Ruli Andayani

Aku memang tenar. Aku diburu para pencari berita. Namaku didengung-dengungkan banyak orang. Tidak jarang, foto-fotoku juga nampang di berbagai media massa. Tetapi, ketenaranku bukanlah sebentuk ketenaran yang dimiliki oleh para selebriti dengan segudang gemerlap dan pujian dari para penggemar. Aku tenar karena statusku, terpidana mati yang tengah menanti eksekusi. Bagiku, para juru warta adalah vampir yang haus akan darah. Mereka mengorek dan membeberkan kehidupan pribadiku kepada masyarakat luas, terutama borokku. Di luar jeruji besi ini, aku tak tahu lagi sampai sehina apakah pandangan mereka terhadapku.
Para aparat hukum telah mengatur pertemuanku dengan Tuhan. Aku dipaksa untuk menghadap-Nya, besok. Aku takut sekali. Sebuah kengerian yang tak sanggup aku bayangkan. Mereka telah menyiapkan satu regu tembak yang terdiri dari dua belas orang dan enam buah peluru untuk mengusir rohku dari tubuh ini. Aku tahu, setiap orang pasti akan mati, tapi siapa yang mau mati dengan cara seperti itu.
Sesungguhnya aku tak sudi, didudukkan di kursi dengan tangan dan kaki terikat, menunggu kematian tanpa perlawanan. Orang-orang di luar sana selalu menghindar jika ditodong dengan senapan. Bahkan sekedar mendengar suara ledakannya pun mereka kelimpungan dan terbirit-birit mencari perlindungan. Sementara aku? Aku justru dipaksa untuk menunggu peluru-peluru panas yang meloncat dari ujung senapan itu mampir dan melelehkan dagingku. Aku dipaksa untuk membiarkan begitu saja bijih besi itu menembus kulitku, manusuk dadaku, dan menghancurkan jantungku hingga ia remuk, terkoyak, dan tak berdetak.
***
Jam dinding di hotel prodeo, tempatku mendekam saat ini, menjerit kencang berkali-kali. Suara itu makin membuatku ketakutan. Telingaku sengaja kusumpal dengan kedua ujung ibu jari tangan. Namun, suara itu tetap berhasil menerobos celah-celah sempit hingga dentuman sebanyak lima kali yang terpantul dari jam dinding yang telah usang itu menggema di gendang telingaku. Waktu telah menunjukkan pukul lima senja, mungkin matahari sudah mulai tenggelam. Mungkin, segala macam perlengkapan eksekusi telah dipersiapkan dengan matang. Mungkin tinggal menunggu tengah malam datang. Setelah itu, nyawaku pun segera melayang.
”Bu, benarkah tak ada lagi kesempatan untuk saya melihat semburat fajar esok pagi?” kataku pada Bu Liana. Aku berharap sekali ia menjawab ’tidak’, kemudian memberiku kabar bahagia tentang pembatalan eksekusi. Tapi lagi-lagi ia hanya diam, lalu mendekatiku dan duduk di sampingku, di atas ubin semen yang dingin.
”Sungguh, Bu. Saya takut sekali. Tolong, temani saya terus ya, Bu!” pintaku pada wanita paruh baya yang akhir-akhir ini selalu mendampingiku ke mana pun aku pergi.
”Iya. Jangan khawatir, Mbak! Saya akan selalu di dekat Mbak Astuti. Mbak yang sabar ya!”
”Kenapa saya harus menjalani hukuman ini, Bu? Kenapa permohonan grasi saya selalu tidak diterima? Bukankah Ibu sendiri tahu apa yang saya lakukan itu bukan suatu kesengajaan? Saya bukan pembunuh berdarah dingin yang patut dihukum mati, Bu.”
”Tenanglah, Mbak! Kita serahkan semua pada Tuhan,” Bu Liana mendekap tubuhku.
”Bu, bukankah Ibu tahu, saya membunuh karena diejek tak mampu membayar utang? Mereka semua mengeroyok saya. Saya hanya membela diri. Dan saya sendiri sangat terpukul saat saya sadari bahwa mereka telah tiada,” suaraku meninggi, meratap. Bu Liana Hanya diam, mengusap lembut kepalaku.
”Lalu, apakah saya benar-benar harus bertemu dengan Tuhan dengan cara seperti itu? Baiklah, saya memang salah. Saya bersedia dihukum apa saja, sampai kapan pun saya bersedia. Tapi, saya hanya ingin mati dengan cara yang wajar. Saya hanya ingin malaikat pencabut nyawa itu datang kepada saya dengan diam-diam, mengendap-endap seperti maling yang datang malam-malam saat saya tertidur lelap. Dan saya tidak menyadarinya.”
Bu Liana hanya mengaggukkan kepala ketika mendengar penuturanku. Ia mengusap-usapkan telapak tangan kanannya ke pundakku. Kuakui, memang tak banyak yang dapat ia lakukan. Apalagi untuk melepaskanku dari jeratan hukuman ini. Semua keputusan terletak pada hakim ketua. Sementara Bu Liana, ia hanyalah salah satu anggota tim eksekutor yang bertugas menemani, menghibur, memberi pengertian dan kekuatan untukku agar aku bisa bersikap sabar, pasrah, dan ikhlas dalam menjalani eksekusi mati.
”Kita ke masjid yuk, Mbak? Sebentar lagi magrib,” kata Bu Liana kemudian seraya menggandeng tanganku, sedikit diangkat agar aku segera bangkit. Kujawab dengan anggukan kepala saja. Rasanya sudah tak ada nafsu lagi untuk mengeluh atau meminta keringanan hukuman. Toh juga akan sia-sia.
