Ke depan, UM bisa membuka program studi (prodi) baru cukup dengan SK Rektor, pun juga menutupnya tanpa persetujuan dari Kemenristekdikti. Tidak hanya itu, pendanaan Universitas eks IKIP ini akan bersumber dari APBN dan non-APBN. Kedua hal tersebut merupakan sedikit dari fleksibilitas pengelolaan Universitas Negeri Malang (UM)  ketika bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Hukum.

UM sebagai salah satu PTN terkemuka di bidang kependidikan di Indonesia, dituntut untuk memiliki otonomi yang lebih luas agar mampu menciptakan lulusan yang lebih kompeten dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan masanya. Perluasan otonomi tersebut, secara formal mengharuskan UM untuk bertransformasi dari PTN Pengelola Keuangan Badan Layanan Umum yang telah ditetapkan sejak 2008, menjadi PTN Badan Hukum. Sejauh ini, sudah ada 11 PTN yang berstatus PTN Badan Hukum, yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, serta Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Tak mau ketinggalan, UM juga bekerja keras untuk mendapatkan status PTN Badan Hukum agar dapat bersaing dengan PTN Badan Hukum lainnya. Terutama dalam penerapan Tridarma Perguruan Tinggi secara lebih komprehensif dan fleksibel.

Diperolehnya penghargaan prestisius oleh UM, yakni UM dinobatkan sebagai PTN PK-BLU dengan rapor terbaik pada semester I 2016 di bidang pelaksanaan program, kegiatan, dan anggaran, merupakan sinyalemen kuat bahwa UM harus mempersiapkan diri untuk melangkah ke depan, yakni menjadi PTN Badan Hukum.

Rektor UM, Prof. Dr. Ahmad Rofi’uddin, M.Pd. mengutarakan bahwa perubahan UM menjadi PTN Badan Hukum tidak mudah. “Sebenarnya semakin cepat semakin baik, tapi perubahan itu perlu perencanaan matang, seperti menyiapkan proposal dan lain-lain,” terang rektor. Persiapan UM menjadi PTN Badan Hukum, memang telah ditangani oleh tim khusus yakni Tim Penyusun Proposal Perubahan UM sebagai PTN PK-BLU menjadi PTN Badan Hukum yang bekerja di bawah komando Rektor. Tim tersebut diketuai oleh Prof. Dr. Dawud, M.Pd. dan telah hampir menyelesaikan dokumen yang dimaksud. “Target kalau bisa 2018 UM sudah jadi PTN Badan Hukum, semoga bisa terlaksana dengan baik,” pungkas rektor.

Macam-macam Pola Pengelolaan PTN

Dijelaskan Dawud, terdapat tiga bentuk PTN saat ini, yakni PTN satuan kerja (satker) asli, PTN dengan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PTN PK-BLU), dan PTN Badan Hukum. “Sebelum 2008, UM adalah PTN satuan kerja asli. Sejak 2008 sampai sekarang, UM merupakan PTN PK-BLU,” urai Dawud saat ditemui di Kafe Pustaka UM, Kamis (16/03). Saat ini, lanjut mantan Dekan Fakultas Sastra tersebut, timnya dalam proses menyusun proposal perubahan status UM dari PTN PK-BLU menjadi PTN Badan Hukum.

Disinggung tentang perbedaan mendasar antara ketiga jenis PTN tersebut, Dawud menjelaskan bahwa dalam PTN satker asli sangat ketat dalam tata kelola akademik, keuangan, dan organisasinya. “Hampir semua PTN satker asli bersifat sentralistik, yakni dalam paket pengelolaan Kementerian Ristekdikti dan Kementerian Keuangan,” ujarnya. Dalam PTN PK-BLU, ada “sedikit” fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Lebih luas, terang Dawud, dalam PTN Badan Hukum, otonomi “penuh” tidak hanya dalam bidang keuangan, namun juga dalam bidang akademik dan bidang nonakademik.

“Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2012, perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridarma,” tambah Dawud. “Otonomi pengelolaan di bidang akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma, sedangkan otonomi pengelolaan di bidang nonakademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi; keuangan; kemahasiswaan; ketenagaan; dan sarana prasarana,” urai Ketua Tim Revitalisasi Sistem Informasi dan Teknologi Informasi pada Pusat TIK UM 2012-2014 tersebut.

