Oleh Teguh Dewangga

cerpen syekh

Selama kau berjalan mengunjungi kampung kami, maka tak akan kau temui warga yang miskin dan melarat. Semua orang hidup berkecukupan. Tak berlebihan. Dan tak akan ada orang yang perangainya pongah, sombong apalagi pesong. Masjid dan mushola berdiri dengan sederhana tanpa ada rumah yang dapat mengalahkan kesahajaannya. Tapi, ketika kau sampai di tepi sungai, kau akan melihat gubuk yang amat memilukan. Hanya berdindingkan bambu, beratapkan pandan dan daun puan. Tapi, aku sangat menghormatinya lebih dari masyarakat kampung, ia yang menyelamatkan hidupku. Bapak sekaligus guru.
Aku melangkah menuju gubuknya membawa serantang gulai kepala ikan. Namun, yang kudapati hanya gubuk yang hening dengan pintu yang ternganga tak terkunci. Aku mencium bau harum. Seperti bunga kenanga manis.
***
Sore itu baru serupa kecambah, namun cakrawala nampak seperti roman perawan yang tengah jatuh hati sedangkan sekawanan burung bengal terbang dengan riuh dan segera kembali pulang ke sarang. Aku duduk dengan tenang, menikmati angin yang berhembus bimbang. Diriku hendak mengusir jauh kenangan dan rindu yang memadat, namun memoar tentangnya memilih untuk diputar kembali.
Masyarakat menyebutnya Syekh Nairud, dirinya lebih memilih kedamaian, lebih senang tinggal di gubuknya yang jauh dari rumah-rumah orang kampung. Tubuh tuanya amat senang menikmati gerusan air sungai yang bersenandung pelan di belakang gubuknya sembari memandang hamparan kebun sawi yang hijau di beranda depan. Di samping gubuknya terlihat sebuah pohon durian yang lebat. Buahnya ranum dan elok. Warnya hijau kekuningan.
Saat aku jatuh dari pohon kelapa, beliaulah yang menolongku. Tubuhku menghantam pematang sawah. Mataku hanya bisa mengerjap sedangkan rasa sakit perlahan menjalari punggungku. Kala itu uluran tangannya sangat kuat dan tegas. Matanya hijau, sewarna daun seledri dengan kelopak coklat yang berkerut. Angin mengibaskan gerai lebat rambutnya.
Aku hanya ingin mengambil sebuah kelapa hijau. Karena aku merasa lapar setelah berhari-hari aku menembus hutan dan sampai di kampung ini dengan keadaan lusuh. Perang saudara telah pecah di desaku. Maka seketika itu ayah menyuruhku pergi menembus hutan untuk melindungi diri. Dan kini, mungkin kepala kedua orang tuaku telah tergantung di tiang rumah, menyisakan hatiku yang semakin remuk redam.
Aku segera dibopong dan dibawa ke gubuknya. Gubuk yang sejuk membuatku sedikit tenang dan perlahan dadaku dapat menghirup udara segar. Ia segera beranjak menuju halaman. Dari celah dinding, aku melihat dirinya sedang mengetuk batang pohon durian dengan jemarinya sembari menggumam sesuatu, tak lama buah durian yang ranum jatuh menghantam belukar. Dan kelak aku tahu bahwa pohon durian tersebut bukan pohon durian biasa dan gumamannya merupakan sholawat nabi yang ia lantunkan dengan begitu indah.
“Bukankah sekarang tak musim durian?”
“Pohon ini senantiasa berbuah tanpa mengenal musim,” ujarnya.
Luka-luka lebam dipunggung dan tubuhku yang lain segera ia lumuri dengan buah durian yang melumer. Baunya harum dan jika menilik dari kulit luarnya saja, semua orang akan paham bahwa durian tersebut merupakan durian yang paling nikmat. Seketika perutku kembali bergejolak, mengingatkanku bahwa aku tak makan apapun sejak semalam.
“Makanlah sisa durian itu, lekas ambil air wudhu dan mari kita sholat!”
Sejak saat itu aku menyambung kehidupan di bawah naungan Syekh Nairud. Selang beberapa waktu aku mengerti mengapa Syekh Nairud sangat dihormati oleh warga kampung. Setiap pagi, siang dan sore selalu ada warga yang membawa makanan untuknya. Bukan tanpa alasan warga bersikap demikian. Ketika salah satu warga mempunyai sanak saudara yang sakit maka Syekh Nairud akan mengetukan jarinya ke batang pohon dengan membaca sholawat nabi, maka buah durian yang telah masak akan jatuh dengan sendirinya. Seolah dengan patuh menerima perintah untuk berpisah dari reranting pohonnya.