Selesai salat magrib, aku menepis di pojok belakang masjid. Kucoba tenangkan hati dan pikiran. Kuhirup udara dengan penuh perasaan karena takut esok tak ada lagi kesempatan. Kurasakan detik-detik terakhir hidupku. Kutekuk kakiku ke depan dan kusembunyikan wajahku dari tatapan orang-orang. Aku tak ingin dipandang sebagai manusia yang sadis dan tak berperikemanusiaan. Kututup wajahku, kucoba selami samudera pengampunan Ilahi. Kucoba untuk kontak batin dengan-Nya. Aku hanya ingin mengatakan agar pertemuan ini dibatalkan. Para aparat hukum tak mau kompromi. Jadi kucoba berkompromi dengan Tuhan. Celaka, Tuhan tak memberi jawaban. Aku makin risau. Lalu aku bersujud.
Kusambungkan kabel telepon agar aku dapat bercakap-cakap dengan-Nya. Ya Allah, tolonglah hamba yang telah terlanjur tercebur ke dalam lumpur dosa. Angkatlah hamba agar tidak tenggelam, agar bisa menyucikan tubuh hamba, agar kembali fitri. Setelah itu, barulah undang hamba ke tempat perjamuan-Mu.  Namun, jika semua ini memang yang terbaik bagi semua orang, jemputlah hamba sekarang juga, di saat hamba menyembah-Mu seperti ini. Utuslah Izroil untuk menculikku dari cengkeraman hukuman dunia. Sembunyikan hamba di sisi-Mu, di tempat paling aman di mana hamba tak dapat mereka temukan.
”Mbak, salat isya, yuk!” alunan suara Bu Liana memecahan keheningan hingga aku terkaget dan gelagapan.
”Barusan, Mbak ketiduran.”
”Saya belum mati?”
”Apa?”
”Oh, tidak. Bukan apa-apa, Bu.”
***
”Apa permintaan terakhir, Mbak?” tanya Bu Liana pelan. Aku lihat ada mendung di kedua bening matanya.
”Saya sudah pasrah dengan semua yang terjadi pada saya nanti, Bu. Mau ditembak, dicincang, atau disate sekali pun saya tak keberatan walaupun dalam hati masih berharap ada keajaiban eksekusi ini dibatalkan,” kutelan ludah seakan menelan segumpal kekecewan karena mustahil harapan itu akan jadi kenyataan.
”Terima kasih atas semua bantuan Ibu selama ini. Maafkan jika saya ada salah kepada Bu Liana.”
”Tidak, Mbak. Saya justru senang bisa berkenalan dengan Mbak Astuti.”
Tak kusangka, di tempat ini dapat kutemukan sahabat yang begitu baik. Pertemuan kami memang singkat, tapi persahabatan kami begitu dekat. Bu Liana lalu menyerahkan pakaian putih polos untuk kukenakan sewaktu eksekusi. Aku hampir saja tak dapat menahan gejolak jiwa saat menyaksikan di pakaianku, tepatnya di dada kiriku, ada lingkaran hitam. Aku paham, itu adalah tanda untuk sasaran tembakan. Beginikah perlakuan yang pantas diterima oleh seorang pembunuh? Segera saja kubangun bendungan yang dalam untuk mengantisipasi agar air mataku tidak luber.
***
Tepat tengah malam. Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit dari rutan, iring-iringan mobil yang membawaku tiba di tempat eksekusi. Dengan mata tertutup, aku dituntun oleh Bu Liana menuju lapangan. Jantungku semakin berdetak kencang. Sepertinya aku tak mampu lagi mengendalikan. Untung Bu Liana selalu memegang erat tanganku hingga aku selalu mendapat topangan.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, Bu Liana dan seorang ustad membimbingku untuk berdoa. Tak sampai lima menit, doa selesai. Kucoba mengulur waktu dengan terus berdoa walaupun ustad tersebut telah mengucapkan ’amin’. Sampai akhirnya Bu Liana dengan lembut berkata, ”Waktunya sudah tiba, Mbak!”
Aku pasrah. Menyerah. Bu Liana menuntunku dan menyuruhku duduk di atas kursi. Ini berarti aku telah berada di tengah lapangan eksekusi. Hanya tinggal beberapa detik lagi, rohku akan segera hilang dan tubuhku akan tumbang. Kurasakan di punggungku ada bantalan keras seperti pasir. Barangkali hal ini dimaksudkan agar peluru-peluru itu tidak tembus. Tangan dan kakiku bergetar dan terasa dingin. Kusebut terus nama-Nya agar mendapat perlindungan. Sebelum berlalu meninggalkanku, Bu Liana memeluk tubuhku erat sekali seraya mengingatkanku agar aku tak berhenti berzikir. Sementara itu, tangan dan kakiku terasa dingin tak berhenti bergetar.
Belum genap aku melerai gundah, mendadak aku melihat sorot lampu yang begitu terang ke arahku. Saking terangnya, meski mataku tertutup kain hitam, aku masih bisa merasakan rasa panas dari sorot lampu itu. Beberapa hening jeda, tiba-tiba terdengar suara letusan yang begitu keras. Lalu, aku merasakan sakit yang teramat sangat bersamaan dengan benda asing yang tiba-tiba menyusup di dadaku. Panas dan tajam. Dan… semuanya mendadak gelap.

Ruli Andayani adalah alumnus Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah angkatan 2006. Saat ini menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia.