Centong tumbuh dengan menyimpan bertumpuk sejarah yang tak seorang pun enggan menggali kembali. Bukan hanya karena kisah tersebut membawa perpecahan, tapi semua orang tak ingin lagi menyiram air garam pada luka lama.
Seperti Miftah dan Fauzia yang tumbuh dalam perbedaan tradisi, mereka sekolah dalam madrasah dan belajar fikih yang berlainan. Tapi, suatu ketika keduanya bertemu tanpa sengaja dalam sebuah bus menuju Surabaya. Titik-titik cinta tumbuh. Setelah berbilang tahun, keduanya memutuskan untuk menikah.
Keputusan keduanya seperti merobek kembali sejarah di Desa Centong. Bu Yatun, ibu Fauzia menangis ketika anak perempuannya mengutarakan keinginannya. Bukan karena Bu Yatun tak mau mengambil mantu yang tak melafalkan doa qunut dalam salatnya ataupun tak bisa mengimami tahlilan. Karena alasannya tidak sedangkal itu.
Begitu pula saat Miftah mengutarakan maksud untuk meminang anak Pak Fauzan tersebut, Abahnya hanya menunduk dengan tenggorokan tercekat. Bukan karena Fauzia merupakan bagian dari orang Selatan-orang Muhammadiyah menyebutnya demikian, yang jumlah rakaat tarawihnya berlainan dengan kelompok mereka. Alasannya juga tak sesederhana itu. Badai yang menghalangi mereka sampai mereka mendapati cerita sejarah yang kembali melibatkan perasaan. Tentang persahabatan, serta keyakinan cinta di antara kedua orang tuanya.
Pak Iskadar, Abah Miftah merupakan sabahat kecil Pak Fauzan. Mereka tumbuh dalam tradisi menggembala kambing. Mencari rumput, tidur di masjid ketika malam tiba, serta merampungkan sekolah rakyat bersama. Mereka saat itu benar-benar menjadi dua orang yang tak bisa dipisahkan. Meskipun pada akhirnya Pak Fauzan melanjutkan ke pesantren di kota dan Pak Iskandar dengan keterbatasannya memilih menetap di Centong, tapi jarak bukanlah menjadi penghalang kerekatan hubungan mereka.
Dahulu hanya ada satu masjid yang berdiri di Centong-masjid orang Selatan. Tapi, kedatangan Cak Ali, guru Pak Iskandar menjadi sekat baru yang tengah berlangsung di tanah Centong. Di mana kaum muda terbakar semangat Kaum Pembaharu, menentang tindakan masyarakat yang tidak sesuai dipikiran mereka. Tak urung gesekan sosial timbul menjadi titik api yang kemudian melebar merapuhkan semangat persatuan. Para tetua tak terima tradisi mereka diinjak-injak orang yang tak jelas juntrungnya. Begitu pula Kaum Pembaharu yang menyesalkan pemikiran kaum tua yang kolot dan tidak bisa menerima sedikit masukan tanpa mempertimbangkan kebaikannya. Perlawanan semakin sengit memperebutkan masjid yang seharusnya mempersatukan seluruh orang Centong tersebut.
Bagi Pak Fauzan, Pak Iskandar dan kelompok Cak Ali seharusnya tak membuat kelompok sendiri apalagi saat itu persatuan sangat dibutuhkan untuk menghalau komunis. Kedua sabahat tersebut sampai pada titik di mana konflik tak dapat lagi diselesaikan dengan pikiran terbuka. Mereka berdua berubah menjadi ‘musuh’ saat Kaum Pembaharu membangun sendiri masjid yang jaraknya hanya selemparan batu dari masjid Nahdliyin-mereka menyebutnya masjid Utara, masjid Muhammadiyah.
Kedua kelompok ini saling berebut hati masyarakat sehingga Centong memiliki jamaah salat yang terpecah. Pak Fauzan pulang dari pesantrennya dengan membawa harapan yang disematkan oleh golongan tua untuk menghalau derasnya perkembangan masjid Utara. Keduanya tak lagi saling tegur. Puncak dari sikap dingin mereka adalah ketika Bu Yatun, seseorang yang disukai Pak Iskadar dijodohkan dengan Pak Fauzan. Membuat jurang yang mereka gali menjadi semakin lebar dan tak terlihat ujungnya.
Setelah itu, Pak Fauzan menjadi pemimpin masjid Utara dan Pak Iskandar menjadi pemimpin masjid Selatan, keduanya tak semestinya mengorbankan masa depan anak mereka berdua. Pada akhirnya kebijaksanaan mereka berdualah yang menjadi sebuah jembatan untuk melewati jurang yang kelewat lebar dan dalam itu.
Mahfud Ikhwan dalam bukunya ini tidak sedikitpun bermaksud untuk membela salah satu golongan, ia tak sekadar menunjukkan perbedaan atau membenarkan antara dua ormas yang kini telah tumbuh besar di Indonesia. Tapi, ia justru menawarkan sebuah sudut pandang dalam menyikapi sebuah perbedaan yang begitu lekat mendarah daging di masyarakat.
Buku ini menjadi sumbangan besar bagi sastra di Indonesia, sekaligus menjadi sebuah dokumentasi sosial yang teramat berharga. Di dalamnya turut merawat ingatan mengenai sejarah tumbuh kembangnya agama di desa Centong. Pun bisa menjadi obat kedua kelompok tersebut yang masih bergesekan. Semangat dalam mengajarkan Islam pada masyarakat yang sebagian besar petani merupakan semangat dakwah Muhammadiyah yang patut dicontoh, serta persatuan kelompok Nahdliyin dalam menghidupkan kembali kegiatan masjid juga menjadi langkah bijak yang bisa ditiru oleh masyarakat.
Melalui Miftah dan Fauzia, kedua kelompok itu akhirnya melunak dan saling menerima. Pernikahan keduanya benar-benar menjadi jembatan yang bahkan tak seorang pun ragu untuk melewatinya. Karena sejatinya perbedaan bukan untuk saling menjatuhkan, bukan untuk saling ditonjolkan, tapi untuk saling diterima dan dihormati.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Teknik Otomotif. Pustaka ini Juara II kategori Pustaka Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015.