Terselip misi menduniakan bahasa Indonesia di ASEAN
melalui pembelajaran di Thailand Beruntunglah mahasiswa yang mahir beberapa bahasa. Seperti teman-teman mahasiswa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)/Kuliah Kerja Nyata (KKN) Thailand. Mereka diuji mengenai kualitas berbahasa untuk bisa menjadi guru dan mengabdi di sana. Mereka wajib menguasai bahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.  Enam belas mahasiswa terpilih tersebut berasal dari Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), dan tentunya Fakultas Sastra (FS).
Selama lima bulan mereka mendampingi siswa-siswi Thailand Selatan dalam berbahasa. Di negara tersebut sedang gencar-gencarnya membentuk kualitas anak didik melalui bahasa Arab, Inggris, dan Melayu. Banyak dari siswa Thailand yang masih belum familiar dengan huruf alfabet, karena dalam keseharian mereka menggunakan aksen Thai. Mahasiswa UM dituntut cerdik untuk mengakali permasalahan tersebut dengan cara mengombinasikan penjelasan menggunakan bahasa Thailand. “Beruntung sekali kami dari sini mendapat pembekalan bahasa Thailand sebelumnya,” kata Yuvita Dwi Agnie Bestyana, mahasiswa Sastra Jerman sebagai guru bahasa Inggris.
Setiap mahasiswa ditempatkan di berbagai sekolah yang berbeda-beda. Hanya ada satu guru dari mahasiswa Indonesia di satu sekolah tersebut. Ada sekolah formal, ada pula yang berbasis pesantren maupun asrama. Itulah salah satu alasan mahasiswa yang dikirim ke Thailand wajib memiliki dasar agama yang kuat. Minimal bisa membaca Alquran dengan lancar, karena sering kali akan menjadi guru mengaji di asrama maupun pesantren.
“Saya mendapat kesempatan mengajar bahasa di sekolah yang berbasis pesantren. Kalau di tempat saya prefer dengan hal-hal yang berbau agama. Misalnya sholawatan dan sebagainya,” kata Mahmud Mushoffa dari Jurusan Sastra Indonesia. Namanya juga PPL/KKN terpadu, mereka harus melebur dengan masyarakat.  “Kita cuma bisa membenarkan printer yang error sedikit sama mereka sudah dianggap ahli di bidang teknisi yang lainnya. Bisa sangat sering jika elektronik yang lain rusak akan dipanggil lagi,” kata Mahmud ketika menceritakan pengalaman uniknya.
Jarak yang lumayan jauh dari Indonesia membuat mereka harus bisa survive dengan segala yang terjadi. Terkadang ada keajaiban-keajaiban yang tak terduga menghampiri. “Menurut saya, di sana miracle banget. Doa-doa hampir seluruhnya terjawab. Contoh kecilnya saja ketika saya sangat mebutuhkan nam kheng atau air es karena hawa sangat panas dan tidak memungkinkan untuk keluar sendiri. Tiba-tiba ada siswa yang lewat depan kamar dan saat itu pula ia menawarkan nam kheng tersebut,” kata Dina Nisrina, mahasiswi Sastra Indonesia, pengajar bahasa Indonesia di sekolah Wiengsuwanwittayakhom School. Dina juga berhasil mengudarakan bahasa Indonesia di perbatasan Thailand-Malaysia melalui stasiun radio swasta Sungai Kolok. Ia mengajak para pendengar untuk menyanyikan alfabet Indonesia.
Hingga berakhir di bulan Oktober 2016 semua telah tercatat rapi. Kenangan-kenangan tercipta antara mereka dengan siswa, pendamping, ataupun masyarakat. Tidak hanya berhenti di situ, Mahasiwa PPL/KKN juga beberapa kali masih berkomunikasi dengan guru-guru maupun siswa di sana. Tak kalah menarik, ketika acara penutupan selesai digelar, ada seratus siswa yang mengantar kepulangan Mahmud Mushoffa sebagai salam terakhir. Saking akrabnya dan sudah menjadi bagian dari kehidupan para siswa yang saat itu sebagai santri Mahmud. “Sampai kursi itu nggak cukup hanya untuk tempat duduk siswanya Mahmud saja,” kata Dina yang juga Duta Kampus UM 2015.Arni