Tanggapan Pembaca Soal LGBT
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI)
Menurut pernyataan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) yang mengacu pada UU No 8 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III, pada dasarnya LGBT tidak dikenal dalam pustaka formal ilmu psikiatri. Dalam ilmu psikiatri, orientasi seksual yang dikenal hanyalah homoseksual, biseksual, dan transeksualisme.
Dr. Tutut Chusniyah S.Psi, M.Si
Menurut Tutut Chusniyah, selaku dosen Psikologi mayoring sosial, perlu dilihat dari sosio perkembangannya. Pada dasarnya, usia remaja sekitar 12-13 tahun, mulai melakukan identifikasi gender. Yakni bagaimana anak itu berperan sesuai dengan gender, hal itu biasanya dilihat dari fisik (jenis kelamin, red). Kalau perempuan, maka dia harus berperan layaknya seseorang bergender perempuan. Untuk melakukan hal tersebut, dia butuh model untuk identifikasi. Apabila dalam masa itu seseorang gagal memperoleh role model, maka hal tersebut dapat menyebabkan penyimpangan dalam pengidentifikasian diri.
“Kalau yang murni sosial, itu dapat terjadi akibat adanya social influence. Banyak sekali orang yang sebetulnya bukan gay atau homoseksual, tapi karena pergaulan kemudian dia menjadi seperti itu. Misalnya, biasanya lingkungan yang berkaitan dengan hal itu, adalah lingkungan yang berhubungan dengan kecantikan, seperti salon, modeling, dan sebagainya. Di sana kan ada juga yang pada dasarnya sudah memiliki orientasi yang menyimpang dan ada juga yang tidak memiliki orientasi menyimpang. Ini, yg memiliki orientasi menyimpang akan gigih untuk mendekati yang heteroseksual. Sehingga dari yang semula tidak menyukai bahkan jijik dengan hubungan sesama jenis, akhirnya dia justru memiliki hubungan dengan sesama jenis atau pacaran. Itulah social influence dan itu sifatnya sangat kuat”, papar Wakil Dekan Fakultas Pendidikan Psikologi tersebut.
Sebenarnya, praktek homoseksual sudah ada dari dulu dan hal itu merupakan bagian dari tradisi Indonesia, seperti halnya warok. Namun hal itu masih dapat ditoleransi masyarakat karena tata pelaksanaannya yang jelas sehingga masih tidak mengkhawatirkan. Mereka tidak ada unsur mempengaruhi berbagai pihak seperti sekarang. “Keadaan ini sebenarnya terjadi karena adanya pengaruh dari luar, kalau di Indonesia itu sekarang sudah dianggap sebagai bagian dari proxy war,” komentar Tutut.
Ike Dwiastuti, S.Psi., M.Psi
“Ada beberapa pendekatan dalam menentukan apakah seseorang normal atau abnormal. Ada pendekatan statistik, normatif, distres subjektif, fungsi peran sosial, dan interpersonal. Pada pendekatan statistik, perilaku yang dilakukan banyak orang adalah yang normal. Pendekatan ini banyak digunakan dalam mendiagnosis gangguan mental, namun pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, yaitu belum tentu perilaku yang dilakukan banyak orang itu adalah perilaku yang benar. Contoh, saat ini semakin banyak orang menggunakan narkoba, jadi apakah perilaku tersebut benar? Sedangkan pada pendekatan normatif, tergantung dari kesepakatan norma atau aturan yang berlaku dari suatu daerah. Kelemahannya adalah belum tentu suatu perilaku diterima di semua tempat. Misal, suatu kantor banyak yang melakukan korupsi, sedangkan orang yang tidak mau diajak korupsi dianggap aneh. Kembali ke tema, apakah jika LGBT menjadi fenomena lantas menjadikannya perilaku yang benar? Lalu jika LGBT diterima oleh banyak negara, lantas menjadikannya perilaku yang tepat? Menurut saya tidak,” papar Ike.
“Saya setuju dengan jangan melakukan tindakan diskriminatif terhadap siapa pun termasuk pada orang dengan LGBT. Penanganan terhadap fenomena ini adalah harus multidisiplin dan holistik. Kita harus intervensi dari aspek biologis, psikologis, kognitif, lingkungan, dan spiritualitas. Apabila ada yang ragu-ragu terhadap seksualitasnya maka jangan ragu untuk menemui psikolog atau psikiater, karena anak atau remaja yang masih ragu ini masih bisa dibantu untuk menentukan perilaku yang benar. Sedangkan bagi yang sudah menyatakan nyaman menjadi LGBT, diharapkan tidak melakukan propaganda dan mempengaruhi anak atau remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri,” pungkas Ike.
Pak Toen
Dari segi sosiologis, kalau itu diteruskan maka sama dengan bunuh diri masal karena tidak menghasilkan keturunan.kru Komunikasi