Berdasarkan Pasal 65 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012, PTN badan hukum memiliki kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah, tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri, unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi, serta hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel. Selain itu PTN Badan hukum juga memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan, mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi, dan wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, serta menutup program studi. Hal tersebut yang membuat UM semakin yakin dalam memilih status sebagai PTN Badan Hukum. “Betul, untuk mempercepat laju pengembangan, PTN memerlukan otonomi akademik dan otonomi nonakademik karena pengelolaan memiliki fleksibilitas dan fisibilitas yang tinggi, yang ‘sarana wajib’-nya adalah status sebagai PTN Badan Hukum,” papar dosen kelahiran 1959 tersebut.

Perlu diketahui, PTN Badan Hukum tetap memperoleh hak-hak dari negara sebagaimana yang diperoleh PTN satker asli dan PTN PK-BLU. Kelebihannya terletak pada otonomi yang lebih luas dalam bidang akademik dan nonakademik. Alasan adanya otonomi yang lebih luas baik bidang akademik maupun bidang nonakademik itulah yang menjadi pertimbangan UM untuk menyusun proposal perubahan dari PTN PK-BLU menjadi PTN Badan Hukum.

Apa yang Baru Pasca Perubahan UM?

Jika UM nanti telah menjadi PTN Badan Hukum, dalam Peraturan Pemerintah tentang Statuta UM sebagai PTN Badan Hukum hanya disebutkan tiga organ, yakni Majelis Wali Amanat (MWA), rektor, dan Senat Akademik (SA). MWA berlaku sebagai organ tertinggi di UM, rektor sebagai pemimpin UM, serta SA yang berfungsi menetapkan kebijakan akademik kampus. ”Keleluasaan organisasi UM itu sangat fleksibel, diatur oleh Rektor tidak harus meminta persetujuan Kemenristekdikti. Jadi pengelolaan UM hanya cukup dengan SK Rektor, misalkan pemberian nama fakultas, pemberian nama lembaga, bisnis, termasuk membuka dan menutup program studi baru,” terang Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., salah satu anggota tim penyusun proposal saat ditemui di Gedung Kuliah Bersama FIP, Jumat (24/03). “Nomenklatur, jumlah, tugas dan wewenang unsur di bawah rektor cukup diatur dengan Peraturan Rektor, misalnya tentang berapa jumlah dan nama unsur wakil rektor, fakultas, jurusan, dan program studi,” ungkap Dawud menguatkan.

Hal tersebut tentunya dapat dibandingkan efektivitas dan efisienitasnya dengan UM saat ini yang masih menyandang status sebagai PTN PK-BLU. Untuk membuka program studi saja, UM harus mengusulkan ke Kementerian Ristekdikti. Demikian juga untuk membuka fakultas baru, jurusan baru, dan unsur yang lainnya. “Bahkan untuk membuka unsur tertentu harus mendapat persetujuan Menteri PANRB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, red),” imbuhnya.

Layakkah UM menjadi PTN Badan Hukum?

Ditanya apakah UM layak menjadi PTN Badan Hukum, Dawud lantas merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 88 Tahun 2014 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. “Disebutkan bahwa prakarsa untuk mengubah PTN menjadi PTN Badan Hukum berasal dari menteri, dengan permintaan menteri tersebut berarti UM dipandang layak menjadi PTN Badan Hukum,” terang dosen yang menempuh seluruh jenjang pendidikan tingginya di IKIP Malang ini. Hal ini pun selaras dengan penjelasan Supriyono, “Melihat peluang PTN Badan Hukum lebih leluasa, UM berusaha memenuhi mandat Menteri tersebut melalui pengusulan proposal”. Prakarsa Menteri tersebut disampaikan ke PTN. Jika setuju, pimpinan menyusun usulan perubahan menjadi PTN Badan Hukum, yang dilengkapi dengan dokumen Evaluasi Diri, Rencana Pengembangan Jangka Panjang, Rancangan Statuta, serta Rencana Peralihan dan Rencana Pengembangan Jangka Menengah.

Dalam pengerjaan empat dokumen yang membutuhkan waktu sekitar sembilan bulan tersebut, tim yang diketuai Dawud telah menyiapkan bahan awal untuk dibahas oleh pimpinan UM. “Setelah itu, bahan-bahan secara bertahap dikomunikasikan untuk memperoleh pertimbangan dan masukan kepada pemangku kepentingan, antara lain Senat UM, tenaga kependidikan UM, mahasiswa, dan alumni,” tutur Dawud. Hal ini dimaksudkan untuk menampung aspirasi seluruh warga universitas dan memperoleh perencanaan yang matang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan pengembangan universitas. “Dokumen tersebut dalam proses kemas dan cetak, mudah-mudahan akhir Maret ini kemasan dan cetak sudah selesai,” ujar dosen asli Tulungagung ini.

