oleh Yunita Nana Afika

Malam semakin larut. Sepi. Sesekali suara jangkrik yang mengerik terdengar dari sela-sela rerumputan kering layu akibat sengatan matahari. Jauh di dalam hutan, terkadang burung hantu pun ikut memecahkan keheningan malam. Daerah sekitar lereng Gunung Salak memang masih perawan. Banyak hewan buas berkeliaran di antara pohon-pohon kokoh yang sudah berusia puluhan tahun ini. Kadang mereka mendatangi pemukiman di sekitar hutan untuk sekadar menyapa atau menunjukkan bahwa merekalah penguasa hutan yang sebenarnya.
Satu dua kali, kuhembuskan asap rokok. Di hadapanku terhampar padi yang kurus kering seakan tak ingin berdiri tegak lagi. Apabila didengarkan dengan seksama, di antara gesekan padi yang tertiup angin terdengar cicit-cicit kecil hewan pengerat.

Tahukah kalian? Itu tak sepenuhnya salah kami. Siapa yang bisa menebak alam, heh? Kalian? Apa kalian Tuhan kami? Yang berhak menentukan hidup kami?

Tapi semua pemandangan dan suara itu bukanlah fokusku pada saat ini. Entah mengapa pandanganku terasa kosong. Tapi di dalam kepala ini rasanya carut-marut, seperti ada untaian benang kusut yang berujung entah di mana. Kalut.
Edan, pikirku. Apa kurangnya pengabdian yang selama ini kulakukan. Aku, Mohammad Idris, tidak pernah meninggalkan kerja wajib sekalipun. Semua tarikan dengan berbagai jenis nama itu juga sudah kulunasi. Hanya karena satu kesalahan yang kurasa tak sepenuhnya bisa dilimpahkan kepadaku, hingga akhirnya berujung pada penyitaan akhir tahun lalu. Ya, kekeringan beberapa waktu yang lalu memang mengakibatkan banyak sawah harus gagal panen. Termasuk sawah yang tak seberapa luas ini.
Mau tak mau aku dan beberapa petani yang juga bernasib sama menjadi tidak bisa menyerahkan pajak wajib kepada tuan tanah. Terpaksa aku harus berhutang dan menjanjikan akan menyerahkan hasil panenku selanjutnya. Namun, apa daya yang terjadi kemudian tidaklah bisa ditebak.
Kekeringan masih berlanjut, bahkan semakin parah dengan dibarengi wabah hama tikus. Mungkin banyaknya padi yang rusak menyebabkan hewan yang satu ini kehilangan sumber makanan dan diserbulah padi-padi yang bahkan belum sepenuhnya merunduk.
Malang nian. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah nasibku dan para petani gagal panen yang lain. Kami diharuskan terus berhutang hingga akhirnya tuan tanah tidak sabar lagi dan menyita sawah milik kami. Mereka akhirnya datang untuk meminta bayaran hutang. Menangis meminta belas kasihan pun jadi tidak berguna lagi begitu berhadapan dengan mereka.
Ah! Semakin dipikir semakin membuat geram saja. Hati kecilku berkata aku harus melawan mereka. Benar, aku harus mencari jalan keluar dan balas dendam. Akan kurencanakan tindakan balasan atas apa yang telah mereka lakukan bersama dengan petani-petani yang lain.
Oh, mungkin bisa kupertimbangkan rencana Djeding Ba Sa’iran untuk menyerang tuan tanah sialan itu di pesta sedekah bumi Kampung Tanam. Kubuang rokok yang tak lagi memiliki bara api itu dan melangkah mantap untuk pulang ke rumah dengan berbagai rencana di dalam kepala.
Rabu pagi, 19 Mei 1886. Hari yang terik di suatu tanah lapang
Para bujang yang akan ikut penyerangan ini sudah siap. Nampak juga beberapa perempuan yang ternyata turut serta. Kuperingatkan mereka untuk tidak perlu berpartisipasi. Akan tetapi, peringatanku ini tak indahkan oleh mereka. Jadi kubiarkan sajalah mereka ikut. Toh, itu juga menggenapkan pasukanku menjadi 40 tepat.
