Prestasi. Barangkali banyak orang menganggap prestasi adalah hal yang sulit dicapai. Coba tiliklah sekelumit cerita berikut. Cerita mahasiswa UM yang mampu unjuk kebolehan  dengan segala ragam perjuangannya.foto laputt 1

 

M Alifudin Ikhsan

Bumikan Alquran dengan Prestasi

 

Alifudin Ikhsan menjadi bukti bahwa prestasi tidak melulu soal bakat. Prestasinya dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) sudah tidak tanggung-tanggung. Jika dihitung ia pernah tiga belas kali mendapat juara. Agustus lalu ia berkesempatan mewakili Jawa Timur (Jatim) dalam gelaran MTQ Umum tingkat Nasional di Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasilnya membanggakan. Ia memperoleh juara tiga dalam bidang Musabaqah Menulis Ilmu Alquran (M2IQ). Memang saat ini, ia fokus dalam penulisan karya tulis Alquran. Namun, ia sempat mencari-cari bidang yang sesuai dengannya.
Beruntung Alif bersedia menemui kru Komunikasi untuk melakukan wawancara. Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan itu berperawakan tinggi dan  berpenampilan sederhana.   Selain sering menjadi bagian dari  kafilah UM, ia juga sempat menjadi Mawapres I tingkat Fakultas Ilmu Sosial tahun 2016. Siang itu, ia bercerita  banyak tentang pengalamannya.
Sudah empat tahun Alif mengikuti MTQ. Terhitung sejak menjadi mahasiswa baru pada tahun 2013. “Saat itu ASC baru saja berdiri dan euforia MTQ mulai terasa di UM,” kenangnya. Awalnya masih mencoba-coba bidang yang sesuai. Ia tidak mungkin memilih qiraat karena merasa memiliki suara yang kurang baik. Tidak juga hifdzil quran karena ia tidak memiliki hafalan Alquran. Hingga  akhirnya merasa cocok dengan karya tulis. Bidang inilah yang mampu menghantarkan mahasiswa kelahiran Blitar itu ke mana-mana.
Dalam karya tulis Alquran, peserta harus mampu menggali kandungan dalam sebuah ayat. Pada MTQ Mahasiswa Regional Jatim 2016 di Bangkalan, Alif bersama Tsania Nur Diana mencoba untuk mengangkat kisah Nabi Syuaib yang menceritakan tentang banyaknya kecurangan dalam timbangan. “Tapi sekarang masih ada kejadian yang seperti itu,” kata Alif. Berdasarkan kajian ini, Alif melakukan karsa cipta dengan membuat Syuaib Controler. Timbangan yang dapat mendeteksi ketidaksesuaian berat. Menurut Alif, tujuan penulisan karya tulis Alquran adalah untuk membandingkan kenyataan sesuai apa yang di dalam Alquran. Pada dasarnya Alquran tidak akan pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Baginya mengikuti MTQ Umum tingkat Nasional adalah pengalaman yang unik. Bagaimana tidak, di sana Alif harus menggunakan mesin ketik. Waktu yang disediakan delapan jam untuk menulis minimal sepuluh halaman. Sebelumnya panitia hanya memublikasikan dua tema dan mengumumkan satu tema yang digunakan ketika perlombaan. “Saya sudah siap dua makalah untuk masing-masing tema di sini,” ungkap Alif sambil menunjuk kepalanya.
Selain Alif, ada dua mahasiswa UM lainnya yang turut dalam kafilah Jatim tahun 2016, yaitu Rofiatul Muna pada cabang Tilawah dan Elmiatun Nafiah pada cabang Tafsir Bahasa Arab. Ketiga-tiganya juga perwakilan dari masing-masing daerah ketika MTQ tingkat Jatim. Alif mewakili Blitar, Rofiatul mewakili Bojonegoro, dan Elmiatun mewakili Sumenep. Namun, hanya Alif yang bisa masuk dalam tiga besar ketika dikirim pada MTQ tingkat nasional itu.
Perjalanan Alif memang tidak selamanya menghasilkan juara. Misalnya pada MTQ Mahasiswa Nasional 2015 yang digelar di Universitas Indonesia. Namun, ia tetap bisa mengambil pengalaman positif dari sana.
Ketika MTQ tingkat mahasiswa, ia hanya dibina orang-orang UM. Sedangkan ketika mengikuti MTQ umum ia pernah mendapat pembina dari UIN. Dari sanalah ia mampu menyelami dan menganalisis seluk beluk kampus tersebut. Hasilnya menjadi strategi bagi UM untuk memperkuat tim kafilahnya. Adanya hadiah juga menjadi pemicu semangat yang bagus bagi Alif. “Untuk tingkat nasional minimal 10 juta,” kata Alif. Dari perolehan juara tingkat nasional, Alif memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jatim.
Bersama dengan ASC, saat ini Alif tengah mempersiapkan kafilah UM untuk MTQ yang akan datang. Ia sempat ketar-ketir memikirkan keberlanjutan karya tulis Alquran di UM. Apalagi ia merencanakan kelulusan di tahun 2017. “Jangan sampai ketika saya sudah lulus, bidang karya tulis Alquran tidak ada yang meneruskan,” ujar Alif. Ajrul

