Gafatar,
Ajaran Millenaris Lama yang Diperbarui

Oleh Yusuf Hanafiagama2

Hampir sebulan terakhir, organisasi kemasyarakatan (ormas) Gerakan Fajar Nusantara alias Gafatar menjadi buah bibir yang diperbincangkan secara luar di mass media tanah air, baik cetak maupun elektronik. Hal itu dipicu oleh aksi pengusiran terhadap sedikitnya 1.124 orang bekas anggota ormas Gafatar dari kediaman mereka di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Puncaknya adalah saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa sesat bagi ormas tersebut.
Dalam jumpa pers di gedung MUI, Jakarta, Rabu (03/02) tahun lalu, Ketua Umum MUI Pusat, KH Ma’ruf, mengemukakan dasar atas fatwa sesat terhadap Gafatar. “Mereka sesat karena merupakan metamorfosis al-Qiyadah al-Islamiyah dan menjadikan Ahmad Musadeq sebagai pemimpinnya,” kata KH Ma’ruf kepada wartawan (http://www.bbc.com).
Gafatar, dalam pandangan MUI Pusat, juga sesat karena menganut ajaran Millah Abraham. “Millah Abraham mencampuradukkan agama Islam, Nasrani, dan Yahudi. Terhadap mereka yang meyakini paham itu, maka dinyatakan murtad dan keluar dari ajaran Islam,” ujar Ma’ruf (http://www.bbc.com). Masih dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF meminta pemerintah mengembalikan aset yang dimiliki ribuan orang mantan anggota Gafatar. Menurutnya, hak-hak warga eks Gafatar harus dipenuhi walau mereka telah dinyatakan sesat.
Fenomena munculnya ajaran-ajaran yang dapat dikatakan sebagai sempalan dari agama-agama besar, terutama Islam, menjadi fakta yang menarik. Tulisan ini akan mencoba membedah keyakinan ormas Gafatar secara ringkas dari sudut pandang Islam.