“Bawalah dan bacakan ayat-ayat Alquran yang kamu hafal, insya Allah saudaramu lekas sembuh.” Salah satu warga tersebut kembali membawa rantang kosong dan sebuah durian ranum. Aku tahu bahwa dengan demikian Syekh Nairud telah membantu warga yang dilanda musibah.
Jika menilik pohon duriannya yang senantiasa tumbuh, maka akan terlihat satu buah durian yang nampak selalu hijau, seperti tak bisa matang dan tak pernah jatuh ketika Syekh Nairud menyentikan jarinya. Aku pernah bertanya, mengapa durian tersebut tidak pernah matang? Syekh Nairud memperlihatkan senyumnya, wajahnya yang halus semakin membuat hatiku serasa damai.
“Jika durian hijau tersebut menguning, maka umurku di dunia ini tinggal sebentar lagi. Dan jika suatu saat durian itu jatuh maka tugasku di dunia ini juga telah usai.”
“Bukankan kematian tidak diketahui oleh seorang pun?”
“Allah memang menjadi penentu dan tak ada seorang manusia pun yang akan tahu ajalnya. Tapi yakinlah bahwa tanda-tanda berakhirnya kehidupanku telah digariskan melalui durian tersebut.”
Aku kembali termenung, sekali lagi menatap wajahnya yang sederhana dan matanya yang kehijauan. Sekian lama aku bersamanya, aku dapat memahami semua makna hidup di dunia. Dan aku berdoa, semoga durian hijau tersebut tak kunjung menguning dan jatuh menghantam tanah.
***
Setiap hari aku mengurus sawah Syekh Nairud. Tanahnya yang gembur dan udara lembab di kampung ini sangat cocok untuk bertanam sayuran. Sore itu aku menuju pasar sayur usai pagi tadi memanen sawi. Perangai warga di kampung ini tak banyak berubah, tetap dengan kesederhanaan, tak saling menonjolkan kekayaan. Hampir semua menggarap sawah dan beberapa memilih menanam sayuran seperti diriku ini.
Tak ada jual beli yang alot, semua saling percaya. Ketika harga sayur turun maka petani akan legowo membawa hasil yang didapat dan ketika harga sayur naik maka para tengkulak akan memberikan harga yang tinggi pula. Mungkin kampung ini benar-benar diberkati oleh Allah sehingga menjadi kampung yang amat didamba-dambakan oleh semua orang.
Namun, ada yang membuatku lebih takjub, aku melihat senyum manis seorang gadis yang turut serta ayahnya menjadi tengkulak sayur. Sejak beberapa lama aku telah memendam perasaan kepadanya, namun aku sungguh tak berani berbincang barang sepatah kata. Hanya berharap dapat memandang semburat merah pipinya lebih lama dari biasanya. Barangkali memiliki gadis tersebut hanya sebuah angan-angan dari risalah hati yang mendadak bergejolak. Entahlah.
Selepas menjual sayur Syekh Nairud tengah menungguku di beranda. Dirinya beranjak menuju pohon durian, mengetukan jarinya tiga kali dan bunyi durian yang terhempas ke tanah tertangkap pendengaranku. Lantas aku duduk menunggunya.
“Sekarang berapa umurmu?” tanyanya bersamaan dengan hempasan tubuhnya di kursi bambu miliknya.
“Dua puluh enam tahun Syekh, mengapa?”
“Mari kita ke rumah Amin, sudah waktunya kau membangun rumah tangga sendiri.” Aku tergagap. Siapa pula si Amin itu? Ia segera mengganti baju dengan yang lebih pantas. Kemudian berjalan melewati sawah dan jalanan kampung yang lengang saat sore hari. Aku mengikutinya dengan langkah pendek dan berat. Syekh Nairud berjalan dengan membawa durian di tangan kanannya. Aku berhenti. Berpikir sejenak. Ini adalah kejanggalan yang kesekian kalinya. Dan mengapa pula aku harus mengikutinya? Sudah waktunya menikah? Mendadak keringat dingin membasahi tengkukku.