foto laput 2

 

UKM

SWARA SATATA ?AKTI    

Gemerincing di Kampus ITB

 

Sudah setahun trofi perunggu dengan tinggi sekitar 35 sentimeter berada di atas lemari milik Swara Satata ?akti (SS?). Berbentuk unik dan berhias rumah joglo. Kilaunya pun tetap terjaga bersama dengan kebanggaan mereka.

Trofi ini merupakan  prestasi juara tiga dalam ITB International Choir Competition 2015. Sebuah gelaran bergengsi dalam bidang paduan suara.
Sore itu kru Komunikasi berkesempatan untuk berkunjung ke kesekretariatan SS? yang berlokasi di Gedung I7 lantai dua. Dinding-dindingnya dipenuhi sertifikat dan medali dari beberapa kompetisi paduan suara yang pernah diikuti. Dua di antaranya Silver Medal kategori Umum Campuran pada Festival Paduan Suara ITB 2015 dan Gold B Medal kategori Adult Mix Choir dalam Satya Dharma Gita National Choir Festival 2016. Ingin kami untuk mengorek kembali cerita tentang perjuangan mereka. Lantaran prestasi-prestasi tersebut mereka anggap paling membanggakan. “Perolehan dari Satya Dharma Gita merupakan medali emas pertama bagi kami,” ungkap Aristarkhus Setyo, selaku Ketua SS?.
Keikutsertaan dalam festival paduan suara di ITB tahun 2015 tersebut bukanlah yang pertama. Pada tiga kesempatan sebelumnya, yaitu tahun 2012, 2010, dan 2008, SS? juga turut sebagai peserta. Berkali-kali pula berhasil masuk dalam babak final. Namun baru pada kesempatan terakhir predikat juara dapat dibawa pulang. Ketika diwawancai, Aris mengungkapkan kegembiraannya ketika mereka berhasil dinyatakan sebagai juara. Terang saja, perjuangan mereka tergolong tidak mudah. Mereka harus rela menginap di Bandung selama dua minggu dengan akomodasi sendiri.
Persiapan yang dilakukan untuk ke Bandung dilakukan secara matang. Ada tiga lagu yang harus dibawakan dalam masing-masing kategori. Saat itu SS? mengikuti kategori Putra, Putri, Campuran tingkat Nasional, dan Campuran tingkat Internasional. Jadi, total dua belas lagu yang harus dipelajari. Di antaranya Jagdlied yang berbahasa Jerman dan Life has Loveliness to Sell. Mereka menghabiskan waktu kurang lebih lima bulan untuk latihan lagu. Sebagai bahan evaluasi, SS? juga sempat mengadakan konser pamit. “Dari konser itu banyak sekali masukan dari tokoh-tokoh paduan suara di Malang,” papar pria berparas oriental itu.
Tidak hanya para tokoh yang memberikan masukan, juri pada festival paduan suara di ITB pun juga  memberikannya. “Mereka mengibaratkan suara kami seperti gemerincing,” kenang Sekretaris SS?, Dewi Mustikasari. Secara keseluruhan penampilan SS? sudah dinilai baik dan enak didengar. Hanya saja dengan beberapa catatan untuk memperbaiki detail-detail lagu. Detail yang dimaksud adalah teknik seperti waktu ketika harus memberikan penekanan dan waktu harus bernyanyi lantang. Pada umumnya, anggota paduan suara tidak dapat mendengarkan harmonisasi yang mereka hasilkan secara langsung. Pada titik inilah peran dirigen dibutuhkan. “Ketika bernyanyi merasa lepas saja. Namun, tetap fokus conductor supaya tidak tetap dalam kontrol,” ungkap mahasiswi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam tersebut.
Harmonisasi antarsuara dan pembawaan yang menarik menjadi bahan penilaian setiap penampilan paduan suara. Oleh karena itu, SS? mensyaratkan setiap anggotanya mempunyai pendengaran terhadap nada yang baik. Bagi anggota yang masih dasar dibutuhkan waktu yang sangat lama agar mahir membaca not. Itu pun dengan tingkat ketekunan masing-masing. Sedangkan bagi yang sudah memiliki sedikit kemampuan, paling tidak membutuhkan satu semester untuk belajar. Pada dua tahun terakhir, sistem perekrutan personel baru melalui proses seleksi. Sehingga rata-rata sudah mempunyai kemampuan lebih.
Awal Agustus lalu, SS? kedatangan tamu dari eks World Youth Choir yang singgah di UM setelah melakukan konser. Mereka terkejut karena paduan suara sekelas SS? tidak pernah sekalipun ke luar negeri. Pada kenyataannya, berlenggang di luar negeri adalah impian dari SS?. Namun tetap saja terbentur kebutuhan dana yang menjadi alasan sejak lama. “Sudah banyak kompetisi internasional di luar negeri. Kemampuan kita juga sudah memenuhi,” ujar mahasiswa Fakultas Ekonomi itu.
Beberapa minggu ini para anggota SS? disibukkan dengan jadwal latihan beruntun setiap hari. Hal ini dilakukan guna menyiapkan penampilan yang terbaik dalam konser muda yang akan datang. Kurang lebih seratus anggota baru yang sudah direkrut. Mereka bersiap untuk konser perdananya pada 25 November 2016. Untuk konsepnya? Tunggu saja.Ajrul

 

foto laput 3

 

RAHMITA SALSABILLA

Tak Layu, Prestasi Terus Dipacu

 

 

Awan-awan tipis masih menggantung di atas lapangan A3 UM kala itu. Momen yang bagus untuk Rahmita Salsabilla mengajak siswanya untuk turun ke lapangan. Terdengar sesekali dentuman bola dan canda anak-anak sekolah. “Halo-halo, perhatikan!” Ia mulai­ memberikan instruksi kepada siswi Tata Busana SMK 3 Malang. Duta Pemuda Jawa Timur ini berpostur tinggi, putih, dan berkerudung. Tahun 2016, ia baru saja lulus dari S1 Pendidikan Keolahragaan (PKO) UM dan melanjutkan ke Pascasarjana dengan jurusan yang sama. Sekilas hanya tampak seperti guru biasa, tetapi siapa sangka Rahmita mempunyai sederet prestasi yang membuat geleng-geleng kepala. Gadis asal Pasuruan itu beberapa kali memperoleh medali di Pekan Olahraga Mahasiswa Daerah (Pomda) dan Pekan Olahraga Nasional (PON) di cabang olahraga renang. Bahkan ia adalah Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) III tingkat UM pada tahun 2014.
Gadis kelahiran 1994 itu telah dikenal sejak lama sebagai atlet renang. Terakhir, ia mendapatkan dua medali perak dan satu perunggu dalam Pomda tahun 2015. Jauh sebelum itu, ia pernah mendapatkan medali perak dalam pra-PON 2012. Kemampuan dan prestasi Rahmita bukanlah hal yang instan. Jalan panjang telah ia jalani hingga sampai ke titik tersebut. Namun, di balik itu semua terdapat cerita menarik yang membuat gadis asal Pasuruan itu akhirnya belajar renang.
Menginjak kelas lima, Rahmita sudah berani menjajal beberapa kompetisi. Keberaniannya tumbuh berkat dorongan pelatih yang mendukungnya untuk ikut bertanding. Setelah sekian lama mencoba-coba, ketika kelas tujuh SMP ia sudah berhasil masuk dalam kompetisi nasional. Saat itu ia tidak lagi belajar renang di kota asalnya, namun di Malang. Mulai Senin hingga Sabtu ia harus pulang pergi dari rumah ke lokasi les. “Selesai sekolah hanya untuk ganti baju. Setelah itu langsung berangkat ke Malang naik bus dan angkot,” katanya dengan antusias.
Sebelum tahun 2009, Rahmita sudah beberapa kali menjuarai kompetisi nasional. Namun, belum secara resmi menjadi bagian dari tim Jawa Timur. Ia baru menjadi atlet Jawa Timur setelah masuk di SMA Olahraga Sidoarjo tahun 2009. Sekolah ini merupakan sekolah yang dikhususkan untuk pembentukan atlet. Selama sekolah di sana, ia rutin mengikuti pelatihan di Pemusatan Pelatihan Daerah (Puslatda)  di Surabaya. Selama itu juga beberapa kompetisi renang ia ikuti. Mulai dari tingkat nasional seperti PON hingga tingkat internasional seperti Indonesia Open. Hingga akhirnya terjadi insiden yang membuatnya harus istirahat untuk waktu yang cukup lama.
Tahun 2012 setelah mengikuti pra-PON, ia tengah bersiap untuk mengikuti PON. Latihan air maupun darat ia lakukan. Naas ketika latihan lari ia terperosok dalam lubang yang ada di lapangan. Setelah kejadian tersebut, Rahmita harus mendapatkan perawatan selama enam bulan hingga pulih. Kecelakaan ini banyak berdampak pada performanya ketika berenang. Hingga ia akhirnya memutuskan untuk vakum sepanjang tahun 2013.
Setelah itu, ia mulai berfokus pada pendidikannya di UM. Baginya perlu untuk menyelaraskan praktik di lapangan dengan teori yang ada. Hal itu juga yang menjadi alasan mahasiswi PKO angkatan pertama itu untuk memilih kuliah di UM. Penggemar Ed Sheran ini merasa beruntung karena memiliki orangtua yang selalu mendukung yang terbaik baginya. Banyak peluang prestasi yang ia ambil selama di UM. Sembari tetap menjadi perwakilan UM dalam ajang renang tingkat mahasiswa, ia mencoba mengikuti pemilihan duta. Pernah ia mendaftar seleksi sebagai Duta Kampus UM. Sayangnya, penampilan silatnya di babak semifinal tidak mampu mengantarkannya ke babak final. Performanya dalam bidang renang juga masih bisa diacungi jempol. Dengan kondisi pasca cedera ia masih bisa mendapatkan medali dalam Pomda dan lolos ke Pekan Olahraga Nasional (Pomnas). Karena ia berlatih renang sejak kecil, kemampuannya tidak akan hilang begitu saja.
Pada Pomnas 2015, ia memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk turut serta lantaran mengikuti pemilihan Duta Pemuda. Sempat mendapat pertentangan dari pihak fakultas karena dinilai tidak sesuai dengan bidang olahraga. Walaupun demikian, ia mampu menunjukkan bahwa ia bisa mendapat juara satu Duta Pemuda Malang dan tingkat Jawa Timur. Ia juga menjadi delegasi provinsinya untuk ke tingkat nasional. Menjadi Duta Pemuda harus memiliki wawasan kebangsaan dan kebudayaan yang luas. “Saya memperkenalkan tari Gandrung dan alen-alen, senam Jula Juli, dan pakaian adat Banyuwangi,” papar Rahmita. Setelah setahun bergabung dalam paguyuban, kini ia menjadi purna dan berfokus untuk mengajar dan kuliah. Sesekali ia masih ikut serta untuk mengurus pemilihan Duta Pemuda yang baru. “Untuk sekarang saya ikut ngopeni hanya ketika tidak sedang mengajar. Karena mengajar tanggung jawabnya bukan hanya kepada diri saya saja,” pungkas pelatih subbidang renang FIK itu. Ajrul

