Makiatul Madaniah, Juara I Hifdzil Quran 10 Juz MTQ Nasional 2015.

Terbit Fajar Hingga Mega Merah Muroja’ah,
dalam Gelap Bertahajud

Makiatul Madaniah gadis sederhana nan ulet penghafal qalam illahi. Beranjak dengan latar belakang terpilin bak pintalan benang pudar.
Ia tak henti banting tulang meskipun dalam ruang broken home. IMG_20150807_232653Menapaki golden age, Makia tak pernah merasakan hangat dekapan kedua orang tua. Meski sangat mudah didapat oleh anak-anak seusianya. Kesendirian dan peran tunggal sang ibulah yang tegar mendidik Makia dan ketiga saudaranya. Di tengah gencatan ekonomi dari segala arah yang menyusuri kehidupannya, Makia tak henti banting tulang untuk ia dan sang ibu.
Tak heran jika ia sangat nriman tinggal di pesantren bertahun-tahun. Yang bahkan hampir tak ada ruang privasi di dalamnya. Satu dan menyatu dengan beragam ras dan karakter ia temui. Tak perlu megah dengan kerlipan lampion di seluruh atap ruang.
Begitu pula saat penulis menemui Makia di pesantren Malang. Walaupun di tengah pemukiman padat dan di pinggir kota. Tak ada yang mengetahui jika di daerah tersebut memiliki pesantren hafidz. Pesantren tak bernama di bawah naungan Drs. H. Muhammad Asrukin di pemukiman padat Klaseman. Memasuki gang sempit di balik pemukiman berlantai dua. “Mari silahkan masuk, maaf saya tidak bisa keluar karena memang harus berada di pondok,” sapa Makia.
Makia tak sedikitpun menghabiskan waktu untuk sekadar berhahahihi di tempat umum. Pilihan untuk menetap di pesantren seusai perkuliahan ia lakoni. “Saya lebih baik muroja’ah hafalan saya daripada harus berkerumun dengan banyak orang, yang ada akan menimbulkan ghibah di dalamnya,” kata Makia. Ia tak sanggup jika harus melumuri hati dan pikirannya dengan hal-hal yang menimbulkan kemudaratan. “Jika saya hanya sedikit saja menaruh kesal pada orang. Itu yang akan merugikan diri saya sendiri. Hafalan saya tidak akan sampai dan batas mana saya harus melanjutkan. Astagfirullah, itu sangat membuat hati saya tersiksa,” tegas Makia.
Makia memulai kembali menjaga hafalan dan bukan sekadar tuntas hafal 30 Juz. Ia terus mengulang-ngulang hafalan dengan setoran pada Kyai Asrukin. Memang ia menyadari bahwa bukan hanya sebatas hafal 30 juz dan hilang, namun juga tetap dijaga. Muroja’ahlah kuncinya.
Dari kesabaran, keuletan, dan ketawadukan Makia dalam menjaga hafalan. Usahanya pula yang selama ini mewujudkan mimpi sang orang tua yang tertunda pada putra-putrinya sebagai hafidz Quran. Sang ibu yang sempat tidak memperbolehkan dan tidak mengetahui niat bersih Makia untuk menghafal Alquran. Dengan kekhawatiran sang ibu jika putra-putrinya tidak mampu menjaga ayat-ayat Allah dengan utuh.
Sang ibu telah mengatakan “Apa mungkin kamu bisa jadi penghafal Quran? Untuk menjaganya saja susah sekali.” Ditambah dengan ketiga kakaknya yang selalu memandang sebelah mata kemampuannya. “Bahwa aku cukup di rumah saja dan tidak usah neko-neko. Apa yang perlu diandalkan pada keluarga yang serba terbatas dan kekurangan,” Namun itu semua menjadi pecutan niat yang kokoh dan utuh pada diri Makia. Jika ia mampu menjadi seberkas cahaya untuk keluarga.
Perlahan namun pasti. Makia yang sejak SMP tinggal di pesantren, cerdas dan mampu menyerap ilmu-ilmu dari berbagai kitab. Pendalaman ilmu agama yang kuat dan bagus serta diimbangi dengan pengetahuan yang ada di bangku Tsanawiyah pada umumnya. Ia mampu mengalirkan pengetahuan tersebut ke seluruh aliran darah dan berwujud dengan perilaku serta pola pikirnya. Tak jauh pada makna nama pemberian dari ayahnya, Makiatul Madaniah yang berarti kota Makkah dan Madinah. Kota dimana kedua orang tuanya ke baitullah dengan benih suci Makia di rahim.