Disinggung mengenai kesulitan yang dihadapi tim saat menyusun keempat dokumen tersebut, Supriyono lantas menjawab bahwa tim tidak mengalami kesulitan. “Yang ada itu tantangan-tantangan seperti mengumpulkan portofolio UM, menganalisis SWOT, menyusun Rencana Pengembangan Jangka Menengah (RPJM) serta Rencana Pengembangan Jangka Panjang (RPJP),” papar guru besar Pendidikan Luar Sekolah tersebut.

Menepis Isu Komersialisasi dan Privatisasi Pendidikan

Beberapa tahun belakangan, diskursus perihal PTN Badan Hukum sedang mengemuka di kalangan masyarakat, utamanya mahasiswa, aktivis, praktisi pendidikan, dan pengamat. Meningkatnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan yang dapat dikatakan telah menjadi kebutuhan primer manusia, menjadikan rencana perubahan status UM dan PTN lain menjadi PTN Badan Hukum dimaknai sebagai sebuah isu sensitif. Pemerintah dianggap lepas tangan dalam mengontrol pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara dalam mencerdaskan bangsa. Padahal, PTN Badan Hukum tetap memposisikan pemerintah dalam melakukan fungsi pendanaan, pengawasan, serta menjadi fasilitator terhadap perguruan tinggi.

Menanggapi reaksi beberapa pihak yang mengkhawatirkan bahwa arah dari perubahan UM menjadi PTN Badan Hukum akan bermuara pada privatisasi pendidikan, Dawud menegaskan bahwa PTN Badan Hukum adalah perguruan tinggi milik negara, bukan perguruan tinggi swasta, bukan milik yayasan, juga bukan milik perseorangan. “Perlu diingat, kata kuncinya adalah tetap perguruan tinggi negeri,” tegas pria yang pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Sastra ini. “Menurut ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2012, Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN Badan Hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat,” imbuh dosen yang juga pernah menjadi Ketua Tim Penyusun Organisasi dan Tatakerja UM dan Statuta UM saat peralihan menjadi PTN PK-BLU 2008 silam ini.

“Isu privatisasi dan komersialisasi pada PTN Badan Hukum dapat dibantah dan dipatahkan dari sisi perbandingan SPP/UKT mahasiswa PTN Satker asli, PTN PK-BLU, dan PTN Badan Hukum,” tambahnya. Berdasarkan data yang ada, lanjut Dawud, sampai dengan saat ini tidak ada korelasi positif dan signifikan antara besaran biaya SPP/UKT dengan status PTN Badan Hukum.

Selain dari biaya pendidikan atau UKT mahasiswa, pendanaan UM nantinya berasal dari APBN dan anggaran non-APBN. “Pendanaan yang bersumber dari non-APBN dapat berasal dari masyarakat, pengelolaan dana abadi, usaha, kerja sama, pengelolaan aset, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), pinjaman, dan sumber lain yang sah,” jelasnya.

Selain menguntungkan bagi UM secara keseluruhan, perubahan status menjadi PTN Badan Hukum justru juga menguntungkan bagi mahasiswa, karena tujuan pokok perubahan menjadi PTN Badan Hukum adalah peningkatan kualitas akademik dan nonakademik. “Dengan peningkatan tersebut, salah satunya, akan memberikan keuntungan kepada mahasiswa dalam bidang peningkatan mutu pembelajarannya, misalnya, fasilitas yang memadai, kelenturan organ UM dalam menyesuaikan dengan kebutuhan terkini, tanpa membebani keuangan mahasiswa,” papar dosen yang mulai bertugas sejak 1985 ini.

Pendanaan UM, ungkap Supriyono, menjadi tantangan bagi pimpinan untuk sekreatif mungkin mencari sumber dana non-APBN. “Sejauh ini sudah ada pemanfaatan aset oleh Pusat Bisnis, ke depan bisa lebih berkembang, misalnya dari unit-unit usaha yang dimiliki program studi,” terang dosen kelahiran Kota Patria ini. Supriyono mencontohkan misalnya di program studi bahasa, mereka dapat membuka jasa penerjemahan secara profesional, begitu juga di program studi atau jurusan yang lain.