FOTO LAPUT 4

MEGA NILY SARI

inspirasi dan jelajah Dunia dengan Tari

 

 

Kostum tari dominasi warna merah muda dipadukan dengan biru di beberapa bagian dikenakan para gadis penari. Rambut disanggul dan dihiasi dengan beberapa aksesoris serta hiasan bulu-bulu. Selendang warna merah muda dikalungkan di leher. Lantunan tabuhan gamelan Malangan sesuai dengan pakemnya. Tangan, kaki, badan, mata, dan semua anggota tubuh bergerak sesuai ketukan. Sembilan penari membentuk formasi diagonal, vertikal, segitiga, dan zigzag, sesuai kreativitas para penari. Mereka melakukan tari Gading Alit, sebuah tari yang berasal dari Malang. Tari tersebut menceritakan kenes (kecentilan) remaja. Tangan lurus ke bawah, membuka, dan menutup sambil memainkan selendang. Seluruh tubuh para penari itu mengikuti irama gamelan. Salah satu di antaranya ada Mega Nily Sari.
Mega merupakan mahasiswa Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM) angkatan 2012. Mega mulai merintis kariernya sejak menjadi mahasiswa UM. Mega sering diajak menari oleh kakak-kakak tingkatnya di jurusan. Tahun 2013, ia mengikuti Malang Flower Carnival (MFC). “Itu pun tidak sengaja,” tutur Mega. Mega mengikuti MFC selama sekitar dua tahun. Setelah dari MFC, Mega mengikuti Amore Malang Carnival (AMC) hingga sekarang.
Karena jam terbangnya semakin tinggi, jaringan kenalan Mega semakin banyak. Ketika mengikuti festival, ia sering berkenalan dengan orang-orang baru yang mempunyai kedudukan di Dinas Pariwisata atau event organizer. Orang-orang tersebut melihat kemampuan Mega sehingga Mega diajak bergabung dan mengikuti banyak kegiatan. Sampai saat ini  Mega masih tergabung dalam Kementerian Pariwisata Indonesia. Ia sering mengikuti program yang diadakan oleh KBRI di luar negeri.
Ia telah mengharumkan nama UM dan Indonesia di kancah internasional. Perempuan kelahiran Banyuwangi, 18 Mei itu sering mewakili Indonesia dalam pameran seni budaya di luar negeri. Dalam dua tahun, anak sulung dua bersaudara itu menjelajah enam negara dengan tari. Pada September 2014, Mega berangkat ke Tokyo, Jepang. Pada Mei 2015, Mega mengikuti festival di London. Pada September 2015, Mega berangkat ke Afrika Selatan. Di awal 2016, Mega berangkat ke Taipei, Taiwan. Bulan berikutnya, Mega terbang ke Singapura. Pada Agustus 2016, Mega membawa tari Indonesia ke Moscow.