Sampai di rumah Amin tersebut kami disuguhi minuman dan kudapan yang beraneka ragam. Rasa hormat kepada Syekh Nairud tak akan luntur dari benak warga kampung. Amin yang disebut-sebut Syekh tadi segera muncul, rambutnya masih kebas seusai mendirikan sholat Ashar. Dan aku benar-benar tergagap ketika Amin yang dimaksud oleh Syekh Nairud adalah pria yang menjadi tengkulak sayur tadi sore, sekaligus bapak dari gadis yang menggetarkan perasaanku. Amin merasa terkejut karena didatangi oleh tamu seagung Syekh Nairud. Mukanya menjadi lebih lembut dan ramah. Berulang kali kami diminta untuk meminum atau memakan kudapan yang tengah dihidangkan. Syekh Nairud meminumnya dengan santai. Sedangkan aku memilih diam karena tenggorokanku mendadak terasa tersumpal kapas dan getah cempedak.
“Amin, kedatanganku kemari untuk menyampaikan keinginan anakku ini. Aku ingin anak gadismu menjadi menantuku. Istri dari anakku. Sama kita ketahui bahwa anak gadismu telah lewat umur dua puluh tahun. Tak baik membiarkan dirinya berjalan sendiri tanpa ada pendamping.”
Untuk kali ini dadaku benar-benar semakin berdebar. Aku berkeringat saat gadis tersebut dipanggil oleh bapaknya dan duduk bersama kami. Sikap Amin tak menunjukkan penerimaan secara sepihak. Sehormat apapun dirinya kepada Syekh Nairud tapi keputusan tetap berada di tangan gadis tersebut.
Roman mukanya mendadak senang, semburat merah dipipinya menjadi lebih kentara kala Syekh mengutarakan maksud dari kedatangannya. Dan gadis tersebut mengangguk malu. Aku sendiri seperti tengah melayang. Bagaimana bisa sore tadi aku menatapnya dan tak berani berucap, lantas kini dia mengangguk ketika diminta menjadi istriku?
“Makanlah durian ini, dan tentunya sebagai mas kawin pernikahan kalian.”
Perasaan senangku segera berubah. Aku bertanya-tanya elokkah durian dijadikan sebuah mas kawin? Namun, Syekh Nairud tak menujukkan gelagat yang meragukan. Ia tetap tenang berjalan dengan santai seperti biasanya. Kembali menyusuri jalanan kampung. Terkadang beberapa anak yang telah pulang mengaji berebut untuk mencium tangan Syekh Nairud.
Maka beberapa minggu selanjutnya aku benar-benar orang yang paling buncah di kampung. Pernikahan yang sederhana namun tetap saklal, terlebih lagi istri yang cantik dan menjadi dambaanku. Dan aku paham mengapa Syekh Nairud memberikan durian sebagai mas kawin. Daging durian tersebut memang harum dan manis layaknya durian ternikmat, namun biji buahnya berubah menjadi bongkahan-bongkahan emas yang mengilat.
Kala berbutir-butir hujan menggelayuti puak kemangi pagi itu, aku masih memilih merengkuh tubuh istriku. Senyum manisnya membuat ulu hatiku menghangat.
***
Bau harum kenanga manis tersebut segera menyeruak sampai sudut-sudut kampung. Membuat penciuman siapapun akan melunak dan beberapa orang segera mencari sumber wewangian tersebut. Ada warna jingga di sore hari, langit yang cerah dengan gumpalan awan rangah yang seolah tengah berbahagia. Aku tahu bahwa langit dengan senang hati menyambutnya.
Saat aku melangkah masuk, dirinya sedang tidur dengan tenang. Bau harum kenanga yang menyeruak nampak seperti keluar dari tubuhnya. Ia tengah tersenyum namun matanya tak terbuka. Dadanya tak bergerak naik turun. Aku berlari menuju beranda. Memandang ke atas. Melihat tak ada satu pun buah durian yang berada di atas pohon. Desir penyesalah tiba-tiba merambati diriku. Keheningan serupa bentangan jurang petaka yang amat luas.
Bahkan aku tak sempat melihat durian yang selalu hijau miliknya berubah menjadi kekuningan. Di balik belukar aku menemukan durian yang menjadi pertanda hidupnya. Aku teringat bahwa durian tersebut mulai kuning dan jatuh maka tugasnya di dunia ini telah usai. Rasa bersalah itu semakin dalam, mengingat semakin lama semakin aku jarang menjenguknya. Air mataku mendadak pecah sehingga membiaskan penglihatanku. Syekh Nairud telah pergi.
***
Sepeninggal Syekh Nairud, tak ada lagi orang yang menjadi panutan semua warga kampung. Tak ada lagi warga yang bertegur sapa dengan ramah. Mereka lebih sibuk menumpuk kekayaan. Lebih sibuk jadi orang kantoran dari pada petani.
Aku merindukan kesederhanaan dan kesehajaan kampung seperti dulu. \

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Teknik Otomotif