Oleh Choirun Nisa Ristanty

Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara menjadi tuan rumah Pimnas XXVIII pada September tahun lalu. Tidak banyak orang tahu kalau ternyata “Haluoleo” yang disematkan untuk nama kampus tersebut ternyata adalah nama pejuang asli Sulawesi Tenggara. Ketika harus kembali ke Malang, kami tidak hanya membawa pulang kenangan, beberapa medali oleh tim UM, serta oleh-oleh kacang mete khas Kendari. Namun, kami juga membawa pulang banyak khazanah pengetahuan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara. DSC_5038
Setelah berjuang selama beberapa hari di medan lomba, saya dan beberapa tim UM berkesempatan berwisata sejarah di Museum Negeri Sulawesi Tenggara yang tidak jauh dari hotel yang kami tempati. Sebelum sampai ke museum, kami diajak untuk melihat tugu MTQ yang berfungsi sebagai alun-alun Kendari dan sangat dekat dengan kantor Walikota. Tugu tersebut merupakan tugu fenomenal yang disebut MTQ Square. Disematkan nama tersebut karena merupakan tugu persatuan ketika MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) Nasional ke-21 diselenggarakan tahun 2006 di kota ini. Namun sayangnya, karena beberapa hal yang mungkin berkaitan dengan politik, tugu yang merupakan landmark kota Kendari sekaligus yang dielu-elukan sebagai “Monas” Kendari ini tidak terawat dan pembangunannya tidak diselesaikan.
Puas mendengar kisah tentang tugu MTQ, kami langsung meluncur ke Museum Negeri Sulawesi Tenggara. Di halaman museum, saya sudah disambut dengan kerangka paus biru yang memenuhi halaman museum tersebut. Kerangka paus tersebut sepanjang 12 meter yang diawetkan sekitar 18 tahun lalu dan ditemukan di pesisir pantai Desa Lakansai, Kabupaten Buton. Uniknya, kerangka paus itu ditemukan di area palung Buton yang merupakan salah satu palung terdalam di Indonesia. Sangat menarik perhatian, semua pengunjung mengabadikan momen bersama kerangka paus yang memiliki nama ilmiah balacnopetra musculus tersebut.
Masuk ke area utama museum Negeri Sulteng ini, pengunjung umum hanya dikenai biaya Rp 3000. Gedung museum ini memiliki arsitektur yang khas dengan kombinasi tradisional dan modern. Arsitekturnya mirip dengan rumah adat salah satu suku khas Sulteng yaitu suku Buton. Museum ini menyajikan sepuluh kelompok koleksi yang dibagi ke dalam dua lantai, yaitu lantai satu untuk koleksi yang berhubungan dengan koleksi geologi, biologi, dan teknologi. Sedangkan lantai dua untuk memamerkan koleksi etnografi, arkeologi, histori, numismatik, filologi, keramik, dan kesenian.
Masuk ke area koleksi pertama, saya jadi ingat tentang pelajaran IPS ketika SD dan SMP. Saya berdecak kagum karena telah menginjakkan kaki ke kota yang merupakan salah satu penghasil terbesar nikel, aspal, baja dan batu onix di Indonesia. Di sini menyajikan fakta bahwasanya Sulawesi Tenggara memang kaya akan batu alam terutama di kabupaten Buton. Bergerak sedikit ke depan, saya terpana dengan koleksi biologi di museum ini. Kata pendamping tim UM yang merupakan orang asli Sulteng, koleksi biologi ini merupakan koleksi kebanggaan masyarakat. Pasalnya, di sini banyak sekali hewan awetan yang merupakan hewan langka endemis yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Contoh binatang endemis itu adalah anoa, kus kus, babi rusa, burung alap-alap, rangkong dan kupu-kupu beraneka warna. Tidak hanya hewan darat, Sulteng punya jenis hewan laut yang langka untuk jenis kerang, kepiting, dan tiram mutiara.
Untuk koleksi teknologi, kebanyakan koleksi bersumbu pada alat-alat untuk berlayar dan memancing karena memang wilayah Sulteng dikelilingi perairan laut yang luas. Meskipun begitu, ada pula koleksi untuk sistem pertanian. Berjalan lebih jauh lagi, saya belajar banyak tentang suku-suku di Sulteng melalui koleksi etnografi. Di dalam koleksi ini dipamerkan beberapa baju adat, alat-alat rumah tangga dan kain serta alat tenunnya dari suku Buton dan suku Tolaki. Di sini juga diperlihatkan diorama “mbandu”, yaitu sistem perjodohan salah satu suku Sulteng. Lebih mencengangkan lagi, di sini dipamerkan sebuah peti mayat prasejarah yang disinyalir digunakan sebelum Islam datang dan ditemukan di goa Tanggulesi, desa Lelewawo.
Berjalan lagi ke depan, ada koleksi histori dari kerajaan Buton, yaitu tombak dan pedang  serta alat perang seperti meriam yang diperkirakan digunakan pada abad ke-17/18. Untuk koleksi numismatik lebih fokus kepada sistem mata uang dan alat tukar pembelian yang terjadi di Sulteng.
Pergi ke Sulteng, tidak lengkap rasanya jika tidak tahu perkembangan Islam di sana. Pada koleksi filologi, dipamerkan beberapa bukti perjalanan penyebaran Islam di Sulawesi Tenggara yang ditandai dengan kitab Alquran tulisan tangan. Ada pula naskah lontara yang beraksara Bugis, berbahan kayu dan digunakan untuk melihat hari-hari baik. Di koleksi keramik, ditemukan pula beberapa koleksi keramik dinasti Ming dan dinasti Ching. Pada koleksi kesenian, diperlihatkan alat musik tradisional suku Tolaki yang dinamakan ore-ore. Alat musik ini terbuat dari tembaga atau tulang yang dilubangi, lalu diberi tali.
Di Museum Nusantara ini, pengunjung bisa melihat lebih jauh bagaimana asal-asul kehidupan di pulau ini. Menarik! Itulah yang dapat saya simpulkan dari wisata edukatif kultural ini.
Penulis adalah
alumnus Sastra Inggris Universitas Negeri Malang