kooperatif, kolaboratif lebih pada kerja sama dengan pihak luar. Pimpinan dapat mengusahakan tokoh-tokoh di luar kampus agar bisa memberikan pemahaman tentang ideologi.
Bagi Dedi, penerapan kurikulum yang sesuai juga berpengaruh. Penataran Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) juga perlu diadopsi kembali, tetapi dengan pola yang berbeda. Misalnya, dengan mengajak anak-anak lebih aktif melalui permainan, aktivitas, proyek, atau media sosial. Menurut Dedi, materi yang diberikan tidak harus banyak, tetapi mudah dipahami. “Dulu Penataran P4 hanya mendengarkan ceramah, tidak efektif,” tuturnya.
Ormawa turut memiliki peran dalam membentuk ketahanan mahasiswa terhadap ideologi ekstrem. Namun, sebelum mereka siap membina mahasiswa lain, pengurus Ormawa harus sudah mempunyai bekal terlebih dahulu. Dedi menyarankan dalam kegiatan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) diadakan sesi pembekalan, yaitu dengan mempelajari dasar negara dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sebagai bahan perbandingan juga dapat dikenalkan dengan ideologi-ideologi dari negara lain.
Tidak mudah untuk mengategorikan mahasiswa mana yang mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem. Rosyid Al Atok berpendapat hal itu bergantung dari intensitas diskusi dan pergaulan akademik. Mahasiswa yang cenderung menutup diri adalah sasaran yang mudah. Semakin mahasiswa mau membuka wawasan bahkan dengan ideologi yang bersebrangan, maka semakin tidak terpengaruh.
Agar mampu membentuk ketahanan diri sendiri, Dedi Kuswandi menyarankan agar mahasiswa memperbanyak pengetahuan. Yaitu melalui diskusi dan aktivitas yang dapat menambah pemahaman. Tujuannya agar mahasiswa mendapatkan keyakinan bahwa ideologi Indonesia sekaranglah yang paling sesuai. “Kunjungan ke lembaga ketahanan nasional juga dianjurkan dalam rangka membentuk pemahaman yang nyata,” papar lulusan Universitas Pendidikan Indonesia itu. Selain ideologi komunis maupun fundamental, masih banyak hal lain yang perlu mendapat pandangan kritis mahasiswa. Misalnya tentang kasus Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang baru-baru ini menjadi perbincangan.
Hal serupa diungkapkan Asrofi Al-Kindy, mahasiswa Pendidikan Geografi. Bahwa sasaran paling empuk adalah mahasiswa yang pendiam. Ia mengaku lebih suka menyebut gerakan ekstrem dengan radikalisme. Asrofi menyebut, rata-rata yang mudah dikader radikalisme adalah mahasiswa yang penyendiri, pendiam, dan kesepian. Menurut mahasiswa yang aktif di BEM UM 2016 sebagai Menteri Komunikasi, Media, dan Informasi itu, radikalisme kiri sudah mati 50 tahun lalu. “Jadi, jangan diungkit lagi, nanti bangun lagi,” tambahnya. Menurutnya, cara untuk mencegah radikalisme yaitu dengan menulis sastra. “Sastra adalah pembebasan. Dengan sastra, orang tak hanya melihat hitam dan putih, tapi pelangi,” papar Asrofi.
Sementara itu, Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. lebih suka menyebut ketahanan diri mahasiswa dengan kedaulatan diri. “Karena ketahanan diri beda dengan kedaulatan diri. Kedaulatan diri dalam psikologi sosial adalah orang yang mandiri, yang tidak amrih selamete,” terang Hariyono. WR I UM tersebut juga menegaskan, orang yang tidak punya kedaulatan diri akhirnya tidak tidak pernah bisa jadi pelopor dalam bidang apa pun. Tetapi, orang yang punya kedaulatan diri, dia tidak lari dari realitas, tidak lari dari kebebasan. “Mengapa? Karena dalam kebebasan ada tanggung jawab. Karena orang yang tidak mempunyai kebebasan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban,” papar Hariyono.
“Saya ingin temen-temen itu bisa belajar politik secara cerdas,” ungkap dosen Sejarah itu. Fenomena kekuatan-kekuatan tertentu untuk memanfaatkan mahasiswa sebagai kuda troya untuk mencapai tujuannya itu sering terjadi. Hal itu bukan fenomena baru. Sama halnya seperti kisah Ken Arok membutuhkan Kebo Ijo. Hariyono tidak ingin mahasiswa UM menjadi Kebo-kebo Ijo yang jadi alat-alat kekuatan tertentu. “Kalau kita tidak cerdas, kita akan digiring masuk ke dalam permainan mereka. Ini yang harus kita cermati,” tegas Hariyono.
Ketahanan diri berlaku di mana saja, dalam berteman, masyarakat, dunia pendidikan, dunia kerja, bukan terbatas pada ideologi kiri atau kanan. WR I menambahkan, ketahanan diri ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa sikap kritis. Ia berharap warga UM itu memiliki kesadaran terhadap lingkungan di sekitar dirinya, juga kritis terhadap dirinya.
“Yang perlu kita lakukan yaitu penyadaran,” tutur Hariyono. Hariyono menganalogikan manusia dengan laptop. Laptop memiliki program antivirus. Sementara itu, program antivirus yang dimiliki manusia adalah akal. “Nah, ini yang gak pernah kita lakukan. Kita harusnya melakukan refleksi diri sehingga informasi, kebiasaan-kebiasaan buruk, dan penyakit dapat di-instal ulang untuk kebaikan,” terang Hariyono. Demikian pula dengan wacana, baik wacana kiri maupun kanan. Jika pola pikir mengandalkan akal, maka ketika ada wacana yang profokatif tidak akan terpengaruh.
Menurut WR I, pemberdayaan akal masih perlu ditingkatkan. Satu-satunya kekhasan yang dimiliki manusia adalah akal. “Orang yang diancam masuk neraka adalah orang yang berakal,” tutur Hariyono. Di dalam agama, akal itu dimuliakan. Dengan akal dimintai pertanggungjawaban. “Saya yakin, jika akal berkembang, maka ada wacana apa pun kita tidak risau,” tegasnya. Ia mengatakan, komunis akan terjadi ketika ada kesenjangan sosial. Nah, sekarang tantangan bagi kita bagaimana agar kesenjangan sosial tidak ada.
Untuk bisa maju, kita harus mau belajar dari sejarah. Kalau kita lihat, tokoh-tokoh besar itu rata-rata paham sejarah meskipun bukan lulusan sejarah. Pertanyaannya, mau jadi agen atau objek sejarah? Satu hal yang juga ditekankan Hariyono, dosen-dosen yang baik adalah yang bukan hanya menyampaikan materi, tetapi mengajak berpikir. “Change your thinking change your life,” kata Hariyono.Ajrul/Yana

IMG_9545