erbedaan pemahaman dalam umat beragama adalah wajar. Hal tersebut merupakan dampak dari perbedaan cara pandang  mengenai apa yang tertulis dalam kitab suci maupun aturan-aturan keagamaan lain. Sebagai contoh di kalangan umat Islam, banyak terdapat perbedaan terhadap Alquran dan Sunnah. Umat dituntut dapat bersikap bijak, selama pemahaman tersebut hanya diterapkan terbatas pada diri sendiri, tidak memaksakan kehendak orang lain, serta tidak menghalalkan cara-cara yang berbau kekerasan.
Hal tersebut merupakan sebagian kecil dari materi yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A., pada pengajian umum yang bertemakan “Kejayaan Umat adalah Kejayaan Bangsa”, di Masjid Al Hikmah Universitas Negeri Malang (UM) pada Rabu (03/05). Pengajian tersebut dihadiri oleh Rektor UM, Prof. Dr. Ahmad Rofi’uddin, M.Pd. dan segenap warga akademik. Dalam pengajian yang berlangsung seusai salat zuhur tersebut, pria yang dikenal dengan nama Din Syamsuddin ini menekankan pentingnya menghargai orang lain dalam menjalankan kehidupan beragama dan bernegara.
Di era sekarang, ia mengkhawatirkan ada upaya adu domba sesama anak bangsa khususnya umat Islam dengan mempertentangkan perbedaan mahzab. “Hal-hal demikian yang akan menghancurkan umat Islam,” katanya. Menurut profesor Ilmu Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, bangsa Indonesia tidak mudah hancur oleh ancaman dari luar negeri. “Namun, ancaman yang datang dari dalam negeri kapanpun siap menghancurkan,” ungkap Din.
Perselisihan dan perpecahan bangsa, lanjut Din, dapat dilihat dari sering terjadinya pembubaran pengajian oleh kelompok tertentu yang biasanya dilandasi perbedaan organisasi. Di negara majemuk seperti Indonesia, organisasi Islam itu bukan mahzab, tapi jalan dakwah. Din mengibaratkan perbedaan pandangan tersebut seperti persaingan dua klub sepak bola fenomenal Inggris, Manchester United  (MU) dengan Chelsea. “Saya ini fans MU, dipaksa-paksa untuk suka Chelsea ya tidak bisa,” kelakar Din disambut tawa jamaah.
Menyangkut isu khilafah dan NKRI yang sedang hangat, Din mengatakan bahwa Islam tidak terikat dengan peristilahan. “Karena yang paling penting adalah esensi kepemimpinan umat Islam yang amanah,” urainya. Hal-hal semacam fanatisme  berawal pada minimnya keadilan yang ditunjukkan oleh penguasa. “Selain itu, ada yang dengan sengaja memberikan pemahaman yang salah dengan memisahkan umat dan bangsa,” ujar ulama yang pernah nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor ini. “Kalau menyebut bangsa Indonesia, maka persepsi yang harus lahir adalah umat Islam yang merupakan single majority (mayoritas tunggal, red) termasuk ketika meletakkan konstruksi kebangsaan negara kita,” tambahnya.
Penyusunan pancasila juga tidak menampik peran umat Islam di dalamnya. “Kebesaran umat Islam ditunjukkan dengan lahirnya konsensus bersama, yaitu pancasila,” ujar Din. Kebesaran tersebut  termasuk kebesaran hati ketika sila pertama harus disesuaikan kalimatnya menjadi lebih universal. “Lihat, bagaimana Ki Bagus Hadikusumo mengambil keputusan cerdas dengan mengganti frasa sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa,” tambah alumni University of California ini.
Menurut Din, model negara masa depan itu seperti Indonesia dengan pancasilanya. “Bahkan Paus Fransiscus tahun 2010, setelah mendengar pidato saya, beliau mengatakan dunia harus mencontoh umat Islam Indonesia yang menjadikan pancasila sebagai jembatan peradaban yang luar biasa,” cerita Din.
Din menegaskan bahwa kewajiban umat Islam saat ini adalah meluruskan kiblat bangsa sebagaimana Kongres Umat Islam di Yogyakarta tahun 2015. “Terutama terkait ketidakadilan hukum, ketimpangan ekonomi, dan penyelewengan kekuasaan, semua sudah saya sampaikan,” tegas Din saat menceritakan pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara beberapa waktu yang lalu. “Kita banyak disibukkan oleh hal yang remeh, akhirnya tidak sempat memikirkan umat. Terlalu mahal jika bangsa ini pecah karena hal kecil-kecil,” pesan kiai yang juga pernah duduk di kursi parlemen orde baru ini.Arvendo