Oleh : Teguh DewanggaJika fiksi dianggap sebagai sarana menyampaikan pesan secara bias, buku ini menjadi penyampai pesan yang begitu ringkas dan akurat. Penulisnya tidak lagi menggunakan kalimat-kalimat panjang. Triyanto cukup menuliskan separagraf kalimat. Buku ini tak ubahnya menjadi sekumpulan fiksi ringkas yang teramat jarang ditemui dalam dunia sastra.
Ia membentuk jalan menulisnya sendiri. Dunia nirkalanya itu berisi prosa yang dihuni baris-baris puisi, begitu pula puisi-puisinya disesaki oleh prosa dengan begitu ringkas, keduanya seolah tahu bahwa mereka harus ditulis beriringan dalam buku ini. Terdapat enam bab dengan ratusan judul serta ilustrasi-ilustrasi yang tak ubahnya menjadi penanda setiap kisah.
Cerita-cerita singkatnya dihuni bermacam tema yang menjadi judul-judul kecil di setiap halaman. Mulai dari agama, ayat-ayat musykil, teka-teki pembunuhan, bahkan sampai menerabas riwayat hidup seseorang. Kritik terhadap tragedi-tragedi sosial yang pernah terjadi juga tak lepas dari buku ini. Ia menyinggung secara halus tentang tragedi berdarah pembuangan mayat-mayat di sungai pada tahun 1965, penembakan besar-besaran secara misterius pada tahun 1980, serta kerusuhan 1998 yang masih menyisakan bekas luka.
Dalam bab Permainan, sejatinya yang tertulis adalah permainan bahasa itu sendiri. Triyanto memainkan kata dan metafora membuat kalimat pendeknya semakin mengukuhkan keberadaan dan karakter sang tokoh. Kisahnya terasa sungsang dan tidak selaras dengan logika yang ada, cerita tersebut terlihat jelas dalam judul Menggoreng Bunga di Langit Biru.

Bahkan sejarah dengan tahun-tahun faktualnya ia kemas menjadi cerita yang maharingkas. Dalam bab Kisah, cerita dengan judul-judul panjang seolah membawa pembaca untuk menggali kembali sejarah yang tertimbun. Bagian tersebut membawa kita kepada kehidupan Kota Semarang pada serentetan waktu. Berawal dari kisah syahbandar pada tahun 1547 hingga keputusan Residen Semarang yang membakar kota miliknya pada tahun 1942. Ia memunculkan fantasi dalam sejarah-sejarah untuk menggiring cerita agar menjadi lebih padat dengan ceracau, anekdot-anekdot, dan kejenakaan khas miliknya.
Ada pula kisah-kisah spiritual yang ganjil dengan penggambaran kemelut batin setiap tokoh. Hal tersebut tercantum dalam bab Kisah Dua Belas Kisah. Begitu pula dengan bab Teror, cerita ringkasnya membawa warna sedih tersendiri. Kobaran api hingga daging memburai digambarkan dengan lebih puitis.
Ceritanya yang cergas-cepat dan gesit membawa kita bertamasya ke jagad fiksional miliknya sendiri. Mungkin dari pembaca akan bertanya-tanya apakah benar fiksi bisa sependek itu? Tapi jika kita telah memutuskan untuk mengarunginya, kita harus menanggung konsekuensi untuk diajak menikmati kisah-kisah ganjil yang ditujukan untuk membalikkan logika dan menumpulkan pikiran.
Buku yang dihimpun dari kisah-kisah yang dikumpulkan selama 20 tahun oleh penulisnya tak pelak menjadi alternatif dalam menikmati sastra fiksi di Indonesia. Jika dalam satu judul buku ini pengarang lain dapat menuliskannya menjadi sebuah buku, Triyanto cukup menuliskan dalam satu paragraf. Penuturannya yang nyleneh membuat siapa saja tahu bahwa cerita tersebut ditulis untuk membawa misi-misi tersembunyi. Selain itu pula, sejarah yang telah dianggap usang dan tak menarikĀ  dapat dibangkitkan dengan penuturan yang lebih ringkas dan unik. Selain itu, bagi generasi yang lebih muda buku ini akan menjadi sebuah penanda tragedi-tragedi yang sempat terkubur pada puluhan tahun sebelumnya.
Jika Tia Setiadi dalam epilognya mengatakan bahwa sastra adalah predator. Maka, bagi saya Triyanto melalui buku ini telah menjadi pemangsa yang ulung. Ia akan merongrong pikiran dan merontokkan kesadaran, pembaca benar-benar terasa seperti tengah mengarungi neraka.
Penulis adalah mahasiswa Teknik Otomotif dan Juara I Kompetisi Penulisan Majalah Komunikasi Kategori Pustaka