwul. Aroma manisnya segera menguar dan uap keputihan memenuhi seisi dapur. Tangan ibu yang berlumuran minyak dan adonan dengan cekatan mereguk nasi tiwul tersebut. Melebarkannya di atas piring supaya uap panas segera berbaur dengan udara lembab.
Wawan yang tak sabar segera berdiri, menyambut uluran tangan ibu yang membawa sepiring nasi. Dan ibu segera mengambil rempeyek laron yang telah ia tiriskan. Nasi tiwul dan rempeyek laron tersebut masih panas. Bukan maksud ibu untuk melepuhkan mulut anaknya, namun agar badan kita segera terisi makanan yang hangat. Wawan merasakan setitik kenikmatan tersebut dengan lidah yang memerah. Ia mencongkel rempeyek laron dengan tangan yang bergetar dan kepanasan. Badan laron yang berada di tengah congkelan akan mengeluarkan daging keputihannya. Aku lebih baik menunggu ibu selesai memasak, dan lebih baik pula aku tetap menghangatkan badanku. Setelah ibu selesai masak aku pasti akan memilih rempeyek yang lebih besar, dan meminta nasi tiwul yang lebih banyak.
Setelah Wawan selesai makan, ibu mengambil piringnya. Kini piring bekas Wawan makan telah berisi periuk nasi tiwul yang lebih banyak. Tangan kananku berlumuran minyak yang masih hangat serta bongkahan rempeyek yang sangat besar. Banyak sekali laron yang menempel pada adonan tepung. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya mengecap daging berwana putih milik mereka yang gurih, terlebih lagi di tambah gurihnya adonan tepung milik ibu.
“Laron itu sebenarnya asalnya dari orang mati, Nak. Rayap-rayap makan orang mati, terus keluar dan berubah menjadi laron.” Aku hampir tersedak mendengar ucapan ibu.
“Tapi tak apa, daripada perut kita kosong,” ujar ibu sekali lagi. Aku menelan nasi tiwul seolah menelas gumpalan kapas. Baru kali ini ibu berkata seperti itu. Tapi, sekelebat aku tak memikirkannya lagi. Entah mengapa aroma gurih dan renyahnya rempeyek ini seolah dapat membuyarkan perkataan ibu.
Sehabis makan, kami bergegas mandi. Menenteng gayung dan mengguyur badan dengan air kecokelatan. Lantas dari kami masing-masing akan membawa satu buah baskom berisi air. Ini sudah seperti kebiasaan bagi kami. Dari samping rumah, kami akan mengamati beberapa lubang yang terdapat di permukaan tanah. Mengamati beberapa lubang yang tengah di lewati laron. Menangkapnya satu persatu lantas menghantamkan tubuh kecilnya ke baskom air.
Terkadang jika hujan turun selepas sore, saat orang-orang tengah berangkat ke musala, aku bersama Wawan membawa baskom ke salah satu beranda rumah milik orang terkaya di kampungku. Lampu-lampunya yang megah akan mengundang ratusan laron untuk mendekat. Mengerubunginya dengan senang. Aku dan Wawan mengambili dengan cekatan laron-laron yang telah jatuh atau yang sedang di atas lantai. Memegang sayap kecokelatannya agar badannya tak hancur oleh tangan-tangan kami. Lantas, menceburkan tubuh-tubuh cokelat laron tersebut. Si pemilik rumah hanya mengintip dari jendela, kelambu ungu menghalangi kaca namun aku tahu bahwa ada sepasang mata yang mengamati lekat-lekat kelakuan kami.
“Dik, cari laron buat rempeyek lagi ya?” tanya sepasang mata yang tadi mengintip di celah kelambu ungu secara tiba-tiba. Cuping hidungnya begitu mancung dan matanya agak sipit. Wawan segera mengangguk, aku lekas tersenyum sembari memandangi tanganku yang penuh dengan rontokan sayap-sayap laron.
“Masuk dulu, ayo makan sama kakak. Ada daging ayam di dalam, daripada makan laron terus.” Wawan terlihat buncah mendengar tawaran itu. Sebelum ia mengangguk setuju aku segera menarik tangannya dan menggeleng dengan memberi isyarat dengan roman muka yang menolak. Aku teringat pantangan ibu. Semelarat apa pun kita, tak elok jika makan harus meminta belas kasih. Kami memang keluarga miskin. Dan ibu tak akan membiarkan kami diberi makan oleh tangan-tangan orang lain. Lagipula aku lebih suka daging laron yang garing dibanding ayam. Wawan menunduk lemas dan seret langkahnya terasa berat. Aku membiarkannya saja, kelak aku berjanji akan membawa keluarga ini keluar dari keterpurukan hidup yang menghimpit.
***
Hujan tak kunjung memberikan tanda reda. Gemerlap lampu-lampu mobil terlihat seperti kunang-kunang. Nyalak suara klakson terdengar buas di sela-sela jalan yang semakin basah. Laron yang tadi berterbangan entah telah jatuh di mana, aku masih menunggu laron-laron berikutnya. Namun, ini bukan pedesaan yang syarat dengan rayap yang keluar dari lubang dan terbang menjadi laron.
Tapi di ujung meja kerjaku stoples kaca tersebut masih saja kupandangi. Stoples rempeyek laron. Rempeyek kekuningan yang sedikit berminyak dan nampak gurih. Rempeyek yang baru dibuat dan pasti masih renyah. Namun aku tak ingin memakannya. Itu stoples rempeyek terakhirku. Stoples rempeyek yang dibuat seminggu yang lalu, sebelum ibuku meninggal dan dikubur.
Aku melihat laron tersebut terbang kembali, perasaanku menjadi buncah. Ia terbang ke arahku, lantas hinggap di lengan tangannku. Aku mendengarnya. Laron tersebut menyapaku.

Penulis adalah mahasiswa
Pendidikan Teknik Otomotif