Berangkat subuh sampai sana matahari sudah mulai naik. Saat pesta sudah dimulai. Penduduk sekitar yang kebanyakan bekerja sebagai petani juga sudah mulai memadati lapangan tempat pesta sedekah bumi.
Suasana lapangan mulai panas. Sisa-sisa kemarau panjang masih terasa bahkan ikut larut dalam pesta sedekah bumi ini. Matahari bersama dengan teriknya begitu bersemangat mengguyur kepala-kepala yang hadir di lapangan. Sekilas nampak beberapa pria yang bertelanjang dada karena sudah tidak kuat menahan peluh yang mengalir deras melewati kulit gosong mereka. Beberapa anak asyik bermain kejar-kejaran hingga menyebabkan debu berterbangan ke sana ke mari.
Suasana begitu ricuh dan panas. Ditambah lagi dengan kerumunan orang-orang yang berdesakan demi melihat hiburan yang disediakan oleh perangkat desa. Suasana ramai ini semakin memanas tatkala kami datang bergerombolan dan tentu saja menarik perhatian di tengah lautan manusia ini.
Aku menengok ke segala penjuru lapangan, tetapi tak kutemui target yang kucari. Sial, runtukku. Ternyata perkiraan kami meleset jauh. Tak ada batang hidung tuan tanah itu. Begitu pun keluarganya. Hanya ada beberapa polisi desa komplotan tuan tanah itu. Malah mereka mendekat curiga ke pasukan ini gara-gara kehebohan ketika kemunculan kami. Tak bisa dipungkiri bahwa kakiku sempat gemetar menyaksikan mereka mendekat dengan senjata api di pundak mereka.
“Ada apa ini? Apa maksud kalian? Kalian akan melakukan pemberontakan, hah?” ucap salah satu polisi desa yang kuduga merupakan pemimpin penjagaan di acara itu.
“Kalau iya memangnya kenapa? Jangan pernah remehkan kami, petani yang selama ini kalian anggap sebagai budak saja. Sejujurnya kami sudah muak dengan tingkah laku kalian yang semena-mena,” teriakku.
“Semua macam cuke dan pajeg sudah kami bayarkan, kerja wajib juga sudah dilaksanakan, tapi apa yang kami dapatkan? Cacian? Makian? Bahkan kadang kekerasan juga kami terima. Hanya karena kesalahan kecil, hukuman harus kami terima. Puncaknya, penyitaan sawah gara-gara gagal panen. Tahukah kalian? Itu tak sepenuhnya salah kami. Siapa yang bisa menebak alam, heh? Kalian? Apa kalian Tuhan kami? Yang berhak menentukan hidup kami? Bukan juga, kan?” gertak Djeding tak mau kalah.
Para petani yang semula hanya berbisik-bisik mulai terpancing dan berani bercuit. Beberapa di antara mereka mengucapkan kata-kata dukungan.
“Benar, kita ini sudah terlalu lama tertindas seperti ini,”
“Kita harus bertidak,”
“Musnahkan saja dedemit itu,” dan berbagai kalimat yang memojokkan para polisi desa.
“Kalian lihat, kan? Betapa dendamnya kami terhadap tindakan kalian yang sewenang-wenang? Oh ya, satu lagi. Bila kalian berniat menyerang laskar ini, tapi lihat dulu di sekeliling kalian itu siapa. Mereka itu petani yang penuh dendam. Kalian hanya beberapa gelintir. Bandingkan jumlah kalian dengan kami dulu, haha.”
Polisi-polisi desa itu saling pandang dan tampak cemas. Mungkin mereka mulai membenarkan ucapanku. Cari mati saja jika berniat melawan kami.
Puas sudah kugertak polisi desa yang sok berkuasa itu. Mereka menciut dan dikomando untuk mundur. Kini pasukanku bisa bebas melanjutkan rencana kami yaitu menduduki perkebunan kopi Gadok sebelum kembali ke markas.
Kamis pagi, 20 Mei 1886. Hari terik yang lain di markas besar
Setelah peristiwa penyerangan kemarin, kami terus berusaha menjalankan rencana-rencana kami. Kami juga telah bersiap apabila pasukan pemerintah akan mengepung kami. Kusuruh mereka untuk bergantian berjaga.