Gafatar, Sesatkah?
Beberapa ajaran Gafatar yang mendorong Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat adalah sebagai berikut. Pertama, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir. Sesudahnya akan ada lagi nabi dan rasul. Pengikut Gafatar harus mengakui bahwa pemimpinnya Ahmad Musadeq adalah nabi dan rasul yang dimaksud itu. Menurut mereka,  hal ini sesuai dengan perkataan Muhammad bahwa nanti di akhir zaman akan muncul Mesias sang pembebas, yaitu al-Masih yang dijanjikan oleh Allah (al-Masih al Maw`ud) yang akan dibangkitkan dari bangsa A’jam (bukan bangsa Arab). Karenanya, pengikut Gafatar harus membaca syahadat sesuai dengan keyakinannya bahwa al-Masih al-Maw`ud adalah Rasulullah, sehingga syahadatnya berbunyi: “Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna al-Masih al-Maw`ud Rasullullah”.
Kedua, aliran ini tidak mewajibkan pengikutnya untuk menjalankan shalat lima waktu, berpuasa, zakat, dan ibadah haji yang menjadi rukun Islam. Karena menurut aliran ini, fase yang sedang ditempuh saat ini adalah fase Makkah, bukan Madinah. Sesuai dengan yang dialami Muhammad, pada fase Makkah tidak ada perintah melakukan ibadah mahdhah, seperti: shalat, puasa, haji dan lain-lain. Sementara itu, yang menjadi garapan fase ini adalah perbaikan akidah, sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu yang membutuhkan perbaikan akidah jahiliyah. Maka dengan demikian, menurut aliran ini, shalat, puasa dan haji belum saatnya diwajibkan.
Aliran Gafatar, pada dasarnya mengandung kesamaan dengan beberapa aliran yang telah mencuat sebelumnya, seperti Ahmadiyah dan Lia Eden (Salamullah). Isu yang dikembangkan pun tidak jauh berbeda dengan isu sentral Ahmadiyah dan yang lain, bahwa Isa al-Masih al-Maw`ud atau al-Mahdi akan datang memperbaiki kualitas kehidupan manusia menjelang hari terakhir tiba. Dalam realitas, keyakinan semacam ini tidak hanya manjadi milik agama Islam semata, melainkan juga disepakati oleh agama lain dan dikenal dengan istilah millenarian.
Millenarian adalah gerakan religius yang didorong oleh harapan akan tibanya keselamatan dengan ciri-ciri berikut. Pertama, keselamatan itu bersifat kolektif, dengan pengertian dapat dinikmati oleh semua pengikut gerakan tersebut. Kedua, bersifat terrestrial, dengan pengertian bahwa ia akan terwujud di atas dunia ini dan bukan di akhirat nanti. Ketiga, bersifat segera, dengan pengertian bahwa keselamatan tersebut akan tiba dengan segera tanpa terduga-duga. Keempat, bersifat total, dengan pengertian bahwa keselamatan tersebut secara total akan mengubah kehidupan di atas dunia. Sehingga yang terjadi bukanlah perbaikan semata-mata, tetapi penyempurnaan terhadap keadaan-keadaan di atas dunia ini. Kelima, dilaksanakan oleh agensi-agensi yang secara sadar dipandang sebagai kekuatan supernatural.
Dalam Islam, persoalan al-Masih al-Maw’ud merupakan masalah  kontroversial yang mengundang para ulama menulis berbagai macam buku sesuai dengan keyakinan pendapatnya. Ibn Hajar al-Haitami misalnya, ia  menulis buku yang isinya memperkuat adanya al-Masih al-Maw`ud, yang menurutnya identik dengan al-Mahdi al-Muntadhar (yang dinantikan). Abdul Mun`im al-Namir menulis buku yang isinya melemahkan semua riwayat yang terkait dengan al-Mahdi al-Muntadlar dan al-Masih al-Maw`ud, dan Syekh al-Mutawali Sya’rawi yang menjelaskan bahwa Isa akan turun lagi ke bumi sebagai pengikut ajaran yang dibawa Muhammad. Isu inilah yang  merangsang aliran-aliran baru yang muncul belakangan ini. Di samping karena adanya faktor kebingungan seseorang yang masuk ke dalam dunia mistis tanpa adanya kematangan akidah.
Selanjutnya, mengapa aliran ini mendapat respon yang cukup baik, khususnya di kalangan pemuda? Azyumardi Azra menyatakan, lakunya ajaran sesat di kalangan anak muda itu lantaran masyarakat kini mengalami kondisi yang serba tidak menentu. Anak-anak muda tersebut berusaha mencari seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan dapat menerima krisis identitas mereka. “Dalam sosiologi keagamaan, ada yang disebut harapan eskatologis. Dalam harapan ini, anak muda percaya bahwa pemimpin mereka adalah juru penyelamat, Imam Mahdi, atau apa pun yang akan menyelamatkan mereka,” ujarnya (http://id.wordpress.com).
Harapan itu terbit, karena pemahaman agama mereka belum mempunyai dasar yang kuat. Akibatnya, kata Azra, mereka mengalami misleading dalam pencarian. Faktor berikutnya yang turut berperan: adanya kecenderungan pembiaran umat oleh para pemuka agama sehingga dimanfaatkan penyebar aliran baru. Di sinilah, kepiawaian menjual ajaran itu muncul. Mereka dengan intens mendatangi dan menawarkan bimbingan.

Epilog
Gafatar adalah nama sebuah ormas baru yang mengusung paham sempalan lama, yakni ajaran Millenarian. Ormas yang berasal dari reinkarnasi kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah (yang dibubarkan oleh Pemerintah RI tahun 2008) itu dipimpin oleh Ahmad Musadeq (seorang PNS keturunan Betawi, yang tahun 2008 divonis empat tahun penjara). Ia mengaku sebagai nabi dan rasul dengan gelar al-Masih al-Maw`ud yang menggemparkan nusantara. Tak heran,  MUI secara tegas menyatakan bahwa ajarannya itu bertentangan dengan Islam bahkan telah menodai dan mencemari citra Islam. Pengikut aliran ini terdiri dari kalangan dewasa dan pemuda yang mayoritasnya belum banyak paham agama dan terhimpit kemiskinan.
Last but not least, setelah mengetahui seluk-beluk keyakinan Gafatar, bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap ormas Gafatar? Apakah kita harus menghakimi dan mengusirnya? Jangan!
Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Kita tidak boleh main hakim sendiri terhadap pengikut Gafatar. Ajaran Gafatar memang menyimpang, tetapi tidak dengan alasan itu kita boleh main hakim sendiri. Sebab, sangat mungkin pengikut agama baru Millah Ibarahim itu awam dan tidak tahu tentang agama Islam yang haq. Oleh karena itu, sikap terbaik kita adalah berusaha mengajak mereka kembali kepada Islam dengan cara yang terbaik (bil hikmah wal mauidhah hasanah). Wallahu a’lam
Penulis adalah dosen Jurusan Sastra Arab dan  anggota penyunting Majalah Komunikasi.