Selama mengikuti festival di luar negeri, Mega bertugas menari sebanyak 2–3 kali dalam sehari. Tari-tari daerah ia tampilkan di sana. Apresiasi yang baik dari orang asing membuat Mega senang. Banyak pengalaman dan pelajaran baru yang ia dapatkan selama di luar negeri. Di setiap daerah yang ia datangi, selalu ada hal mengejutkan yang ia temukan. Pernah ketika di Jepang, ia menampilkan Tari Jejer dengan tidak memakai kaos kaki karena kelupaan. Akhirnya, ada seorang pelatih tari dari Malaysia yang menegurnya. Hal tersebut membuatnya lebih berhati-hati dan harus selalu patuh pada aturan tari yang sudah ada.
“Semakin sering menari di luar negeri, semakin saya cinta budaya Indonesia,” ungkap Mega. Menurutnya, anak muda Indonesia harusnya tahu dan mau melestarikan budaya Indonesia. “Budaya-budaya itu memiliki pakem masing-masing yang harus dijaga,” tutur Mega.
Darah penari diturunkan dari mbah buyutnya, baik dari ayah maupun ibu. Dahulu, keduanya mempunyai sanggar tari. Namun, kedua orangtuanya tidak melanjutkan bakat sang mbah buyut. Mega mulai cinta menari sejak SD. Orang pertama yang mengenalkan tari padanya, yaitu guru SD-nya, Agus Wahyu Hidayat dan istrinya. Mereka mempunyai sanggar tari “Selendhang Cindhi”. Sejak saat itu, Mega dibentuk dengan dasar-dasar dan teknik-teknik tarian Banyuwangi. Sementara, dasar dan teknik tari luar Banyuwangi ia pelajari selama kuliah dan berproses dengan kakak tingkat.
Selama masa sekolah, Mega sudah biasa memenangkan lomba-lomba atau festival menari di Banyuwangi. Kegiatan menarinya sempat terhenti ketika ia sekolah di SMK Negeri 1 Glagah. Sekolah tersebut menerapkan sistem semi militer. “Saya tidak lagi menari karena malu, rambut saya pendek,” tuturnya.
Mega sempat dianggap remeh oleh para tetangga. Mereka menjastifikasi, pasti Mega akan sama seperti gadis-gadis pada umumnya, belum lulus sudah menikah. Ternyata, remehan itu dapat dipatahkan Mega. Mega membuktikan dengan prestasinya membawa budaya Indonesia ke luar negeri.
Tari membawa dampak yang besar terhadap hidup Mega. Ia bisa jalan-jalan gratis dan masih diberi uang saku karena tari. Tari juga mengajarkan kedisiplinan dan ketekunan. Setelah lulus kuliah, Mega mengaku ingin pulang ke Banyuwangi. Ia tidak ingin jaringan yang telah ia bentuk selama empat tahun sia-sia. “Saya lebih sayang daerah, lebih cinta Banyuwangi,” tutur Mega. Ia ingin mengembangkan, melestarikan, dan menjaga seni daerah. Ia sering iri ketika melihat teman-teman sebayanya sudah eksis menari di Banyuwangi. Mega memiliki target bisa kenal dengan seniman-seniman Banyuwangi dan turut mengembangkan budaya di sana. Ia juga sering ditawari mengajar dan mendirikan paguyuban ketika sudah pulang nanti. “Semakin pergi jauh, semakin saya cinta rumah,” katanya bangga.Yana

