Oleh Yusuf Hanafi

“Kerja Keras, Kerja Cerdas, dan Kerja Ikhlas”, itulah kutipan amanat Rektor UM, Prof. Dr. H. Ahmad Rofi’uddin, M.Pd., yang bertindak selaku inspektur upacara dalam Peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70 di Lapangan Upacara UM pada Senin (17/08). Tentunya, amanat Rektor UM di atas merupakan pengejawantahan dari slogan resmi pemerintah yang menetapkan “Ayo Kerja” sebagai tema sentral peringatan kemerdekaan tahun ini.
Jika disimak secara seksama, tiga penggal slogan kerja yang dilontarkan oleh Rektor UM di atas mengusung filosofi makna yang dalam. Pertama, “kerja keras” itu erat kaitannya dengan olah fisik. Artinya, dalam bekerja kita harus mencurahkan segenap energi dan tenaga agar pekerjaan dapat dituntaskan secara maksimal. Tidak boleh berleha-leha, apalagi menunda.
Penundaan pekerjaan kerap kali dilakukan dengan alasan yang tidak masuk akal, misalnya deadline masih lama, bad mood, atau lainnya. Penundaan semacam ini justru akan membuat pekerjaan menjadi terbengkalai. Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan nasihat Hasan Al-Banna, pendiri sekaligus ideolog gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir yang legendaris itu, “Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu jauh lebih banyak daripada waktu yang kita miliki.“
Slogan berikutnya adalah “kerja cerdas”. Seruan Rektor UM yang kedua ini mengajarkan kepada seluruh civitas akademik bahwa kerja itu bukan sekadar olah fisik, tapi juga olah akal. Pekerjaan tidak cukup hanya diselesaikan dengan kualitas ala kadarnya. Sebaliknya, pekerjaan harus dituntaskan secara profesional. Pada titik ini, intelegensi dan intelektualitas merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan output kerja berkualitas.
Sayangnya sering dijumpai penyelesaian pekerjaan hanya berorientasi pada kuantitas, agar program-program yang dicanangkan sebelumnya terlaksana tanpa mempedulikan kualitasnya. Lebih memprihatinkan lagi, pelaksanaan pekerjaan hanya demi penyerapan anggaran tahun berjalan. Menyikapi fenomena ini, sungguh relevan jika kita menyimak tuntunan yang diberikan Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya, jika melakukan suatu pekerjaan, maka ia menuntaskannya secara bertanggung jawab.” (HR. Al-Baihaqi)
Slogan kerja terakhir yang didengungkan adalah “kerja ikhlas”. Beda dari slogan pertama dan kedua yang menitikberatkan pada olah fisik dan olah akal, slogan ketiga ini lebih mengarah kepada olah batin. Kerja bukan semata untuk mencari dan menumpuk materi. Jika itu yang menjadi tujuan, maka telah terjadi pengerdilan hakikat kerja.
Singkatnya, kerja harus diniati ibadah, demikian kira-kira simpulan dari pesan Rektor UM yang terakhir. Atau, meminjam slogan rekan-rekan kita di Kementerian Agama (Kemenag), “Ikhlas Beramal.” Slogan ini juga sangat selaras dengan nasihat orang-orang bijak, “Jika Kau mencari dunia, maka ia akan meninggalkanmu! Tetapi, jika Kau mencari akhirat, maka dunia akan datang kepadamu.”
Penting untuk dicatat di sini, kerja ikhlas tidak berarti bekerja tanpa imbalan (baca: upah). Sama sekali tidak! Hanya saja, poin ini mengamanatkan agar pekerjaan itu dilaksanakan secara maksimal dengan segenap tenaga dan pikiran tanpa memperhitungkan imbalan yang nantinya diperoleh. Jika tiga slogan kerja yang diajarkan Rektor UM di atas dapat diimplementasikan di lapangan, maka kita semua akan memperoleh dua benefit sekaligus, yakni ganjaran dunia dan pahala akhirat.
Diakui atau tidak, penerapan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) di UM, termasuk pemberlakuan remunerasi sejak awal tahun 2015, sedikit banyak menimbulkan “kegaduhan” internal, karena ada perubahan model penghargaan atas prestasi kerja. Dulu, begitu pekerjaan selesai, imbalan langsung diterimakan secara langsung (cash and carry). Kini, pola itu berubah, di mana insentif diberikan berdasarkan kinerja.
Kami meyakini, jika tiga amanat kerja dari Rektor UM dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab oleh setiap elemen di kampus, maka akan tercipta harmoni di setiap sektor dan level. Pimpinan dan bawahan akan saling bersinergi, tanpa ada apriori. Tidak ada saling sikut antar pimpinan di tingkat atas, dan tidak ada benturan antar staf di lapisan bawah. Tidak terjadi saling tuding karena adanya asumsi pihak tertentu mendapat insentif lebih besar dari kinerjanya. Sebab, semuanya menyadari kerja itu adalah ibadah, sehingga harus dilakukan secara ikhlas.
Last but not least, kepada segenap civitas akademik UM, terkhusus untuk kru Majalah Komunikasi: mari kerja keras, kerja berkualitas, dan kerja ikhlas. Jika itu sudah dilaksanakan, maka Anda layak menerima imbalan yang pantas.

Penulis adalah Anggota Penyunting Majalah Komunikasi