Provinsi Jawa Timur (Jatim) saat ini terletak pada center of gravity, yang berarti warganya dituntut dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk berkembang menjadi lebih aktif dan produktif sesuai dengan tuntutan persaingan pada era sekarang. Itulah yang menjadi pokok bahasan kuliah umum bertajuk Strategi Peningkatan Daya Saing Perekonomian Jatim yang diberikan Gubernur Jatim, Dr. Soekarwo, S.H., M.Hum. pada ratusan mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM), Kamis (16/3). Kuliah umum yang diselenggarakan di Aula Gedung H3 tersebut dibuka oleh Rektor UM, Prof. Dr. Ahmad Rofiuddin, M.Pd. Selain itu, juga hadir Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim, Dr. Saiful Rachman, M.M., M.Pd. serta Kepala Biro Administrasi Perekonomian Sekretariat Daerah Provinsi Jatim Dr. Mas Purnomo Hadi, M.M.

“Kita semua beruntung menjadi bagian dari Provinsi Jatim, yang merupakan provinsi yang berpengaruh terhadap daerah yang lain (center of gravity). Pertumbuhan ekonomi kita nomor dua nasional setelah DKI Jakarta,” tutur pria kelahiran 16 Juni 1960 ini mengawali pemaparan materi.

Posisi Jatim sebagai center of gravity, lanjut Gubernur, dapat dimaknai sebagai suatu hal yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena biaya distribusi barang dan jasa rendah, serta kondisi geopolitik dan kondisi geoekonominya stabil. “Jatim bisa menjadi hub bagi (kebutuhan nasional, red) apa saja,” papar pria asli Madiun tersebut.

Pada kesempatan tersebut, Soekarwo mengatakan bahwa daya saing Jatim ditentukan oleh empat aspek besar, yaitu stabilitas ekonomi makro, pemerintahan dan tata letak kelembagaan, keuangan, bisnis, dan kondisi tenaga kerja, serta kualitas hidup dan pengembangan infrastruktur. “Sampai saat ini, pertumbuhan ekonomi Jatim masih berada di atas rata-rata nasional,” ujar Gubernur yang mengawali karir dari seorang Pegawai Negeri Sipil itu.

Soekarwo juga menekankan bahwa peran wanita dalam pembangunan industri Jatim juga tidak bisa dipungkiri dampaknya. “Dunia industri Jatim sudah mulai berkembang, salah satunya karena kontribusi para wanita yang aktif dan produktif dalam membangun usaha kecil dan menengah,” ujarnya.

Namun, Gubernur menyayangkan masyarakat masih belum bisa mengelola hasil produk ekonominya secara maksimal atau masih berupa industri primer. Ia memberikan contoh para petani masih mengandalkan cara tradisional untuk menjual produknya. “Harusnya jangan jual pisang atau nangka itu secara langsung, tapi jualah keripik pisang atau keripik nangka, sehingga akan meningkat nilai ekonominya serta memberikan kekhasan pada daerah,” kata mantan kepala Dinas Pendapatan Provinsi Jatim ini.

Soekarwo mengemukakan bahwa suatu negara agar bisa menjadi negara maju, laju industri manufaktur harus di atas rata-rata pertumbuhan industri yang lain. “Apalagi dengan didukung masyarakat kita yang 60% pengeluarannya dihabiskan dengan hal yang konsumtif, terutama dalam lifestyle, kita akan mudah menjadi pasar negara-negara maju yang produk-produknya luar biasa,” ungkap Soekarwo. Oleh karenanya, Gubernur mengharuskan agar para pemangku kebijakan melakukan restrukturisasi kebijakan dalam pembangunan industri.

Ditambahkan Gubernur, geliat Penanaman Modal Asing (PMA) di Jatim ternyata masih kalah dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Hal tersebut bisa diartikan bahwa masyarakat Jatim dapat membangun ekonomi dengan usahanya sendiri, tanpa tergantung pihak asing. “Perlu diketahui, yang membikin Jatim besar bukan PMA. PMA sangat kecil, hanya Rp26 triliun. Sedangkan PMDN Rp46 triliun. Tapi investasi non fasilitas oleh masyarakat malah jauh lebih besar, yaitu Rp82 triliun,” ujar Soekarwo.

Pendidikan, ujar Soekarwo, memegang peranan sangat penting dalam pembangunan provinsi. “Kita jangan lagi berpikir tentang link and match apa yang dibutuhkan di dunia kerja, tapi sudah harus mulai berpikir untuk melampaui Asia Tenggara dan memenuhi kebutuhan masa depan,” ujar mantan Sekretaris Daerah Provinsi Jatim itu. Pendidikan di semua sektor harus semakin ditingkatkan, terutama maritim, pertanian, logam, hingga industri kreatif. “Pendidikan itu tidak sekedar memberikan pencerahan tapi juga mengubah konsep konvensional jadi lebih inovatif,” imbuhnya.

Lulusan Doktor dari Universitas Diponegoro ini juga mengatakan peran perguruan tinggi menjadi faktor baik tidaknya suatu wilayah. “Tidak ada proses penilaian kualitatif dianggap bagus, kalau bukan karena kualitas perguruan tinggi yang baik di wilayah tersebut,” tandasnya.

Ia juga meyakini UM juga akan mengalami perkembangan seiring prestasi yang dicapai Pemerintah Provinsi Jatim. “Saya pikir UM sangat berpeluang menjaring mahasiswa dari seluruh tanah air, mengingat letak geografis UM yang strategis, serta iklim kehidupan yang relatif kondusif. Hal ini menjadi modal dalam melebarkan sayap UM,” tambah Gubernur yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan UM tersebut.

Kepada para mahasiswa Pascasarjana UM, lelaki yang akrab disapa Pakdhe Karwo ini berpesan agar dalam risetnya mengambil tema-tema yang memiliki prospek ke depan dalam memajukan Indonesia khususnya Jatim menjadi lebih baik, serta mengembangkan potensi diri dengan cara menangkap peluang-peluang yang ada di lingkungan sekitar. “Kajian tentang ilmu pengetahuan telah dipelajari di bangku kuliah, tinggal aksi nyatanya yang perlu disalurkan dalam masyarakat,” tutup Pakdhe Karwo. Arvendo