foto laput 5

MOCH. NURFAHRUL L. K

Menggeluti Dunia dengan Kata

 

 

Fahrul duduk tenang di atas sebuah kursi plastik hijau. Ia menghadap sebuah meja berukuran 1 x 0,5 dengan tinggi satu meter. Pandangannya tertuju pada layar laptop berukuran 11 inchi. Matanya fokus pada rangkaian huruf yang ia ketik. Jarinya-jarinya begitu lihai menari di atas huruf pada papan ketik laptop.
Kamar Fahrul berisi banyak tumpukan buku di samping meja. Tumpukan buku itu ia letakkan di atas meja-meja kecil, berjajar sepanjang 3 meter. Buku-buku tersebut ialah sebagian kecil koleksi perpustakaan pribadinya.
Dengan memandangi atau membuka buku-buku bagus yang sudah ada, ia sering mendapat ide cerita. Panduan penulisan yang sesuai kaidah ejaan bahasa Indonesia juga ia temukan dari buku-buku itu. Semangatnya pun lebih terpacu. Fahrul adalah tipe orang yang lebih suka melihat contoh daripada rumus. Itu menjadi analogi kebiasaannya menulis.
Nama lengkapnya Moch. Nurfahrul Lukmanul Khakim. Ia lahir di Tuban, 02 Maret 1991. Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Malang ini memiliki prestasi dalam bidang penulisan sastra sudah ratusan jumlahnya. Fahrul mulai mencintai dunia tulis-menulis sastra sejak ia duduk di bangku SMP. Ketika itu, majalah di sekolahnya menjadi media yang prestisius. Ia tertarik untuk mengirim cerpen ke redaksi. Setelah dua kali karyanya ditolak, barulah naskahnya dimuat. Cerpen Jalan Meraih Juara Kelas dan Hantu Perpustakaan dimuat sekaligus dalam satu edisi. Hal itu membuatnya bangga dan menjadi titik awal ia suka menulis sastra.
Sejak SD, Fahrul sudah tertarik pada bacaan. Ayahnya seorang guru agama dan pembina pramuka. Oleh karena itu, di rumahnya banyak terdapat Majalah Mimbar dan Pramuka. Ketika masa akhir duduk di bangku SD, Fahrul dan keluarganya pindah rumah. Di rumah barunya, tidak ada TV. Hiburan satu-satunya adalah buku. Semakin lama, ia semakin haus bacaan.
Ketika kecil, Fahrul mengalami sakit mata. Matanya alergi sinar matahari. Hal itu memaksanya untuk tidak keluar rumah. Sehingga membaca menjadi pelariannya. Ketika berada di sekolah, tempatnya bermain di perpustakaan. Selain itu, memang uang sakunya terbatas. Sepulang sekolah, Fahrul lebih banyak menghabiskan waktu dengan membantu orang tuanya menjaga toko atau menjaga adiknya yang masih kecil. Orang tuanya sempat tak percaya dan meragukan kemampuannya. “Mana mungkin orang dapat hidup dengan menulis?” Begitu juga orang-orang sekitar seringkali meremehkannya.