Nama itu terwujud maknanya di antara kota bersejarah umat muslim dengan kelahiran Rasullah dan para sahabat. Sang ibu dan saudaranya juga tak mengetahui jika selama di pesantren hingga SMA, Makia telah berusaha hatam hafalan Alquran. Semua keluarga belum ada yang mengetahui hanya ustadz dan ustadzahnya di pesantren. Makia masih belum berniat untuk menyampaikan semua hal baik itu pada keluarga. Yang ia pikirkan bahwa itu belum cukup sebagai bukti untuk membanggakan keluarga.
Tidak membutuhkan waktu lama Makia dalam menghafal, hanya dari Aliyah kelas X. Berjalannya waktu dan sang ibu juga tak sempat bertandang ke tempatnya. Sudah menjadi kebiasaan sejak pesantren di SMP jarang ada keluarga yang datang. Hingga akhirnya wisuda akbar Hafidz Quran tergelar. Makia pun mengundang sang ibu. Baru saat itu ia perlahan menjawab semua doa-doa ibu yang belum sempat terucap pada sang anak. _IMG_0003
Semua hadiah perjalanan hidup Makia karena Allah, belum selesai sampai di situ. Hingga ia membangun dan menemukan prinsip dari dalam dirinya. “Hidup-hidupilah Alquran dan jangan mencari penghidupan dari Alquran,” ucap Makia. Karena semua perjalanan itu menghadiahkan Makia dari mulai bebas biaya sekolah dari awal hingga lulus dan tidak pernah meminta bulanan pada orang tua atau ketiga kakaknya yang telah berkeluarga semua. Dan menjadi lirikan  guru baru di sekolahnya untuk mengangkatnya sebagai anak.
Sang guru yang telah melihat track record Makia, memberanikan diri tidak hanya sekadar mendidik namun menjadi putri kecil di tengah keluarganya. Namun hal itu juga diimbangi dengan tetap menjalin hubungan baik pada sang ibu. Orang tua angkat Makia yang menjadi pelengkap perjalanannya selama ini.
Makia melanjutkan pendidikannya dengan meraih beasiswa bidikmisi S1 Pendidikan Bahasa Arab. “Awalnya kenapa saya harus berada di kampus UM yang tidak ada lingkungan Alquran yang kental dan tidak ada embel-embel religi di dalamnya. Mungkin kehidupan di dalam layaknya sinetron-sinetron bergaya hedon. Namun, semua itu tak terbukti saya alami,” kata Makia.
Beranjak dari bangku kuliah di UM lah semua ilmu dan hafalannya mampu terekam dengan jelas. Makia yang sering menjuarai hifdzil maupun musabaqoh fahmul quran di tingkat regional hingga MTQ Mahasiswa Nasional XIV 2015 di UI. Ketika Ning (duta) Pasuruan ini semester tiga yang menjawarai Hifdzil Quran 10 juz di kancah nasional. “Jangan banyak keluar nak sebelum semuanya selesai, dan tahajudmu. Karena semua harapan jika belum istiqomah bertahajud, sama saja dengan bohong dan belum bermakna kamu berharap dan memohon,” kenang Makia ketika menelfon dari Jakarta pada tetangganya untuk berbicara dengan sang ibu.
Dari situ ia mampu menyampaikan dengan gamblang pada ibu dan saudaranya. Bahwa ia tidak akan mempermalukan beliau yang telah mendidik dan menimang Makia dengan cara mereka sendiri. Makia menjadi asisten guru besar Ahmad Fuad sebagai pengajar di PAI di Poltekes Malang. Tidak tanggung-tanggung pula selama di bangku perkuliahan ini ia juga menjadi da’i di berbagai acara di wilayah Malang dan Pasuruan. Di balik itu semua, Makia menyampaikan ilmunya sebagai ustadzah bagi anak-anak kecil yang ingin menghafal Alquran. “Ini cara saya untuk tetap mengalirkan ilmu yang saya miliki agar selalu bertambah dan bermanfaat bagi sesama,” tutup Makia.Arni