Kekhawatiran yang Lain

Tak hanya kekhawatiran tentang isu privatisasi dan komersialisasi pendidikan yang mengarah pada isu melonjaknya UKT, kekhawatiran tentang terlalu luasnya otonomi yang mengakibatkan lemahnya kontrol akademik dan nonakademik juga diperbincangkan oleh masyarakat. Munculnya kekhawatiran itu wajar, mengingat masih ada sebagian sivitas akademika maupun masyarakat yang belum memahami esensi otonomi kampus dalam PTN Badan Hukum. Meluruskan hal tersebut, Dawud mengatakan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan akan ditetapkan dengan standar yang sangat ketat. “Sebagai contoh, pengusulan pembukaan program studi dapat dilakukan dari bawah atau dari atas. Usulan dari bawah dimulai dari program studi, dibahas di kelompok keahlian, dibahas di fakultas dan senat fakultas, dibahas di rektorat, dibahas di senat akademik universitas (dalam tim, komisi, dan pleno),” rinci Dawud. Berdasarkan pengalaman di sejumlah PTN Badan Hukum yang sudah berjalan, pembukaan program studi ada yang memerlukan waktu enam bulan hingga empat tahun, bergantung pada kualtitas usulannya.

Pembukaan program studi tersebut, lanjut Dawud, memang hanya melalui keputusan Rektor. “Akan tetapi, kontrol dan penjaminan mutu penyelenggaraan program studi tetap berada pada lembaga akreditasi sesuai dengan amanat undang-undang, baik Badan Akreditasi Nasional maupun Lembaga Akreditasi Mandiri,” ujarnya menguatkan.

Kekhawatiran lain adalah bagaimana income generating di UM mampu membiayai segala kebutuhan universitas. “Selain mendapat dana dari APBN, maka kampus yang telah berstatus PTN Badan Hukum harus bisa mandiri dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan internal,” papar Supriyono menambahkan. Ketika sudah berstatus PTN Badan Hukum, UM memang dapat membentuk dan mengoperasikan unit-unit usaha dengan pendapatan potensial. Penerimaan dari unit-unit usaha ini di antaranya guna menjamin bahwa sumbangan pendidikan mahasiswa atau UKT bukan satu-satunya tumpuan pembiayaan operasional akademik maupun non akademik kampus.

Tahapan Paling Krusial

Menurut Dawud, tahapan yang paling krusial adalah tahap transisi dari pengelolaan PTN PK-BLU menjadi PTN Badan Hukum. Dalam draf proposal disebutkan bahwa masa transisi selama dua tahun. “Pada masa transisi itu, regulasi seluruh kegiatan pengelolaan dalam tanggung jawab Rektor berbentuk Peraturan Rektor harus segera diwujudkan saat pemberlakukan perubahan menjadi PTN Badan Hukum,” terang Dawud.

Memang, pada saat UM telah memasuki masa transisi, semua pihak harus siap berbenah. Sebagai contoh terdapat peraturan rektor tentang dibentuknya unit kerja baru, atau pembukaan program studi baru, tentunya diperlukan komitmen dan semangat yang tinggi dari segenap sivitas akademika untuk menyukseskan perubahan yang terjadi.

Dukungan Sivitas Akademika

Rencana perubahan UM menjadi PTN Badan Hukum mendapat respon dari sivitas akademika. Aulia El Razzaq misalnya, setuju terhadap perubahan UM menjadi PTN Badan Hukum. “UM bisa lebih berkembang melalui otonomi yang didapat, sehingga bisa lebih membesarkan namanya,” ujar mahasiswa Sastra Indonesia tersebut. Namun, salah seorang mahasiswi jurusan Akuntansi, Melly sempat mengkhawatirkan juga tentang kenaikan UKT yang terjadi setelah ditetapkannya status PTN Badan Hukum bagi UM. Tetapi, ia tetap mendukung rencana perubahan tersebut. “Lebih baik memang UM menjadi PTN Badan Hukum sih, karena UM bisa mandiri dan perengadaan fasilitas, bisa dilakukan oleh UM sendiri,” tutup mahasiswi yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Akademik BEM Fakultas Ekonomi tersebut.

Mulyawati, selaku Bagian Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial (FIS) menambahkan bahwa menuju PTN Badan Hukum dari segi sistem sekarang lebih mudah diakses. “Kedepannya saya berharap pelayanan dan kesejahteraan lebih bagus, baik untuk dosen, tenaga pendidik dan mahasiswa”. Begitu pula dengan Neni Wahyuningtyas M.Pd. yang berharap bahwa adanya perubahan status UM ke PTN-Badan Hukum nantinya akan memberikan kemudahan bagi mahasiswa dalam penggunaan fasilitas kampus.  “Saya berharap semoga kebijakan-kebijakan yang baru lebih pro bagi dosen, tenaga pendidik maupun mahasiswa”. Dosen Prorgram Studi  Pendidikan IPS tersebut juga menambahkan bahwa Program Bidikmisi lebih tepat sasaran. Maulani/ArvendoIMG-20170222-WA0006