Menjelang siang terdengar gemerisik dari arah kaki bukit. Aku segera waspada dan mengumpulkan semua pasukan untuk bersiap-siap terhadap serangan mendadak. Benar saja, tak lama muncul tentara berkulit putih dari balik daun-daun bersama dengan sosok-sosok yang tak kukenal. Kuduga mereka adalah anggota polisi desa karena di antaranya kulihat komandan polisi yang kemarin berhadapan dengan kami.
“Tempat ini sudah kami kepung. Kumpulkan senjata kalian dan segeralah menyerahkan diri!” teriak pimpinan pasukan itu mengancam.
Namun semua pengikutku bukannya takut tapi malah tertawa mengejek dan menyoraki ancaman itu. Bahkan diantara mereka ada yang melontarkan kata-kata mengejek.
“Sekali lagi, aku peringatkan pada kalian untuk segera menyerah. Kalau tidak, akan kuobrak-abrik tempat ini!” teriak laki-laki kulit pucat itu dengan geram. Namun kata-kata ancaman itu malah semakin membuat para petani di belakangku mengencangkan tertawa mereka.
Tak pernah kusangka, tiba-tiba terdengar suara keras yang memekakkan telinga. Disusul dengan teriakan dari beberapa orang di belakangku. Aku menoleh dan mendapati mereka sudah bersimbah darah. Sialan. Ternyata mereka menggunakan senjata api untuk menyerang kami. Pengecut.
Panik. Kulihat pasukan petani bersenjatakan ala kadarnya ini menjadi tercerai berai. Satu per satu dari kami roboh ke tanah dengan kondisi mengenaskan. Aku tidak bisa memastikan berapa jumlah mereka yang sudah tergeletak tak berdaya itu. Kuperkirakan ada sekitar 30 lebih korban dari kami. Ah, entahlah! Bau anyir darah ini membuatku mual dan pusing.
“Munduuuuuuur!” aku berteriak sekuat tenaga dan kutinggalkan medan yang sudah penuh darah petani itu sambil berusaha menghindari serbuan peluru dari segala penjuru.
Jauh di atas Bukit Pasir Gaok. Kupandangi orang-orang yang terlihat kelelahan di depanku ini. Beberapa di antara mereka ada yang meringis menahan kesakitan akibat terserempet peluru.
“Kumaha, Dris? Pasukan kita semakin berkurang saja,” kata Djeding sayu.
“Bagaimana lagi, Ding. Kita memang kalah persenjataan. Satu bedil itu bisa menghabisi lima bahkan sepuluh orang kita.” Kuhembuskan nafas terlebih dahulu sebelum melanjutkan, “Tapi, demi teman-teman kita yang gugur di medan perang tadi, tak kuasa rasanya untuk…” belum sempat kuselesaikan kalimat ini, tiba-tiba muncul pasukan tentara dari balik rimbunan daun sambil menodongkan pistolnya kepada kami.
“Menyerahlah. Kalau tidak, akan kuledakkan kepala kalian,” teriak salah satu tentara.
Kuangkat kedua tanganku sebagai tanda menyerah. Begitupun dengan Djeding. Kupandangi Djeding yang sudah tertunduk lesu tanpa perlawanan. Terlintas pikiran, mungkinkah ini akhir dari perjuangan kami? Bagaimana nasib kami selanjutnya? Apakah kami juga akan dibuang seperti kebanyakan orang-orang bilang? Atau apakah kami akan dibunuh seperti kebanyakan nasib pembelot? Entahlah.
Lututku ini sudah mulai lemas. Sekali hentakan dari tentara di dekatku, aku langsung jatuh terduduk tanda menyerah. Mungkin inilah akhir perjuangan kami, petani Ciomas. Mungkin esok hari statusku tak lagi sebagai petani. Mungkin sebagai tahanan, buangan, atau malah mungkin tinggal nama saja. Mungkin saja. Nasib orang siapa yang tahu.
Tokoh di dalam cerita ini merupakan tokoh asli. Sedangkan penggambaran suasana dan pengembangan jalan cerita berdasarkan fakta-fakta sejarah dalam peristiwa perlawanan rakyat Ciomas terhadap pemerintah Hindia Belanda.


Penulis adalah Juara III Kompetisi Penulisan Cerpen Majalah Komunikasi dan Mahasiswa Jurusan Sejarah UM.