Fahrul merupakan anak yang sering di-bully oleh teman-temannya. Banyak teman bahkan guru yang meragukan kemampuannya. Ketertarikannya pada dunia tulis menulis sempat terhenti ketika ia kelas XI SMA. Ketika itu musimnya anak muda nge-band. Fahrul sempat ingin ikut tren anak muda pada masanya, tetapi terhalang fasilitas. Fahrul juga sadar bahwa ia pemalu terutama ketika tampil di depan khalayak.
Fahrul semakin rajin menulis naskah novel pertamanya. Ia sangat bahagia ketika ada dukungan dari Bu Yuyun, satu-satunya guru yang mendukungnya menulis. Setiap selesai menulis tiga bab, disetorkan pada Bu Yuyun untuk dikoreksi dan diberi masukan.
Sejak kecil, Fahrul ingin mendapat piala. Ia sering mengikuti lomba menggambar, mewarna, dan cerdas-cermat, tetapi selalu gagal. Barulah dengan menulis, ia memperoleh prestasi yang dapat ia banggakan. Ia pun dapat membuktikan pada orang-orang yang dahulu merendahkannya bahwa menulis dapat membesarkan namanya. Tahun 2010, cerpennya yang berjudul Ocehan Shaira dimuat di majalah nasional Kawanku. Fahrul semakin percaya diri.
Pilihan Fahrul mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis membawa nasib baik baginya. Ia menemukan penulis-penulis yang banyak memberinya inspirasi dan motivasi. Banyak karyanya baik cerpen, puisi, maupun esai yang dimuat di banyak media massa nasional dan memenangkan lomba.
Banyak pula karya Fahrul yang diterbitkan oleh Andi Publisher. Kumpulan cerpen berjudul Cowokku Vegetarimood diterbitkan tahun 2013. Novel Hiding My Heart dan Dandelion Lover diterbitkan tahun 2015. Tiga kumpulan puisi Fahrul juga menembus gramediana versi e-book, yaitu Relung Sunyi, Sembilu Merah Putih, dan Kuncup Musim.
Inspirasi cerpen-cerpen Fahrul berasal dari bacaan, berita, observasi sekitar, dan pengalaman pribadi. Sedangkan esai dan puisi terinsipirasi dari bacaan sejarah. Latar belakang pendidikan sejarah tidak serta merta menjadi inspirasinya menulis cerpen atau novel. Fahrul belum nememukan chemistry. Ia belum merasa klik. Ia juga merasa takut karena cerita sejarah membutuhkan riset mendalam.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, Fahrul menyimpan dokumen yang baru saja ia selesaikan. Ia pejamkan matanya, tetapi tidak harapan-harapannya. Fahrul masih harus terus berkarya untuk memenuhi target-targetnya. Sebuah antologi puisi sejarah karyanya berjudul Monolog Waktu juga baru saja terbit. “Biarkan karya yang bicara. Mungkin dengan cara ini aku membalas kasih sayang orangtuaku,” ungkap Fahrul sambil tersenyum bangga.Yana